17.8.13

Tiga Senjata

“Arga, kalung ini bagus sekali. Aku tak pernah menyangka kau akan memberikannya.”

Seorang perempuan sedang bersandar di dada Arga penuh dengan gaya manja.

“Sayangku, kamu sedang tak mau berkata apa pun?”

Arga mencubit hidung sang pemilik kalung berliontin kupu-kupu dengan sayap biru muda.

Kemudian, tiba-tiba...

“Aha!!! Dapat!”

Permpuan itu dengan cepat meraih ponsel Arga dari sakunya. Ia begitu segera membongkar isi ponsel Arga, seperti ayam kelaparan yang menggali tanah dengan cekernya mencari makan siangnya.

“Aku... minta... kamu... jelasin ini semua!”

Alis perempuan itu berkerut waspada, mencari-cari apa yang ada di layar Blackberry milik Arga di meja, kemudian menemukannya. Aplikasi BBM terbuka, menampilkan pesan-pesan singkat percakapan ringan, tetapi sangat janggal dari sebuah kontak bernama ‘Gendis’. Tangan Tasha, perempuan itu, tampak sudah siap menggunakan super energi yang siap kapan saja dilepaskannya untuk membanting ponsel itu.

Malam ini, enam bulan setelah Arga resmi menjalin hubungan dengan Tasha, perempuan pilihan orang tuanya yang mengusik kehidupan cintanya bersama Gendis. Saat ini, Arga sedang mengacaukan rencana pernikahannya dengan Tasha, karena tetap berhubungan dengan Gendis yang disayanginya.

***


“Gendis, banyak pesan darimu yang tak sengaja dia baca, juga omongan dari teman-temannya yang ternyata pernah melihat kita jalan berdua. Tasha mulai tahu tentang kita.”

Setiap hari aku mencintai Arga. Namun, juga pada waktu yang sama merasa membuang-buang waktunya jika terus bersamaku. Terkadang, aku berusaha mengosongkan perasaan-perasaan dalam hatiku untuk Arga, kemudian mengisinya kembali dengan memposisikan diriku, mulai menuliskan satu pertanyaan, “Bagaimana jika aku menjadi Tasha?” Salah satu jawaban yang muncul, membuatku tidak kuat membayangkannya.

Jawaban bahwa, orang yang kucintai berbagi kebahagiaan dengan yang lainnya. Waktu yang seharusnya dihabiskan bersamaku, malah dihabiskan bersama yang lain. Aku tidak sanggup, bahkan mungkin aku akan membenci Arga, jika ia melakukan hal yang sama terhadapku.

Bagaimana jika Tasha adalah aku, akankah Arga masih melakukan hal yang sama saat ini seperti pada kami sekarang? Pertanyaan-pertanyaan menyesakkan dada lainnya terus bermunculan.

Ah, tapi bukankah Tasha yang telah merebut Arga dariku? Bukankah seharusnya aku yang akan menjadi pengantin perempuannya nanti? Peduli apa aku dengan Tasha? Apa dia juga peduli sama aku? Aku yang lebih dulu mencintai dan dicintai Arga.

“Terus aku harus bagaimana?” Nada bicaraku kubuat sedatar mungkin, sekokoh dan serata acian tembok kastil yang menyembunyikan kerapuhan hati ratu penguasanya.

“Tidak. Kita yang harus bagaimana.” Arga selalu pintar mengatur kata-katanya.

“Mungkin aku harus pergi, Ga,” ucapku lirih.

“Aku gak mau ada yang berubah di antara kita, aku nyaman sama kamu. Sungguh. Kamu mau kan nungguin aku buat meyakinkan orang tuaku? Mencari cara untuk meninggalkan Tasha.” Shit! Semua kata-katanya saat menenangkanku, saat aku meminta kejelasan kelanjutan hubungan kami ke dia, selalu bisa jadi senjatanya buat menaklukkanku.

Aku pun tersenyum, mengangguk seraya menyetujui permintaannya, menunggunya. Entah, setan mana yang merasukiku hingga aku mau saja diperlakukannya seperti ini.

“Kamu mau kan nunggu aku?” tanyanya kembali kepadaku.

“Iya, aku akan nungguin kamu. Nunggu urusan kamu beres.” Dia mengecup tanganku dengan lembut, mengecup keningku. Hatiku sakit, perih dan menangis. Tapi kecupannya adalah senjata kedua yang ampuh membuat hatiku luluh.

Kuberanikan melihat wajah Arga sekali lagi. Ia terlihat berpikir sangat keras, dan tangannya kulihat meremas setir.

Kami berdua hening lama, pikiranku pun seolah ikut berjalan di belakangnya. Arga tersenyum, menyalakan mesin dan mulai memutar setir. Ia tersenyum melemparkan wajahnya ke arahku. Senyum yang selalu bisa mendamaikan segala badai yang menyerang hidupku. Senjata ketiganya yang membuat aku tak pernah ingin melepasnya. Wajah itu terlihat tangguh, seolah mengatakan, “Sudahlah kau tenang saja, Gendis Sayang, semua akan baik-baik saja dan biar kekacauan ini aku yang tangani.”

Aku ikut mengangguk setuju dan tersenyum tanda mengerti bahwa akan beginilah cinta yang tertanam dalam hatiku untuk Arga. Selalu mau menunggu, selalu rela mengalah.


Cerita sebelumnya Lima Menit Kemudian


gambar dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar