Memori malam itu. Dibawah pengaruh zat kimia yang merasuki arus darah. Ia mulai meracau tentang waktu. Terjawab sudah semua pengingkaran terhadap rasa.
Kamu harus selalu bernyanyi, ujarmu sambil tersedu. Karena kami selalu mendengarmu bernyanyi, lagu apapun itu. Aku menangis!
Pikiran bermain ke masa beberapa tahun yang lalu. Ketika semua begitu indah. Aku sudah pergi terlalu lama rupanya. Kubiarkan mereka hanya menatapiku dari kejauhan. Menghela nafas, dan memperhatikan tiap langkahku, tidak dengan mata tapi dengan hati.
Kamu selalu bisa membuat orang lain bersandar padamu, namun kamu lari ketika terjebak dengan masalahmu sendiri. Apa bahuku kurang empuk hingga kau enggan untuk menyentuhnya, apa telingaku kurang tajam hingga kau enggan untuk bercerita? Lagi-lagi aku kembali menangis.
Aku telanjang di depanmu, jawabku. Kamu terlalu tahu, topeng mana yang kudapatkan. Aku takut! Aku lelah telanjang, jawabku lagi.
Tapi aku rindu kamu. Aku rindu tiap masa yang kita lewati. Dimana berpegangan tangan saat gelap, saling menuntun berbekal senter 5 watt. Tidak ada yang tahu medan, tidak juga tahu ular, namun kita kuat karena saling menguatkan. Aku benci caramu memperlakukanku, tapi aku rindu kamu. Dan lagi-lagi aku kembali menangis.
Pertengkaran malam itu, dengan kepala tersembunyi di bawah selimut akan selalu mengisi hati. Kemanjaan tingkah laku, senangnya wajah ketika melihat celana pendek bergambar burung kecil kuning dan cerewet, selalu mampu membuatku tersenyum. Celaan, petuah yang tergambar di wajah bahkan sebelum kau berbicara terus bergelayut di kepala. Dan ketika dengan rela kau mengetik pesan tentang lagu kejujuran, yang kira-kira bunyinya “Menangislah jika kau ingin menangis. Tapi kembalilah untuk tersenyum.” mampu membuatku melewati masa tersulit.
Teman, aku rindu…
gambar dari sini
