“Jadi, bener kamu masih berhubungan sama Arga to?”
Aku tidak segera menjawab. Aku menarik napas dalam-dalam. Debaran kencang tiba-tiba menyerbu dadaku. Namun, segera kualihkan dengan mengambil gelas di tempat tidur dan meneguknya. Ibu tahu dari mana?
“Nduk...” Ibu menatap lembut. “Jodoh memang urusan Gusti Allah. Ibu cuma mau kamu ndak kesusu mengambil keputusan. Ibu mau kamu bahagia, mau yang terbaik buat kamu.” Ibu mengusap lenganku.
Aku menggigit bibir. Rona merah di wajahku pias. Bibirku bergetar menahan gejolak dadaku. Hatiku bimbang. Dan begitu pintu kamar ditutup oleh Ibu, ruangan jadi terasa mengecil. Aku masih mencintai Arga, Bu. Sangat mencintainya.
Aku kembali membaringkan tubuhku menatap jendela. Hujan kembali turun diiringi angin menderu-deru. Butir-butir air tampak di kaca jendela. Aku masih tidak mengerti. Tidak dapat berpikir. Tidak dapat menghentikan perasaan yang hadir. Dan kini, ada perasaan bimbang meremang. Aku menghela napas panjang, berharap malam bisa menghentikan semua ini.
Satu per satu rekam cerita bermain dalam kepala. Cerita yang terpaksa harus kubuka kembali malam ini. Lembar demi lembar halaman memenuhi pandangan, malam ini ingatan tentangnya mengembara.
“Selamat sore, Gendis. Sudah dari tadi, ya? Maaf aku terlambat.”
Perkenalan yang dimulai tanpa sengaja, diawali dari sebuah jaringan sosial media. Sarana yang menurut banyak orang mampu mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Nyatanya, kami berdua dipertemukan oleh kemajuan teknologi yang dicaci sekaligus dipuja.
“Aku sudah makan,” katanya sambil sesekali menepis helai-helai rambut yang menjuntai di balik topi usang yang ia kenakan.
“Aku suka cappuccino, dan aku sudah memesankan kamu kopi hitam. Tuh sudah datang.”
“Ah, terima kasih, kamu masih ingat betul kesukaanku.”
Arga dan aku membiarkan dunia di kepala kami melebur menjadi satu dalam pertukaran cerita.
Sampai suatu hari, Arga memberikan sebuah kejutan. Kali ini sebuah kecupan yang membuat seluruh saraf di sekujur tubuh seakan lumpuh seketika. Kecupan tanpa permisi yang sanggup membungkam bibirku yang ramai bercerita.
“Kamu jangan membuat aku jatuh cinta.”
“Kita tidak perlu jatuh cinta, Gendis. Aku di sini tidak ke mana-mana.”
Kata “tidak” dan “jangan” hanya tercekat di kerongkongan saat hujan kecupan Arga alamatkan kepadaku. Detak di dada berlomba dengan detik yang kuhabiskan bersamanya. Hati seperti kehilangan kemudi, dan berharap waktu berhenti.
Kini, aku mencoba mengerti dengan segala keterbatasan yang ia miliki, menyibukkan diri menjadi satu-satunya jalan untuk bertahan melawan keinginan bertemu. Sering kali logika menyuruhku untuk berhenti, tetapi ternyata hati tidak mengenal kata kompromi.
***
Hari ini, aku mencoba menulis takdir.
Aku menghentikan motorku di depan sebuah kedai kopi berhalaman luas. Mendadak aku ragu dengan langkah yang kuambil. Ragu apakah ini jalan yang tepat untuk mengobati kegelisahanku. Tapi, sekarang aku sudah berada di sana, menghitung-hitung kemungkinan berbalik, dan membatalkan niatku.
Dadaku berdebar tak menentu. Bermalam-malam aku dibayangi wajah Arga, tidak tahu kenapa, yang membuatku gelisah. Dan kegelisahan membuatku tak nyaman.
Arga sudah di dalam. Tersenyum melihatku.
“Hai,” sapaku dengan suara setenang mungkin.
“Hai,” balas Arga.
Sebuah perasaan hangat menjalari dadaku, nyaman. Tetapi aku juga merasakan sesak mengingat sebulan lagi lelaki itu akan meninggalkanku untuk menikah dengan perempuan lain. Kutarik napas dalam-dalam, berharap menormalkan nadiku yang berdenyut cepat. Dengan gelisah, aku mengusap wajahku. Aroma segar Arga ikut membaur, membuat segalanya jadi lain.
