Mengapa aku memikirkan takdir lain untuk kami? Bukankah aku dan Arga sudah memilih jalan kami sendiri dan tidak ada yang bisa berubah?
Apa yang kupikirkan? Tidak ada kemungkinan lain untuk diriku dan Arga. Mungkin benar kata Ibu, hari ini jodoh, besok belum tentu jodoh. Dan seperti kata Arga, ada kalanya manusia hanya bisa jadi penonton tanpa bisa mengubah apa pun.
Aku masuk ke kamar. Begitu membuka pintu, mataku langsung tertuju pada selembar foto di atas meja dekat tempat tidur. Fotoku dan Duta tersenyum lepas. Tanpa disangka, emosi yang tertahan muncul ke permukaan, membuat air mata menggenang di pelupuk mataku, dan mengalir turun membasahi bantal.
Sepanjang malam, aku tidak dapat memejamkan mataku. Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku? Kenapa aku tidak bisa berpikir bahwa Arga adalah masa laluku? Seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya. Kami pernah berbagi banyak hal. Aku tak memungkiri, aku selalu menyukai sentuhan Arga. Lembut. Menggetarkan.
Aku menghela napas panjang. Aku mendengar gumaman Arga waktu itu, seperti yang dikatakannya dulu, aku seperti cokelat; manis, lembut, menenangkan. Tubuhku berguling menghadap dinding. Kupeluk guling erat-erat. Sekarang, aku isteri Duta. Aku tidak mau kehilangan lagi. Tidak mau dikhianati lagi. Tapi, aku belum bisa melupakan Arga. Aku begitu mencintai lelaki itu dulu dan ketika kami berpisah, seperti merelakan separuh hidupku dibawa lelaki itu.
Seharusnya aku memang melupakan masa lalu, melupakan Arga, dan membangun hidupku dengan Duta. Tetapi kenyataannya Arga kembali dalam hidupku dengan pesona yang sama, dengan banyak kilasan indah antara mereka.
Hatiku semakin galau. Aku menggigit bibir. Apakah Arga juga merasakan keresahan ini? Apakah Arga berharap waktu kami kembali?
Aku tidak mampu untuk berpikir lagi. Aku menarik napas dalam dan memejamkan mataku.
***
Dalam beberapa malam, aku bermimpi bertemu Gendis. Berdekatan. Di antara mimpi dan nyata, satu hal yang tak dapat diubah: takdir. Kuasa Tuhan yang menentukan kami berada di jalan masing-masing. Melihat mata kecokelatan itu, aku ingat sinar bahagia di sana, aku ingin melihat sinar itu lagi karena hanya itu yang terpenting.
Teringat kata-kata Gendis, “Kadang-kadang, kita lupa mempersiapkan diri menerima kekalahan. Mungkin, karena kita terlalu banyak berharap yang baik-baik, jadi bingung berbuat apa saat menghadapi hal terburuk.”
Aku diam mendengar perkataannya. Mungkin, aku lupa memersiapkan diri menjadi seseorang yang kalah. Hatiku tertawa getir.
Bisakah takdir di antara kami berubah? Aku mengusap wajahku, menjernihkan pikiranku untuk lebih memahami kehendak dan keadaan.
***
“Ndis...” Indri dengan raut wajah sendu memanggilku.
“Kenapa, Indri?”
“Aku kemarin ketemu Arga, dia bilang mau pindah ke Singapura.”
Pindah ke Singapura? Aku tertegun. Entah dari mana, ada desakan di dadaku yang membuatku merasa sesak. Aku kehilangan Arga? Lagi?
***
Hari ini hari terakhir Arga berada di kota ini. Ya, semua harus berhenti. Aku menemukan Arga di sana, menungguku di luar kantor.
“Arga,” sapaku pelan.
Arga mencoba tersenyum. “Hai.”
“Kamu akan tinggal di Singapura?”
“Ya.” Arga berusaha mengalihkan matanya.
Aku mengangguk-anggukkan kepala.
“Aku punya permintaan terakhir,” kata Arga tiba-tiba.
“Apa itu?”
“Kamu harus bahagia bersama Duta, Ndis,” Arga menelan ludahnya susah payah, berusaha tersenyum getir. “Kamu pasti bahagia, aku tahu itu.”
Ucapan itu membuat lidahku kelu tidak bisa berkata sepatah pun.
“Kamu telah mendapatkan Duta yang lebih baik daripada aku. Jauh lebih baik.” Mata laki-laki itu memerah dan berair. Suaranya bergetar. “Duta akan menjaga kamu, mencintai kamu, selalu ada buat kamu, nggak pernah menyakiti kamu, dan nggak pernah meninggalkan kamu.”
Senyap. Rasanya sunyi sekali. Tidak ada suara, tidak ada gerak. Aku menemukan kenyataan bahwa aku akan kehilangan laki-laki itu; lagi. Kehilangan yang benar-benar hilang. Lenyap.
“Maaf.” Suaraku terdengar sangat pelan.
“Aku yang harusnya minta maaf, Gendis. Benar-benar minta maaf untuk semuanya.” Arga tersenyum miris. “Maaf karena aku tiba-tiba datang ke hidup kamu, maaf karena aku meminta kamu kembali, maaf karena aku nggak bisa mengubah apa pun.” Ia berusaha menghela napas menahan desakan dadanya dan melanjutkan, “Ndis, aku nggak akan mencari pembenaran apa pun lagi. Satu hal yang benar adalah...,” suaranya berubah serak, “aku mencintai kamu. Aku sangat mencintai kamu. Sejak lima tahun lalu.”
Ada nyeri meremang di sudut benakku. Tatapan mata Arga begitu pedih. Laki-laki itu ada di depanku, tapi perlahan semakin jauh. Lalu, aku memalingkan wajah, menyembunyikan bening yang jatuh di ujung nataku.
Arga sungguh tidak ingin pergi. Ia ingin tinggal dan melihat perempuan itu. Meski tidak bisa memilikinya, asalkan ia bisa melihatnya bahagia, lebih dari cukup. Tapi, ia tidak ingin memaksakan kehendaknya sendiri. Ia harus memberikan Gendis dunia yang diinginkannya. Dunianya bersama Duta. “Aku pamit, Gendis,” ujar Arga. Ia berbalik, melangkah pergi tanpa berkata-kata lagi.
Aku tertegun gamang. Nanar kutatap Arga menjauh. Dia sudah pergi. Perlahan-lahan, dia menghilang meninggalkan debu yang tertiup angin. Aku memejamkan mata. Semua mengabur dalam genangan air mataku. Aku masih punya Duta. Selesai sudah.
Cerita sebelumnya Di Angka Dua Belas
gambar dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar