“Kenapa kamu ingin menikah denganku, Duta? Bukannya banyak perempuan yang lebih daripada aku? Aku cacat.”
“Aku ingin menikah denganmu bukan karena kecantikan fisik.”
“Lalu apa?”
“Karena hidupku akan menyenangkan hanya jika bersamamu, melihat senyummu, Cantik.” Duta mengecup keningku. “Kamu yang paling mengerti aku, Gendis. Kamu yang paling tahu apa yang aku inginkan.”
Aku menengadahkan wajahku, melihat tatapan lelaki itu. Masih serupa labirin. Tapi aku bersedia tersesat di sana, karena aku sadar ketidakmampuanku untuk mengingkari keinginan tetap berada dalam likunya. “Aku mencintaimu, Duta,” ujarku parau.
“Aku lebih mencintaimu, Gendis,” jawabnya. Aku tersenyum berbinar menggapai tangannya. Aku dapat melihat cinta lelaki itu di matanya. Cinta yang selama ini kucari. Duta menunduk, memelukku dengan erat di kursi rodaku. “Menikahlah denganku. Jadilah ibu dari anak-anakku.”
Kuembuskan napasku di sekitar telinga lelaki itu dan berkata seperti berbisik, “Ya.”
Aku mengangguk dalam pelukannya. Meneteskan satu persatu airmata bahagia. “Akhirnya, aku tahu kenapa aku jatuh cinta sama kamu setiap hari.”
Duta kembali memelukku erat.
***
Semua sudah siap. Tiga hari lagi aku dan Duta akan menikah. Rumah sudah ramai dengan saudara-saudara jauh yang mulai berdatangan. Sekian banyak orang sibuk hilir mudik kesana kemari membawa barang dan peralatan. Beberapa pria separuh baya terlihat mengobrol sambil duduk di kursi plastik yang diletakkan di bawah pohon mangga depan rumah, mengobrol sambil menikmati secangkir kopi atau teh panas yang dihidangkan. Beberapa pria lain yang berusia jauh lebih muda sibuk mendirikan tenda.
Aku merasa begitu penat. Ibu menyuruhku istirahat saja di kamar. Besok, kamarku akan didekorasi menjadi kamar pengantin. Entah seperti apa jadinya. Yang aku tahu, akan berhias dengan warna merah, warna kesukaanku.
Aku membuka ponselku. Teringat tadi Indri mengirim voice note dan aku hanya menyimpan, belum mendengarkannya. Kubuka voice note-voice note yang tersimpan. Banyak sekali voice note yang tersimpan. Ah, aku jadi ingin mendengarkannya satu persatu dan membuang yang tidak lagi penting.
Aku klik tombol voice note. Suara Jaka, Nia, Pujo, Anis, Kamal, Firman dan ...
“Ketika cinta adalah apa adanya, mencintai yang ada tanpa melupakan yang berada.
Menyayangi yang terasa tapi tidak yang terluka.
Bila aku memilihmu untuk menemaniku itu karena engkau adalah apa adanya hatiku, yang terbaik, yang aku kenal.
Merindukan sesuatu yang hilang karena kepercayaan yang terbuang.
Jatuh cinta karena pesona yang kau hadirkan lewat hatimu yang kau titipkan untukku.
Jika itu hanya sesaat bukan karena kamu tak mampu.
Hanya karena hati kita tak bisa bersatu.
Kuyakin kalau cinta yang tulus, aku tetap bisa mencintaimu, meski pun dari jauh.
Ini aku dan hatiku hanya untuk kamu.
I love you baby. Happy anniversary kita yang setahun ya. Makasih Sayang.”
... suara Arga.
"Jangan telat makan ya Sayang, obatnya jangan lupa diminum juga, mau sembuh atau ga kamu? Aku sayang kamu." Suara Arga yang lain.
"Jangan lupa makan ya Sayang, obatnya juga. Jangan lupa sholat juga ya. Mmuuah." Dan suara Arga yang lain lagi.
Tiba-tiba rindu menyergapku dari segala arah. Arga, apa kabar kamu?
Ada telepon masuk, dari Arga. Apa? Ini kok bisa?
"Halo."
"Hei Sayang..."
"Arga, aku..."
"Kita harus ngomong serius."
Aku hanya bisa membuka mulut tak bersuara.
Cerita sebelumnya Sepasang Sepatu Tua
gambar dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar