“Pindah sekolah?” Bunda mencopot kacamata bacanya.
Sambil memeluk buku-bukunya, Nada berdiri persis murid hukuman di sisi Bundanya. Air mata telah mulai memenuhi kelopaknya. Kalau sekali lagi ia mengerjap, maka butiran-butiran itu akan jatuh.
“Nada nggak betah…”
“Gara-gara preman itu? Belajar cuek dikit kenapa sih?”
“Nada nggak betah lagi. Dia kelewatan sekali. Nada mau di rumah aja…” Nada tersedu-sedu.
Semua gara-gara Anton, trouble maker itu. Cowok bertubuh agak hitam kokoh dengan tampang preman itu memang telah terkenal usil. Bangku kelas 3 nggak bikin dia sadar bahwa nasibnya cuma tinggal beberapa bulan sebelum dihajar ujian akhir.
Hampir tiap pagi, Nada jadi sasaran. Misalnya, begitu Nada masuk dan mau duduk, tiba-tiba cowok bertubuh kekar dengan tampang preman itu telah menyerobot bangkunya duluan.
“Pamer senyum dulu dong!” Suaranya lantang hingga seluruh kepala menengok pada mereka. Seketika wajah Nada persis kepiting rebus. Nada yang jalan sendirian ke kantin nggak berani soalnya bakalan lewat di depan ratusan pasang mata cowok-cowok kelas lain.
“Boleh tau nggak, makanan utama kamu gula, ya? Kok tiap hari kamu makin manis aja… Balasan suratku udah kamu terima belon, Nad?”
Monyet bener! Siapa sudi nulis surat ke preman macam dia. Mata Nada menyala tetapi lidahnya kelu nahan marah. Beberapa teman yang hobi gossip menghentikan celoteh mereka dan ngebela-belain menengok pada Nada. Pasti dikiranya aku naksir berat pada preman ini sampai ngebela-belain nulis surat ke dia, pikirnya jengkel.
“Minggir!” sentaknya. Kali ini, melupakan rasa malu, Nada menerjang ke bangku miliknya yang dikuasai makhluk hitam itu. Serentak Anton beringsut ke sisi, dan dengan langkah marah, Nada menjatuhkan tubuhnya ke bangkunya.
Tapi kejadian siang tadi benar-benar tak bisa diterimanya. Pelajaran terakhir bahasa Inggris. Dan Bu Elga yang perawan tua, galak dan sinis itu menerangkan preposisi. Pintu diketuk, lalu seraut wajah jelek muncul. Anton. Dengan sopan ia berbicara pelan sambil membungkuk-bungkuk. Beberapa teman mengikik karena ngerti bahwa kesopanan itu cuma dibuat-buat. Bu Elga mengangguk dan dengan kesal, karena merasa terganggu, melanjutkan tulisannya di papan.
Cowok jelek itu menoleh pada Nada. “Sori Nad, siang ini aku nggak pulang. Jadi kamu makan sendiri aja ya. Trus, tolong pakaianku yang kotor masukin ke mesin cuci. Oke Nad, aku pergi, tapi nanti malam rencana kita tetap jalan kok. Udah ya. Trimakasih Bu Elga, saya permisi.”
Nada beku di tempat duduknya. Bu Elga menoleh pada Nada tepat ketika Anton menutup pintu.
“Kamu… kamu… kumpul kebo sama… berandal itu?” tanyanya sengit. Dan tawa seisi kelaspun meledak. Lelucon yang nggak bisa dimaafkan. Sampai Bu Elga dan mungkin beberapa tukang gossip itu mengira Nada ada apa-apa sama preman itu. Kumpul kebo? Aduh. Apa mungkin ia bisa tenang belajar di sekolah dengan rasa malu dan kesal yang begini berat.
***
Nada melangkah dengan ragu. Ambang pintu kelas 1-5, kelasnya, selalu membuatnya muak. Karena ada seseorang yang akan mempermalukannya setiap pagi. Membuat wajahnya merah padam, setiap ia melewatinya. Langkahnya pelan. Dengan tertunduk ia menuju bangkunya. Telinganya siap dengan kalimat mengagetkan lainnya. Aneh, sampai ia hampir menyentuh tepian meja, tak ada sesuatu. Bangkunya kosong. Tak ada makhluk hitam, si preman pasar itu nongkrong di situ. Nada lega. Berarti usaha Bunda sukses. Sabtu kemarin, Bunda bilang ngadep kepsek dan melaporkan kelakuan-kelakuan trouble maker itu. Sekalian berpesan, kalau gangguan itu tetap berlanjut, Nada pilih cabut dari sekolah itu. Kepsek tentu telah memberi peringatan keras. Nada merasa lega. Dengan nyaman ia menduduki singgasananya.
Bel pulang udah sepuluh menit yang lalu bunyi. Kelas lengang. Tinggal Nada yang baru saja menyelesaikan catatannya. Dia berjalan tergesa ke luar kelas. Nada kaget, Anton berdiri tepat di depan pintu kelas. Mulutnya nyaris nyaring berteriak.
“Sori Nad, aku minta maaf atas kelakuanku. Bukan maksudku bikin kamu malu. Swear. Aku nggak nyangka kamu tersinggung banget. Itu cuma caraku narik perhatianmu. Aku sayang kamu, Nad. Tapi aku nggak ngerti mesti gimana. Kamu pendiem sekali. Tapi nggak pa-pa. Aku janji nggak ganggu-ganggu kamu lagi. Liat kamu aja aku udah hepi. Sori ya, Nad.”
Mereka berdiri nggak lebih dari setengah meter. Nada bisa menatap dengan tamat betapa hitam dan kelam bola mata Anton. Betapa kokoh bentuk rahangnya yang menyegi. Kesan macho dari tubuhnya yang tegak menjulang melebihi tingginya tak bisa dihindarkan. Dan… Nada kehilangan kata-kata. Sampai Anton menghilang di pintu depan koridor, ia hanya terpana saja.
Hari-hari pun lewat. Bebas gangguan. Tapi kini tiba-tiba Nadine merasa sepi. Ada yang senyap. Ada yang hilang karena tak menampak kelebat makhluk hitam kokoh itu. Dan setiap detik, ia seakan terngiang kata-kata Anton yang sederhana, polos, apa adanya. Aku sayang kamu, Nad. Liat kamu aja, aku udah hepi. Nada merasa kehilangan.
***
Nada tak tahan lagi.
“Pindah sekolah?” Bunda meletakkan majalah wanita yang tengah dibacanya, “Apalagi sekarang? Preman itu masih mengganggumu?”
Nada memeluk erat-erat buku-bukunya. Air mata telah memenuhi kelopaknya.
“Nggak. Nggak lagi, Bu. Tapi itu yang bikin Nada nggak betah…” Nada tersedu-sedu.
gambar dari sini

Tidak ada komentar:
Posting Komentar