21.8.13

Di Angka Dua Belas


“Aku nggak akan kemana-mana sampai kamu naik, Gendis.”

Akhirnya, aku menyerah dan naik ke mobilnya dengan susah payah memakai tongkatku, sedikit membanting pintu karena kesal.

“Nah, begitu dong, penurut. Coba dari tadi... aku nggak bakal dimarahin orang-orang di belakang.”

“Keras kepala banget, sih,” gerutuku. Dia tertawa kecil.

“Yang keras kepala sebenarnya siapa?” balasnya lembut.

Aku terdiam. Sudah lama tidak melihat wajahnya dari jarak sedekat ini. Tidak mendengar dia bicara dengan lembut. Aku kangen. Ah. Tidak seharusnya aku berpikir begitu.

“Aku harus ke toko buku sebentar. Turunin aku di mal aja.”

Arga menggeleng. “Aku anterin.”

“Sebenernya mau kamu apa, sih? Kamu tau nggak kamu lagi ngapain?”

“Kamu mau jawaban jujur atau bohong?” Gayanya masih sangat tenang, sama sekali tidak memedulikanku yang sudah berapi-api. Dia tidak menunggu jawabanku, tapi melanjutkan perkataannya, “Jawaban bohong. Aku sayang sama Tasha dan mau melewatkan hidup sampai tua dengan dia. Dia isteri yang baik buatku. Dan, aku baik-baik aja. Aku bisa hidup tanpa mikirin ibuku, pertentangan di keluargaku, perselingkuhan Tasha, pengkhianatan Edwin. Dan kamu, Gendis.” Suaranya agak bergetar saat menyebut namaku. “Dan kamu, kamu bukan siapa-siapa buat aku. Kamu nggak lebih dari masa laluku. Kamu puas dengan jawaban itu?”

Untuk sesaat, aku tersentak. Saat menemukan suaraku kembali, aku sudah gemetaran. “Kamu kekanak-kanakan, Arga. Berhenti menyalahkan kondisi dan orang lain untuk hal-hal yang udah terjadi.”

“Atau kamu mau jawaban jujur?” Dia melanjutkan dengan nada datar yang sama, tak menggubrisku. “Aku jatuh cinta sama kamu sejak pertama kita bertemu sampai sekarang. Aku berusaha untuk berhenti, tapi aku nggak bisa. Aku terpaksa menikahi Tasha, pilihan orang tuaku. Aku hanya nggak bisa membantah dan nyakitin orang tuaku. Aku nggak tahan hidup dengan topeng... aku nggak bisa jadi diri sendiri. Aku capek.”

Mobilnya meluncur dengan cepat, lalu menepi di jalan yang sepi dengan mendadak. Dia mencekal tanganku erat-erat, suaranya serak sarat emosi, berusaha menjelaskan sekali lagi. “Kamu ngerti gimana hidup penuh kepura-puraan, Gendis, kamu orang yang paling tahu tentang itu. Udah berapa tahun kamu mau bohongi semua orang di sekitar kamu bahwa kamu baik-baik aja? Aku sekarang hidup seperti kamu. Bohongin semua orang, bohongin diriku sendiri, bahwa aku masih mencintai orang yang seharusnya nggak lagi aku sayang!”

Cekalan tangannya semakin erat, kini terasa sakit. Matanya sarat dengan kesepian, kesedihan yang aku sendiri kenali dengan begitu dalam. Ya, kita sama. Kita berdua hidup dalam kepura-puraan karena takut melukai orang lain, terlebih dari diri sendiri.

“Aku hanya ingin jujur, Gendis.”

Air mata membanjiri pelupuk mataku. Aku tidak ingin menangis. Aku tidak ingin menangis. Aku tidak mau teringat akan segala kenangan buruk. Yang membenci dirinya sendiri, karena menjadi seperti ini.

Jujur.

Air mata pertama menetes di tangan Arga. Responsnya bagai terkena air panas, langsung melepaskan genggamannya yang kini meninggalkan bekas merah di pergelangan tanganku. Dia mendekapku dalam pelukannya, berkali-kali berbisik, “Maaf, Gendis. Jangan nangis. Maaf.”

Aku terisak dalam pelukannya, merasa ingin melepaskan semua. Ingin jujur, ingin melepaskan semua, menumpahkan galau yang selama ini tersimpan rapi dalam hati. Karena hanya dia yang tahu. Hanya dia yang memegang kunci untuk melepaskan semuanya, dan menemukan diriku yang sesungguhnya di sana.

Matahari tepat di atas kepala. Kulirik jam tanganku. Jam dua belas tepat. Aku melepaskan diri, mengusap mata yang sembap oleh air mata. Aku mendorongnya menjauh. Seharusnya, aku tidak naik mobil ini. Seharusnya, aku tidak menumpahkan isi hatiku.


Cerita sebelumnya Potret Ibunda


gambar dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar