1.6.15
Sampai Rindu Jadi Daun
Malam menyalin sejumlah adegan yang telah ribuan kali diputar, dari debar yang bahagia, gurauan-gurauan kecil, dan senyum yang saling bertaut.
Rindu dan sunyi saling mendesak, bertumbuk: hanya untuk menagih peluk.
Aku adalah lelehan senja yang lumer bersama kopi yang tak pernah alpa kau reguk.
Suaramu denting pening melengking ditinggalkan sunyi. Ia meninggalkan apa saja termasuk percakapan kita.
Aku masih terus mengenangmu. Kau masih suara yang menyusuri igau dan racauku.
Meski aku adalah igauan dari tidurmu kemarin yang kini coba kau ingat kembali.
Malam menyaksikan kita yang tak tertuntaskan, aku yang cemas dikepung suaramu dari berbagai penjuru, kau yang gemas merengkuh peluk tubuhku; masih keras kepala menunjukkan siapa paling sia-sia dalam cinta.
Dengan apa aku membayar seluruh kesakitanku selain dengan mengikhlaskan seluruhmu?
Malam ini doa-doa lenyap disergap prasangka, dari pelarian ke pelarian yang menyesakkan, yang di tiap sudutnya masih ada kelebat wajahmu.
Sedangkan kau kuharap akan membaca tulisan ini entah kapan, entah di mana, aku hanya berharap kau membaca ini sampai kita menjelma rintik pertama hujan akhir Nopember, sampai rindu jadi daun yang terinjak di jalan setapak.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar