14.1.10
Not Done
“Aku sudah punya pacar…” Dia mengatakan itu dengan perlahan. Dengan nada suara setenang mungkin. Gelas yang kupegang terjatuh persis seperti adegan di film yang butuh banyak koreksi menurutku, Ungu Violet. Wajahku terasa panas, berdebar bergemuruh.
“Oh, baguslah…” jawabku. Tak kutanyakan lagi seperti apa perempuan itu, dimana mereka berkenalan, apa yang menarik darinya, bahkan apa yang pernah mereka lakukan. rasanya hampa, tawar.
Dengan bergegas kubereskan serpihan gelas yang terjatuh. Aku berjalan ke dapur, tempat dimana kami selalu bereksperimen tentang kue yang gagal mengembang dan hangus. Dapur itu mempunyai banyak cerita. Belum lagi upayanya untuk menyenangkanku dengan membuat susu kacang ciptaannya sendiri. Aku lupa apa aku pernah mengatakan kepadanya bahwa susu itu terlalu kental?
Perlahan kakiku mengarahkan otak tanpa kukendali, aku mengambil selembar kain perca yang diletakkan tepat di dahan pohon kenanga di halaman rumahku. Halaman yang dulu kerap ia sirami, sambil aku menunggunya untuk mengepel lantai demi lantai yang basah karena ia menyiram semua pohon itu dengan sembrono. ia ceroboh, dan tidak bisa berubah kurasa.
Ia tetap menungguku di kursi kesukaannya. Dengan tertunduk ia hanya mengamati pecahan kaca yang seakan keluar dari bola matanya. Ia menangis tak bersuara. Kusapu serpihan kaca, sesaat kaca itu buram, tak dapat lagi ku bercermin. Kabut tebal bergelayut di pelupuk jendela hati, butiran air perlahan menetes.
“Kenapa menangis?” Tanyanya pelan tanpa menoleh padaku. Ia selalu tahu kapanku tersedan, tanpa perlu melihat mataku.
“Toh kamu kamu juga punya pacar. Kamu akan menikah juga! Kenapa kamu menangis? Toh aku tidak pernah berhak untuk menangis tiap kali ku harus melihat tanganmu digenggam orang lain. Aku tidak pernah berhak menangis ketika kamu tak mampu membendung perasaanmu dan mengucurkan airmata di dadanya, padahal aku ada disana. Di dalam tiap sedihmu dan tak kau dapati ia, kamu mencariku, mencari tanganku untuk mengelus kepalamu, mencari wajahku untuk menunjukkan raut aneh hanya agar kamu tertawa, dan setelah itu kamu menghilang. Lalu sekarang kenapa kamu menangis? Apa aku tidak boleh bahagia?”
Isakanku makin kencang. Pecahan kaca tak dapat lagi mengalihkan perhatian. Tak dapat kubayangkan ada nama lain di hatinya, ada wajah lain yang akan mengisi pikirannya, ada tangisan lain yang akan membutuhkan peluknya.
Bukan aku tak ingin ia ada. Tapi terlalu takut untuk membuat ia benar-benar kembali ada. Namun tak rela jika ia beranjak pergi. Egois memang. Tapi ketakutan itu selalu muncul. Ketakutan yang membawa sebuah cita-cita, tanpanya aku mati.
“Apa aku selama ini tidak mati?” ujarnya lirih seakan menjawab pertanyaan hati.
“Aku mati, aku bertahan menjadi mummi hanya karena ingin lihat kamu, hanya ingin rasakan hadirmu, namun ketika lilinku tak mampu lagi terangi rumah mungil itu, aku menyerah. Kamu berhak untuk bahagia. Kamu berhak mendapat penerangan dari semua lampu agar setiap sudut dunia tahu kamu berharga.”
Ia meraih tanganku, dan sekali lagi mengecupku perlahan, lembut seperti aku sebuah porselen yang mudah pecah, kecup hangat yang selalu mampu membuatku bergetar.
“Apa kamu bahagia dengannya?” tanyanya dengan hati-hati. Kuanggukan kepala dan ia menangis.
“Aku juga ingin bahagia. Kamu ingin lihat aku bahagia?” Aku ingin lihat ia bahagia, ingin menukar lautan airmata yang dulu kerap ia keluarkan karena aku, sakit, senang, dan sakit. Aku ingin ia bahagia, menukar semua coretan pahit dengan tulisan manis yang mungkin bisa ia dapatkan dari orang lain. Matanya masih memandangku dengan indah, dengan harap dan dengan luka yang selalu kutorehkan di sekujur tubuhnya.
“Ya, aku mau kamu bahagia” Dan kami menangis…
Langganan:
Komentar (Atom)
