17.8.13

Lima Menit Kemudian


Aku menghabiskan banyak sekali waktu untuk berlatih kata-kata yang harus diucapkan di hadapan Arga, alasan demi alasan yang aku susun dengan tujuan membuat Arga mengerti sekaligus meringankan rasa sakit hati yang mungkin akan dirasakan Arga karenaku. Namun, semua latihan yang kulakukan di depan kaca itu selalu berakhir di tengah-tengah karena pada akhirnya, aku sendiri yang tidak kuat menahan tangis.

Untuk kali pertama, aku duduk sendiri menunggu Arga di taman tempat kami pertama bertemu, tempat kami biasa berbincang-bincang sampai lupa waktu, tempat Arga memainkan gitarnya untukku, tempat kami pertama berciuman, tempat aku merasakan cinta yang sedemikian dalam untuk Arga. Aku melihat ke sekeliling taman dan memandangi semua hal di sana. Tempat ini memiliki ribuan kenangan bagiku, tetapi seiring ucapan perpisahan yang akan aku ucapkan untuk Arga, aku pun akan mengucapkan perpisahan pada tempat ini pula. Aku mungkin tidak akan pernah menginjakkan kaki di tempat ini lagi. Setidaknya, tidak dalam waktu dekat.

Suara langkah kaki yang terdengar mendekat menyadarkanku dari lamunanku. Aku mendongakkan kepala dan melihat Arga berjalan ke arahku. Tidak ada satu hal pun yang berubah dari diri lelaki itu selama ini. Kulitnya yang bersih terawat, postur tubuhnya yang tegap, kesan seksi yang ditampilkannya secara keseluruhan. Yang membuat pertemuan ini terasa semakin berat adalah fakta bahwa perasaanku ketika melihat Arga pun belum berubah. Aku bisa saja memaki Arga ribuan kali karena telah meninggalkanku untuk menikah dengan perempuan lain pilihan orang tuanya. Namun kenyataannya, ketika Arga berada di hadapanku, semua kesalahan itu seolah-olah termaafkan. Aneh memang, tetapi begitulah adanya.

“Gendis Sayang,” Ya, dia masih memanggilku dengan kata ‘Sayang’.

“Hei,” sapaku, berusaha terlihat ceria.

“Kaki kamu, kaki kamu kenapa?” Matanya terbelalak menyadari aku duduk di kursi roda tanpa kaki.

“Aku kecelakaan dan sekarang beginilah keadaanku.”

“Kenapa kamu tidak pernah menceritakan ini sama aku?”

“Buat apa? Untuk mengganggu kehidupan rumah tangga kamu? Bukannya kita sudah tidak ada hubungan apa-apa?”

“Kenapa kamu ngomong seperti itu, Sayang? Harus berapa kali aku jelasin itu semua sama kamu. Aku cuma nurutin keinginan orang tuaku. Sampai detik ini, aku masih sayang sama kamu.”

“Cukup Ga. Jangan lagi bilang sayang sama aku. Ingat sama istri kamu.”

“Lalu aku harus bilang apa? Kenyataannya memang seperti itu.”

Aku merasa lidahku kelu. “Lalu apa lagi yang ingin kamu katakan?”

“Aku sudah berpisah dengan dia.” Kali ini aku terperanjat kaget. “Aku ingin menikah denganmu, Sayang.”

“Gak mungkin Ga. Gak bisa,” ujarku terbata-bata.

“Kenapa? Karena kamu cacat. Aku terima kamu apa adanya, Sayang. Tiga tahun kita berpacaran dan sampai detik ini aku masih sayang sama kamu.”

“Bukan itu.” Aku merasakan air mataku berkumpul di pelupuk mata, menunggu untuk menetes. Aku ingin cepat-cepat pergi dari sini.

“Lalu apa?”

“Dua hari lagi aku akan menikah.”

“Apa?” Kulihat Arga terduduk lemas di sebelahku.

“Maaf Ga...,” Aku merasakan suaraku yang tercekat, “... dan makasih kamu masih menyayangiku.” Aku memutar kursi rodaku, bermaksud meninggalkan Arga seorang diri ketika tiiba-tiba lelaki itu menahan kursi rodaku.

Arga memegangi tanganku dalam diam selama beberapa saat, sama sekali tidak mengeluarkan suara.

“Maaf,” gumam Arga tiba-tiba. Aku menoleh, tidak benar-benar memercayai apa yang baru saja aku dengar. “Maaf karena aku udah menyakiti kamu selama ini,” lanjut Arga yang semakin membuat diriku terperangah. “Maaf karena udah bikin kamu nangis. Maaf karena udah ninggalin kamu menikah dengan perempuan lain. Maaf seenaknya datang dan pergi dalam kehidupan kamu. Maaf tidak bisa menjagamu. Maaf terlambat datang kembali. Maaf, maaf, maaf.”

Aku mengangkat kepalaku dan menatap lelaki itu lurus. Air mataku berjatuhan tanpa bisa terbendung lagi.

Arga berdiri, menghapus air mata yang mengalir di wajahku dengan tangannya.

“Cengeng.”

“Biarin.”

“Jangan nangis lagi.”

Aku mengangguk pelan mengusap pipiku yang basah.

“Mau aku anter pulang?” tanya Arga sopan setelah beberapa saat. Aku menggeleng.

“Nggak usah, bentar lagi dijemput.” Sekilas, aku bisa melihat ekspresi muram di wajah Arga ketika mendengarnya, tetapi dalam sekejap, ia menutupinya dengan senyum.

“Calon suami kamu?”

Aku mengangguk.

Lima menit kemudian.

Arga menatapku dengan ragu, lalu tanpa bisa dicegah sama sekali, ia mengecup pipiku ringan.

“Aku sayang kamu.” Arga langsung pergi sebelum aku bisa memberikan reaksi apa pun. Aku terduduk lemas sambil memegangi bagian pipiku yang baru saja dicium lelaki itu.


Cerita sebelumnya Tombol Pengingat


gambar dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar