"Kalau…"
Ketakutan yang nyata beribu tahun cahaya. Ia yang tidak pernah ada. Akankah menjadi sesuatu yang benar-benar tidak ada? Ataukah sedikit saja ia mau menunjukkan keberadaannya dengan rengkuhan dan kerjapan kehadiran? Susuri jurang, pergi sejenak untuk kembali pulang.
Mimpi dan angan telah dengan ceroboh kurontokkan lengkap dengan asa dan rasa. Tak kuhiraukan lagi ribuan sesak yang tertelan melihat mimpi dan anganku berjalan beriringan menjauh. Tak kutangkap lagi hujan, bahkan aku berlari dengan petir menghindari. Kepasrahan bukan lagi sebuah cinta namun tercipta dari amarah. Ketidakberdayaan dan hilangnya rona sosok manusia menjadi terlampau kaku berterbangan dengan senyum yang tersungging, mata yang kering, dan retina yang menggenang kemudian banjir.
"Kalau akui tidak berdiri disana, mampukah kamu berdiri sendiri?"
Satu lagi cerita yang harus dicerna oleh jantung. Karena hati dan logika sudah tidak bisa bekerja, tidak mau bekerja, mati bekerja!!
Berkala kulewati gorong-gorong agar udarapun tak mampu mengendus aroma asin dalam tawa. Berkali menziarahi makam yang berisi tulang, menabuk nisan, dan menangis. Hanya disana air mata tidak menjadi dosa. sesak tak menjadi tuak, raungan adalah irama. Tertatih pulang. klimaks jeritan kini hanya sunggingan senyum pemahaman, raga bergerak sesuai rotasi bukan karena diri, tetesan tak mampu terlukis bahkan dalam derasnya hujan. Untukmu aku akan tersenyum. Untukmu aku akan terlihat kokoh dan mampu. Dan untukmu juga aku akan bahagia.
"Baiklah, aku mampu. Dan aku akan bahagia, meski tanpa hadirmu."
Dengan bersimbah lara.