Bulir-bulir embun jatuh menjadi hujan, membasahi sekat-sekat hati yang perlahan terpaksa kututup. Mimpi yang sebelumnya bebas berkelana, kupenjarakan di balik jeruji besi.
Sudah-sudahi saja, untuk apa bertahan dalam kebohongan? Aku tidak ingin bahagia di atas cerita yang direkayasa. Aku tidak punya hati untuk tertawa di atas kepingan mimpi yang akan dia bangun bersamanya, seruku dalam hati.
Mungkin aku hanyalah orang yang tepat yang berada dalam kondisi yang salah. Bukan salahnya. Bukan salah siapa-siapa. Bukankah cinta tidak pernah salah?
“Gendis.”
“Mmmm.”
“Aku sayang kamu.”
“Iya.” Aku tahu, Arga..., aku tahu banget.
“Gendis.” Dia memanggilku lagi.
“Mmmm.”
"Jangan pergi."
Kali ini, aku menoleh, tidak langsung menjawab. Kedua mataku terpejam, tangannya menggenggam erat tanganku, benar-benar enggan untuk melepaskan tautanku.
Jangan pergi, dia meminta. Jangan pergi.
“Aku...” Aku menelan ludah, lalu menatap lelaki itu dengan tatapan membingungkan. Tiba-tiba saja, Arga meletakkan kedua tangannya di mulutku, mencegahku untuk mengucapkan apa pun yang hendak aku katakan. Mungkin, ia merasa apa pun yang akan kukatakan bukanlah sesuatu yang ingin ia dengar.
Arga benar. Namun, ia terlambat.
“Aku rasa, hubungan kita harus benar-benar berakhir.”
Arga terhenyak ke belakang.
“Mungkin lebih baik kalau kita tidak usah bertemu lagi. Kita mengisi sepi dengan sunyi yang ramai. Kamu tidak untuk dimiliki, begitu pun halnya aku. Berjalanlah seperti udara, berkilaulah laksana cahaya. Teruslah berbagi kebaikan, sebanyak mimpi yang kita punya selama ini. Semoga bahagia selalu bersamamu. Dalam ruang yang kunamakan kenangan, kau akan selalu hidup tak bertuan.”
Dirinya kutinggalkan. Malam itu, aku menghukumnya dengan air mata yang tumpah ruah seperti hujan pada Januari. Menghukumnya dengan pertanyaan bertubi-tubi dan penyudutan hingga ia tak mampu untuk berdiri.
Takdir sudah tertulis. Dan takdirku bukan bersama Arga.
Kali ini, aku menoleh, tidak langsung menjawab. Kedua mataku terpejam, tangannya menggenggam erat tanganku, benar-benar enggan untuk melepaskan tautanku.
Jangan pergi, dia meminta. Jangan pergi.
“Aku...” Aku menelan ludah, lalu menatap lelaki itu dengan tatapan membingungkan. Tiba-tiba saja, Arga meletakkan kedua tangannya di mulutku, mencegahku untuk mengucapkan apa pun yang hendak aku katakan. Mungkin, ia merasa apa pun yang akan kukatakan bukanlah sesuatu yang ingin ia dengar.
Arga benar. Namun, ia terlambat.
“Aku rasa, hubungan kita harus benar-benar berakhir.”
Arga terhenyak ke belakang.
“Mungkin lebih baik kalau kita tidak usah bertemu lagi. Kita mengisi sepi dengan sunyi yang ramai. Kamu tidak untuk dimiliki, begitu pun halnya aku. Berjalanlah seperti udara, berkilaulah laksana cahaya. Teruslah berbagi kebaikan, sebanyak mimpi yang kita punya selama ini. Semoga bahagia selalu bersamamu. Dalam ruang yang kunamakan kenangan, kau akan selalu hidup tak bertuan.”
Dirinya kutinggalkan. Malam itu, aku menghukumnya dengan air mata yang tumpah ruah seperti hujan pada Januari. Menghukumnya dengan pertanyaan bertubi-tubi dan penyudutan hingga ia tak mampu untuk berdiri.
Takdir sudah tertulis. Dan takdirku bukan bersama Arga.
Cerita sebelumnya Tiga Senjata
gambar dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar