29.12.08

Senja dan Kerinduan


Semburat merah jingga mewarnai langit senja. Sang mentari perlahan-lahan tenggelam di ufuk barat. Belaian sang bayu mendorong kapal nelayan berlabuh. Deburan ombak menjadi senandung indah bagi para nelayan itu. Indahnya langit merah, tak pernah seindah senja yang lembut dan menyala. Mempersembahkan semburat panorama yang tak terkatakan dengan semua kata di dunia. Saat yang tepat untuk melarikan diri sejenak dari keramaian kota. Kemana kaki ini melangkah. Kabur akan penjelmaan arah. Semburat merah, mengintip lewat wajah. Lelah terkalah resah.

Indah dan romantis. Seperti saat aku duduk di pantai Kuta. Atau hanya sekedar duduk di halaman kampusku dulu.

Sang mega ikut menghiasi, membias keemasan mengiringi mentari yang tenggelam. Lembut merajut garis-garis wajahmu. Tercipta satu harmoni menyentuh. Desau rindu prana di hela suasana mengurai kesetiaan. Kubuat prasasti menjemput impian dari tulus hati. Biduk telah ditambatkan di pantaimu bawa sebentuk hati. Menikah denganmu bertahtakan kesetiaan bermahkota cinta. Ah, bayang-bayang kerinduan itu!
Garis wajahmu, dengan untaian senyum yang merekah. Senyuman termanis di antara benderangnya semesta. Ingin ku melumat rasa. Tentang arti senyum indahmu diselakar ini. Pernah kau bilang padaku, 'aku tidak bisa tersenyum'. Apa sulitnya membuatmu tersenyum? Aku akan membuatmu tersenyum untukku setiap hari. Aku ingin membuatmu tersenyum saat dirimu bersedih. Bukankah aku bisa membuatmu tertawa? Bahkan membuatmu jatuh cinta...

Angin yang berdesir tiada terasa, melantunkan bait-bait kesyahduan, melenggak-lenggok bagaikan penari, terus merambah diantara dedaunan sore. Di ujung senja ingin kusampaikan, kerinduan dan setangkai mawar yang masih tersimpan darimu.

Senja selalu membuatku terpesona. LukisanNya yang Maha Sempurna. Dan.., selalu mengingatkanku pada kematian. Ya, aku seperti melihat malaikat maut sedang menungguku di ujung langit sana. Apakah dia sedang menjemputku? Apakah telah tiba waktuku?

Entah kenapa aku merasa waktuku semakin dekat. Tak ada yang mengharapkan kematian. Mungkin ini hanya perasaanku saja.

Semoga Allah masih memberiku kesempatan, aku masih punya keinginan. Ijinkan aku, melihat senyummu, menyentuh wajahmu, mencium tanganmu... Sampai renta..

Bayanganmu selalu menghadirkan kepedihan pada setiap jejak-jejak langkah menapaki jalan-jalan kelabu. Dimana ilustrasi itu selalu menghadirkan selaput cinta yang telah kau pahat sendiri. Sunyi merayap mendahului bahasa jiwa tak terjewantahkan. Aibpun tidak bisa menjalar dimana desiran angin mengabarkan berita hati dan perasaan menyatu dengan aliran darah kaku tak terangkai kepada muara pengaduan.

Aku hanya ingin memelukmu dari senja hingga shubuh tiba. Maka kerinduan ini akan lunas terbayarkan.


gambar dari sini

15.11.08

Aku Sayang Kamu


Tuhan... aku meremas tanganku sendiri. Kenapa aku tidak bisa menjauhi dia? Semakin mencoba melangkah pergi, debaran di dadaku semakin terasa.
"Aku sayang kamu." katanya. Aku tersenyum. "Bilang 'aku sayang kamu juga', dong...."
"Aku... sayang... kamu... juga..."
"Nah gitu," Senyumnya mengembang. "Hati-hati di jalan, okay? See ya!"
Tanpa diduga, tiba-tiba dia mendorong tubuhnya maju dan mengecup pipiku pelan.
Sebuah rasa di dada muncul. Yang jelas bukan gembira. Andai saja kamu tahu kalau aku mau mengatakan 'aku sayang kamu' sebanyak dan sesering kamu mau.
Aku terdiam.
***
Sebuah telepon masuk.
"Iya, Ma. Bentar lagi nyampe rumah kok!"
"Cepetan, Sayang. Om Rangga udah dateng, nih. Mama mau ngenalin kamu sama calon istri kamu. Anaknya cantik, lho. Pasti kamu dan dia bisa jadi pasangan serasi."
"Iya Ma."
“Memangnya kamu punya tipe khusus?” Mama menyelidik.
"Terserah Mama aja. Daahhh..."
Klik!
Entah darimana, bulir-bulir hangat itu muncul, dan selanjutnya, aku kangen kamu lagi.

17.10.08

Nyata atau Mimpi


Mungkin aku terlalu bodoh untuk menyadari.

Atau terlalu masa bodoh untuk mencoba menyadari.

Tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang mimpi.

Aku nyata, kamu nyata, sementara kita cuma mimpi.

Itu yang benar, kan?

7.9.08

No Title


Aku mempunyai kereta asap, indah, kuhiasi sendiri dengan cat warna warni, dengan lampion yang membuatku nyaman. Kereta itu siap sauh, dengan banyak dewa di dalamnya. Dewa segala dewa yang mengatur arah mata angin, mengatur derasnya hujan, dan mengarahkan impianku. Aku bermimpi untuk selalu membuatnya tersenyum.

Tiba-tiba, kereta kuda yang dulu pernah kunaiki datang dengan wajah lusuhnya. Kotor. Hatiku perih!! Aku membentuk kereta asapku dengan indah, ceria, ku kumandangkan dengan TOA agar semua orang dapat melihat kereta asapku, aku bangga. Sesaat kemudian aku melihat kereta kuda yang dulu kubanggakan, yang kuikhlaskan kepergiannya, yang merontokkan semua asa. Dengan mengendap aku berjinjit ke arahnya, menempelkan handuk basah ke tiap pori tubuhnya, membiarkan ia mendengus dengan hebat dan tertidur. Dan aku menangis dalam diam.

Kini, haruskah aku rontokkan lagi besi-besi yang menopang kereta asapku, ku kelupas lagi cat warna warni yang kulukis dengan ceria dulu, dan haruskah aku meninggalkan dewaku, yang demi kebahagiaannya aku dapat menggendongnya seumur hidupku, melihat ia menatap nanar kepadaku, sama seperti ketika sang Zeus meninggalkannya?

Aku diciptakan tidak dengan pilihan, namun pilihan yang memilihku.




gambar dari sini

16.8.08

Aku Sudah Tidak Mencintaimu Lagi, Tuhan


malam apa ini gerangan,

pura-pura bertebaran

lampu-lampu berkerlipan

tapi di dalam lengang,

kosong dan gersang

tiba-tiba kamu berbisik pelan,

"aku juga sudah tidak mencintaimu lagi, Tuhan",

aku mendengarnya tertawa seketika

sambil membayangkan Tuhan pasti begitu terluka.

setelahnya kamu berlalu,

dengan hati yang tak lagi mengelabu

kau bilang padaku, kalau kau takkan kembali

karena Tuhan hanya pengingkar janji

sementara aku masih di sini

menimbun hari dan hati

tiba-tiba aku merasa kelu

dan malu

















gambar dari sini

5.7.08

Siapa Dia?


Terbangun di tengah malam dan melihat lelaki yang kusayangi masih terlelap di sampingku. Aku tersenyum. Dia masih terpejam, seperti bayi tanpa dosa. Aku merasa begitu bahagia menjadi istrinya.

Sepertinya dia tidur dengan nikmat sekali. Mimpi apa sih? Samakah dengan mimpiku? Aku masih enggan beranjak tidur kembali. Dia adalah anugerah terindah buatku.

Kusentuh lembut rambutnya, keningnya, hidungnya, bibirnya… Dia menggeliat. Ups! Aku menghentikannya. Aku takut dia malah terbangun.

"Sayang, kamu ngapain? Ayo tidur…" katanya lirih dengan mata masih terpejam.

"Aku mencintaimu." Bisikku di telinganya.

Dia menarik tubuhku dan memelukku erat.

"Aku juga mencintaimu, Marina sayang…" katanya, masih dengan mata terpejam. “Sekarang tidur lagi yuk."

Aku terdiam kaku dalam pelukannya. Marina? Namaku Monica. Lalu siapa Marina?








gambar dari sini

5.6.08

Perpisahan


Perpisahan. Kisah yang berkali melewati hidup manusia tapi tidak satupun dari manusia itu mampu mempersiapkan diri. Diajarkan bagaimana menjamu tamu, menyambut kelahiran, mempersiapkan pernikahan yang katanya sekali seumur hidup, namun tidak ada satupun yang dapat mengajarkan bagaimana melepas kepergian, padahal manusia melewati itu ribuan kali. Itukah mengapa banyak orang memilih untuk pergi mengendap-endap seperti seekor maling kecil di dalam rumah sederhana, berjalan berjinjit agar tidak menimbulkan suara?

Seperti ribuan hari yang lalu ketika dengan lantang seorang lelaki berseru “Jangan hubungi aku lagi.”

Saat itu ia tidak mati, ataupun kembali memisahkan diri menjadi sperma dan sel telur. Ia memaksaku pergi dengan jarak yang tidak dimengerti. Jika kematian, aku tahu dimana harus menangisi makamnya, dan jika ia kembali menjadi sperma aku tahu harus melakukan apa untuk membuat ia kembali ada.

Setelah melewati masa dengan besarnya perhatiannya, kini ia memaksa agar aku, perempuan yang begitu disayanginya, seketika dalam hitungan sepersekian detik berubah menjadi sepi dan sendiri. Bagaimana bisa? Beberapa saat sebelumnya masih dipanggilnya aku dengan panggilan kesayangannya, Cantik. Lalu ia berharap aku segera dapat berlari mengejar mimpi dimana mimpi satu-satunya adalah berada di sampingnya sepanjang hidupku?

Apa sedangkal itu hari kemarin? Tanpa ada pertimbangan apa yang akan terjadi pada dua manusia yang begitu saling menyayangi kemudian dipisahkan begitu saja. Ia tidak mati, masih hidup dengan cacing-cacing di perutnya, bukan mengegerogoti daging dan tulang belulangnya. Tutup semua luka. Untukku ia mati.





gambar dari sini

3.5.08

Koma Menjeda Makna


mengapa mencoba pergi dari hariku?
mengapa berusaha hilang dari pandangku?
harusnya aku, bukan kamu
ternyata semua tak pernah mudah untuk dijalani
seperti menghilangkan udara yang menjadi bagian nafasku
sesak, dan aku semakin lemah
dengarkan sayang, dengarkan aku...
aku tak lagi peduli bagaimana jalan hidupku
tapi aku peduli ketika kulihat kau tak ada di jalan itu
kukirim kau sebentuk koma, jika kau ingin menjeda sejenak
namun semesta, tak pernah memberiku titik untukmu

1.4.08

Tentang Kamu


Kamu bukan tipe yang suka mengumbar kata cinta.
Lalu saya suka menatap mata kamu ketika sedang bercerita.
Ada ketulusan di sana.
Kamu mungkin tidak gampang bilang sayang. Tapi dengan begitu saya paham kalau kamu sayang saya dengan caramu yang unik itu, Tuan! Mungkin kamu tidak menyukai puisi, tapi caramu memperlakukan saya, itu puisi.
Mereka berima dan berbunyi di dalam hati saya.

7.3.08

Akhiri Jarak


Namaku Pinkan, tapi sejak kami bersama, dia memanggilku ‘Senja’.
“Nah, sekarang sudah waktunya beristirahat.”
“Iya kamu juga ya…”
“Aku menyayangimu dengan hebat.”
“Aku menyayangimu dengan sederhana.”
“Kemari, berikan aku pelukan sebelum bulan itu merenggutmu.”
“Berikan aku kecupan penghapus pilu. Jangan biarkan bulan merenggutku dan mencuri pelukanmu dariku.”
“Selamat malam senjaku.”
“Selamat malam bocah.”
“Semoga esok akan lebih baik untuk kita.”
“Untuk setiap orang yang mencinta.”
“Tak sabar ingin melihatmu esok.”
“Dengan debar…”
Setelah ratusan tahun cahaya mencinta dalam jarak, esok adalah nyata. Akan terlihat senyum ironi yang ada di kepalaku. Akan terlihat kerjap mata yang ia puja dalam kaca dengan kornea sebenarnya. Bukan hanya dalam sudut udara dan suara, namun pertanggung jawaban keterikatan dalam maya. Kini, perbincangan itu dibawa ke dunia nyata. Menghitung detik dan getar, semoga semakin indah.
Baiklah, mari akhiri saja jarak ini. Biarkan mata bertatap. Biarkan jasad berpeluk. Untuk hati yang dijanjikan.
Aku disini mengingat dirimu
Ku menangis tanpa air mata
Bagai bintang tak bersinar redup hati ini
***
Rintik hujan membasahi malam di sepanjang Jalan Diponegoro. Arus kendaraan di lalu lintas mulai padat.
“Senja! Peluk aku dong, Senja.”
Aku masih kangen. Aku menyerah pada kehangatan lengan Rezky. Diperjelas dengan lingkaran tanganku yang tiba-tiba mendarat di pinggangnya, Rezky pasti tahu bahwa aku sangat menyayanginya.
Inilah Rezky yang sedang kupeluk, yang datang dan pergi kapan saja. Setelah menerima ajakan bertemu darinya, menit pertama kuhabiskan untuk berpesta dan bersorak sorai dalam hati, menit-menit selanjutnya kupakai untuk menentukan pakaian mana yang akan kukenakan, kata-kata apa yang akan kuucapkan padanya, dan menyiapkan hatiku sebelum bertemu dengannya nanti. Aku selalu menyambut kedatangannya dengan penuh persiapan.
“Senja, ini tanganku yang terlalu dingin atau tanganmu yang hangat?” Rezky menggenggam tanganku. 
“Apakah setiap pertemuan selalu butuh perpisahan? Meskipun pertemuan itu diisi dengan kebahagiaan? Aku lebih suka menunggu kedatanganmu daripada menunggu kepergianmu.”
Aku masih bersandar diam di bahunya. Mataku masih sembab. Nafasku masih saja sesak. Kala itu, dia hanya bisa diam lalu membuka lengan tangannya. Sepasang lengan yang saling berpeluk adalah bukti bahwa tak ada yang menginginkan jarak.
“Jarak kita itu hanya nol kilometer, Sayang. Apakah kamu sadar hal itu, kamu merasakan?” Tanyanya.
Aku hanya diam dan semakin mempererat pelukanku. Aku mengucapkan selamat malam pada Rezky. Aku mencium dan berpesan agar Rezky berhati-hati di perjalanan pulang.
Dan ku mengerti sekarang ternyata kita menyatu
Di dalam kasih yang suci… Kuakui kamulah cintaku


gambar dari sini

























23.2.08

Bayang Pertanyaan

acak

absurd

abstrak

tapi nyata dalam rasa. sisa bayang lelap masih saja berdiam diri, dan membuatku bertanya-tanya, pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu.

aku tahu ada apa. saat yang tidak dapat aku ceritakan rasanya. ketika sekujur rambut-rambut halus di kulit terbangun. dia yang berada di sana? sangat aku kenal.

dan perputaran waktu akan membuktikan kelak, apakah aku hidup dalam mimpi atau nyata.


untuk sebuah endapan mimpi yang tidak ingin pergi

5.1.08

Jika Saja


Jika kamu selama ini sibuk bertanya apakah aku bahagia?
Ingatlah bagaimana rentang yang dibentangkan pernah seakan menenggelamkan aku di dalam kotornya limbah. Sesak. Tak mampu bernafas. Namun kini ku tahu, aku lupa hakikat manusia. Bahwa Ia menciptakan aku untuk melengkapi, bukan untuk pengganti nyawanya.
Jika kamu selama ini sibuk berpikir apakah aku bahagia?
Ingatlah ribuan detik yang terlewatkan tanpa kehadiran yang nyata. Namun, ketika nyata tidak lagi bermakna. Rasa abstrak mendominasi hati. Lihatlah, debaran itu nyata dan tetap sama.
Jika saja kamu sibuk berharap aku bahagia?
Harapan itu tergores kental di atas pasir yang kau kumpulkan dulu. Merapat dan tak bersekat. Perlahan membukit dan membentuk sebuah atap. Dimana hanya ada kita dan cerita yang telah tercipta.
Jika saja kamu terpikir untuk pergi demi tawaku?
Ingat betapa keras genggamanku menahanmu. Betapa aku mati tanpa hadirmu, dan banyaknya peluh yang hadir menyusuri tiap tangga dengan kita di awan yang berbeda?

Namun jika semua yang telah terjadi di luar pertimbangan logikamu, jangan berlogika! Tanpa itu pun kamu membuatku terlalu bahagia.


gambar dari sini