14.8.13

Sepasang Sepatu Tua


Aku mengambil sebuah kotak yang sedikit berdebu. Kubersihkan dengan lap lalu membukanya. Sepasang sepatu yang cantik. Merah dan putih dengan pita yang manis. Sepatu kesukaanku. Ada sesuatu yang menyentakku. Aku seakan-akan menemukan sebuah ruang gelap yang hanya ada gambar-gambar Duta dan sepatu itu di dalamnya. Berputar dengan semua yang pernah kami lalui. Aku termenung sesaat, lalu mengusap wajahku.

“Semoga kamu suka apa yang aku beri,” kata Duta waktu itu di telpon ketika aku mengabarkan padanya bahwa barang yang dia kirimkan sudah aku terima.

“Tapi aku sedang tidak berulang tahun,” kilahku.

“Apakah harus menunggu kamu berulang tahun dulu baru aku boleh memberimu sesuatu, Ndis?”

“Tidak juga,” jawabku.

“Bukalah.”

Aku mulai merobek kertas pembungkusnya dan di dalamnya kutemukan sepatu itu. Flat shoes. Dia tahu, aku benci memakai high heels.

“Sepatu yang cantik. Aku tidak tega memakainya.” Mataku berbinar senang.

“Itu memang untuk kamu pakai bukan dipajang apalagi cuma disimpan. Sepatu itu akan cantik ketika kamu yang memakainya, Ndis.”

“Makasih. Aku suka sekali sepatu ini.” Aku mencobanya, berputar-putar di depan kaca sambil tersenyum.

“Aku ingin melihat kamu memakai sepatu itu saat kita bertemu dua minggu lagi.”

“Baiklah aku akan memakainya untukmu.”

Akhirnya kami berdua akan bertemu. Setelah setahun hanya berhubungan lewat udara. Benar-benar saat yang mendebarkan untukku. Aku akan melihatnya secara langsung. Begitu juga dia.

Berkali-kali aku mematut diri, mencoba memadu padankan sepatu pemberiannya dengan baju-baju yang kumiliki. Sampai aku membeli baju baru agar terlihat tidak mengecewakan di depannya. Aku ingin terlihat semenarik mungkin ketika dia melihatku untuk pertama kali.

Jam empat sore, waktu yang dijanjikan. Lebih setengah jam dan aku masih belum sampai di cafe tempat kami akan bertemu. Jalanan sore ini terasa lebih ramai dari biasanya. Jantungku terasa berdetak lebih cepat dari biasanya.

“Semoga dia sabar menunggu.” Aku bergumam sendiri di atas motorku. Rasanya tidak sabar ingin segera memeluk orang yang selama ini kurindukan.

Rintik hujan menyapu jalanan. Keriuhannya mengisi kalut yang menghantuiku. Ah, aku takut sepatu ini menjadi basah. Suara ringtone mengganggu konsentrasiku. Duta, nama yang tertera di kolom pemanggil. Kuraih cepat-cepat demi mengusir berisik.

“Ya?”

“Gendis, kamu dimana?”

“Aku masih di jalan.”

“Oh ya udah. Hati-hati ya.”

“Iya, sebentar lagi sampai kok.”

“Kamu pakai sepatu itu kan?”

“Tentu saja aku pakai.”

“Baiklah, aku menunggumu, Cantik.”

Aku tidak salah dengar kan? Baru saja dia memanggilku Cantik. Belum sampai setengah sudut bibirku terangkat karena bahagia, sebuah bunyi yang amat tajam tiba-tiba mengganggu telinga. Ketika aku menoleh, beberapa meter di depan, sebuah truk bergerak liar tanpa kendali, mendekat dengan cepat.

Lalu gelap.

Suara-suara. Hiruk pikuk. Sirene yang mendekat. Orang-orang yang panik. Pandanganku, kabur.

Duta, aku harus bertemu dia.

Aku berusaha menggapai-gapai dengan sisa tenagaku. Namun kurasakan tubuhku diseret lengan-lengan yang kuat, aku tak mampu melawan. Kurasakan tubuhku dibaringkan dan belum sempat aku berkata apa-apa, sesuatu menutupi mulutku. Aliran udara mengalir deras.

Aku terbuai, dijejali kegelapan.

***

Aku mencium aroma parfum yang sangat kukenal di sampingku, aku terkesiap. Kulihat Duta berdiri di sampingku, memperhatikanku.

“Kapan kamu datang? Maaf aku tidak tahu.”

“Tidak apa-apa, Cantik. Maaf aku mengagetkanmu. Kamu lagi apa?”

“Membersihkan sepatu ini,” jawabku tersenyum. Dia mencium keningku lembut.

“Sudah ya bersih-bersihnya. Kamu jangan terlalu capek dong,” katanya sambil menaruh sepatu yang kupegang kembali ke tempatnya.

“Maaf, kamu tak pernah bisa melihatku memakai sepatu itu.”

“Buat aku, yang penting bukan melihat kamu memakai sepatu itu, tapi bisa melihat kamu tersenyum setiap hari, istriku.” Dia tersenyum dan mendorong kursi rodaku ke taman belakang. Kami akan menikmati senja hari ini sambil bercerita tentang apa saja.

gambar dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar