1.2.12

Kopi

Kopi dalam cangkir itu kini berhenti bernafas. Sepertinya ia lelah. Padahal ketika pertama kali kuciptakan kopi itu dengan cara menuangkannya ke dalam gelas kosong, menggabungkannya dengan butiran putih mengkristal dan menyiramnya dengan air menggolak ia terlihat bersemangat, bernafas dengan sangat cepat dan meletup. Serbuk gelap itu mengambang dengan tetap menyajikan pecahan letupan yang ku kenal. Hanya pekat menggumpal yang terlihat berkerumun. Butiran putih pemanis itu hilang seolah tak pernah hadir. Hanya terlihat pahit. Perlahan namun dengan penuh keyakinan cangkir itu berhenti memperlihatkan romantika kehidupan kopi. Bagaimana napasnya tidak lagi meletup dan melemah. Ia lebih tenang. “Hmm…, syukurlah. Mungkin ia sedang beristirahat.” Pikiran polos sebuah wajan yang mengamati dari kejauhan.

Gerombolan semut yang sejak tadi menatap mengerumuni pinggiran cangkir itu kini mengangkat tangan dan menyenandungkan lagu mengheningkan cipta. Lagu sakral yang menyiratkan bahagia dan derita dalam waktu bersamaan. Bahagia untuk manusia ketika butiran halus yang kerap membuat leher tercekat itu mampu menjadi lebih manis dengan adanya gula. Derita pada kopi karena pada kematiannya ia bukan lagi butiran yang berasal dari biji kopi, tapi sudah menjadi larutan yang dihantamkan pahit dengan keindahan. Seiring lantunan itu berakhir, kopi itu tidak lagi mengeluarkan aroma wangi. Tidak lagi mengepul membentuk wanita cantik, pria tampan, cacing…, bahkan ia tidak lagi berkabut!

Selamat tinggal kopi.

Selamat mati.