7.3.08

Akhiri Jarak


Namaku Pinkan, tapi sejak kami bersama, dia memanggilku ‘Senja’.
“Nah, sekarang sudah waktunya beristirahat.”
“Iya kamu juga ya…”
“Aku menyayangimu dengan hebat.”
“Aku menyayangimu dengan sederhana.”
“Kemari, berikan aku pelukan sebelum bulan itu merenggutmu.”
“Berikan aku kecupan penghapus pilu. Jangan biarkan bulan merenggutku dan mencuri pelukanmu dariku.”
“Selamat malam senjaku.”
“Selamat malam bocah.”
“Semoga esok akan lebih baik untuk kita.”
“Untuk setiap orang yang mencinta.”
“Tak sabar ingin melihatmu esok.”
“Dengan debar…”
Setelah ratusan tahun cahaya mencinta dalam jarak, esok adalah nyata. Akan terlihat senyum ironi yang ada di kepalaku. Akan terlihat kerjap mata yang ia puja dalam kaca dengan kornea sebenarnya. Bukan hanya dalam sudut udara dan suara, namun pertanggung jawaban keterikatan dalam maya. Kini, perbincangan itu dibawa ke dunia nyata. Menghitung detik dan getar, semoga semakin indah.
Baiklah, mari akhiri saja jarak ini. Biarkan mata bertatap. Biarkan jasad berpeluk. Untuk hati yang dijanjikan.
Aku disini mengingat dirimu
Ku menangis tanpa air mata
Bagai bintang tak bersinar redup hati ini
***
Rintik hujan membasahi malam di sepanjang Jalan Diponegoro. Arus kendaraan di lalu lintas mulai padat.
“Senja! Peluk aku dong, Senja.”
Aku masih kangen. Aku menyerah pada kehangatan lengan Rezky. Diperjelas dengan lingkaran tanganku yang tiba-tiba mendarat di pinggangnya, Rezky pasti tahu bahwa aku sangat menyayanginya.
Inilah Rezky yang sedang kupeluk, yang datang dan pergi kapan saja. Setelah menerima ajakan bertemu darinya, menit pertama kuhabiskan untuk berpesta dan bersorak sorai dalam hati, menit-menit selanjutnya kupakai untuk menentukan pakaian mana yang akan kukenakan, kata-kata apa yang akan kuucapkan padanya, dan menyiapkan hatiku sebelum bertemu dengannya nanti. Aku selalu menyambut kedatangannya dengan penuh persiapan.
“Senja, ini tanganku yang terlalu dingin atau tanganmu yang hangat?” Rezky menggenggam tanganku. 
“Apakah setiap pertemuan selalu butuh perpisahan? Meskipun pertemuan itu diisi dengan kebahagiaan? Aku lebih suka menunggu kedatanganmu daripada menunggu kepergianmu.”
Aku masih bersandar diam di bahunya. Mataku masih sembab. Nafasku masih saja sesak. Kala itu, dia hanya bisa diam lalu membuka lengan tangannya. Sepasang lengan yang saling berpeluk adalah bukti bahwa tak ada yang menginginkan jarak.
“Jarak kita itu hanya nol kilometer, Sayang. Apakah kamu sadar hal itu, kamu merasakan?” Tanyanya.
Aku hanya diam dan semakin mempererat pelukanku. Aku mengucapkan selamat malam pada Rezky. Aku mencium dan berpesan agar Rezky berhati-hati di perjalanan pulang.
Dan ku mengerti sekarang ternyata kita menyatu
Di dalam kasih yang suci… Kuakui kamulah cintaku


gambar dari sini