Blackberry Jani berkerlip merah. Sebuah BBM masuk.
"Jani, lagi apa?" Pesan dari Yudhis.
"Mau tau aja. Kamu ngapain?"
"Aku lagi ngantri di bank. Ada perempuan mirip kamu di sini."
"Mirip aku? Apa iya?"
"Iya Jani."
"Kenalan gih."
Yudhis mengirim gambar.
"Tuh yang pakai baju jingga."
"Ga keliatan wajahnya."
"Ya malulah aku mau moto depan wajahnya."
"Kan pura-puranya ngapain gitu."
"Hmm... Ada suaranya kalo mau moto. Ketauanlah. Malu."
"Ya kan dia ga tau kalo dia yang difoto."
Yudhis memberanikan diri mengambil gambar perempuan berbaju jingga tersebut.
Klik!
"Eh, mas ngapain? Motret saya ya?"
Aduh! Ketahuan! Gara-gara Jani nih. Mau ngomong apa dong? Benar-benar mirip.
Bahkan suaranya juga.
"Maaf Mbak. Mbak mirip dengan seseorang yang dekat dengan saya. Tadi saya
beritahu dia dan dia ingin tahu apakah Mbak benar-benar mirip sama dia."
"Modus aja kan?"
"Nggak Mbak. Beneran kok. Saya Yudhis. Dan kamu?” Yudhis menyodorkan
tangan pada perempuan manis berkerudung jingga yang sedang duduk sambil
tersenyum. Dia tampak kaget, walau setelah itu dia turut menyambut tangan
Yudhis.
“Yudhistira Agung, kan? Aku Rinjani Veda.”
Yudhis terdiam menganga. Perempuan itu tertawa.
"Mbak bercanda kan?"
Perempuan itu mengambil blackberry dari sakunya lalu mengetik sesuatu.
"PING!!! Yudhis, perempuan di depan kamu itu aku, Jani, Rinjani
Veda."
"Jani, kamu benar Jani?"
"Huuu... Masih aja ya ga percaya. Toyor nih." Ah lembut sekali
suaranya.
Yudhis masih terdiam tak percaya. Jani tersenyum.
“Boleh aku ikut duduk?” kata Yudhis kemudian.
“Eh iya, silakan.”
Yudhis duduk di atas sofa dengan busanya yang tebal. Jani terlihat memamerkan senyum lebarnya yang cantik.
“So?” Kata Yudhis kemudian kepada Jani yang masih tersenyum.
“So? So apa, Dhis?”
“Ya ini, kita akhirnya bertemu. Setelah.. berapa lama?”
“1 tahun 8 bulan.” Kata Jani yakin.
“Ah kamu selalu ingat. Iya, setelah 1 tahun 8 bulan hanya berhubungan lewat…
udara.”
Jani mengikik lucu. “Ya habis gimana ya.. hmm..”
“Dan sekarang kamu tiba-tiba muncul di sini gak bilang-bilang sama aku.” Kata
Yudhis pelan.
Jani masih tertawa, "Sebenarnya aku tahu rumah kamu," katanya.
Yudhis kembali terkejut.
“Jadi kamu tau alamat aku?!” Yudhis menatap tak percaya. “Selama ini?!”
Jani mengangguk. “Iya, sejak bulan pertama kita bersama. Untuk masalah ini, aku
cukup kepo ternyata. Ah, lebih tepatnya demi kamu aku jadi selalu ingin tahu.
Alamatmu, tempat kerjamu, dan lain-lainnya. Hehe.”
Ada jeda sebelum Jani kembali berbicara. Yudhis tampak bingung dan itu terlihat
dari sikapnya yang asik menggigit bibir.
“Aku jadi penasaran.” Kata Yudhis.
“Penasaran kenapa?”
“Kalau selama satu tahun lebih ini kamu udah tau alamatku, kenapa kamu nggak
datang dan menemuiku?”
“Jawabannya sederhana, aku tak datang, karena aku belum siap.”
Yudhis bengong. “Masa? Bukannya kamu bilang kamu penasaran banget sama aku?”
“Ya, aku penasaran dan amat sangat ingin ketemu kamu. Tapi...”
“Tapi apa?”
“Tapi kan kamu gak mau. Aku gak mau paksa. Nanti kamu malah gak nyaman
jadinya.”
“Tapi kan kamu pengen banget ketemu!” Yudhis tampak masih tak percaya. “Masa
sih kamu gak nekat nyamperin aku selama satu tahun lebih ini, Jani?!”
Melihat wajah Yudhis yang tampak gusar dan gemas itu, Jani tak mau langsung
menjawab. Dia hanya tersenyum.
“Ayo dong cerita. Kenapa?! Kamu ah..”
“Berisik ah.” Bukannya menjawab Jani membiarkan Yudhis yang ngedumel sendirian
karena penasaran. Dumelan yang sama seperti biasanya, yang biasanya hanya Jani
dapati dari sambungan telepon sebelum tidur atau huruf-huruf besar di BBM.
“Aku ngambek!” Kata Yudhis sambil manyun setelah capek ngedumel.
“Baiklah.” Kata Jani. “Gimana kalau aku cerita sambil kamu traktir aku es
krim?”
Yudhis tersenyum menggandeng tangan Jani keluar dari bank.
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar