Perpisahan. Kisah yang berkali melewati hidup manusia tapi tidak satupun dari manusia itu mampu mempersiapkan diri. Diajarkan bagaimana menjamu tamu, menyambut kelahiran, mempersiapkan pernikahan yang katanya sekali seumur hidup, namun tidak ada satupun yang dapat mengajarkan bagaimana melepas kepergian, padahal manusia melewati itu ribuan kali. Itukah mengapa banyak orang memilih untuk pergi mengendap-endap seperti seekor maling kecil di dalam rumah sederhana, berjalan berjinjit agar tidak menimbulkan suara?
Seperti ribuan hari yang lalu ketika dengan lantang seorang lelaki berseru “Jangan hubungi aku lagi.”
Saat itu ia tidak mati, ataupun kembali memisahkan diri menjadi sperma dan sel telur. Ia memaksaku pergi dengan jarak yang tidak dimengerti. Jika kematian, aku tahu dimana harus menangisi makamnya, dan jika ia kembali menjadi sperma aku tahu harus melakukan apa untuk membuat ia kembali ada.
Setelah melewati masa dengan besarnya perhatiannya, kini ia memaksa agar aku, perempuan yang begitu disayanginya, seketika dalam hitungan sepersekian detik berubah menjadi sepi dan sendiri. Bagaimana bisa? Beberapa saat sebelumnya masih dipanggilnya aku dengan panggilan kesayangannya, Cantik. Lalu ia berharap aku segera dapat berlari mengejar mimpi dimana mimpi satu-satunya adalah berada di sampingnya sepanjang hidupku?
Apa sedangkal itu hari kemarin? Tanpa ada pertimbangan apa yang akan terjadi pada dua manusia yang begitu saling menyayangi kemudian dipisahkan begitu saja. Ia tidak mati, masih hidup dengan cacing-cacing di perutnya, bukan mengegerogoti daging dan tulang belulangnya. Tutup semua luka. Untukku ia mati.
gambar dari sini