Ini bukan tentang kekasih.
Ini tentang hatiku yang telah hilang kau curi.
Dalam kerdip delikan matamu kau mengikat tiap hembusan nafasku untuk mengikutimu.
Walau kau jelas tak pernah menoleh.
Klik!
Foto kesekian dari lelaki di depanku yang aku ambil sembunyi-sembunyi. Aku tersenyum memandangi hasil jepretanku. Lelaki itu begitu sempurna. Aku tak bicara banyak, aku hanya mampu tersenyum dan menatap, tanpa berani menyentuh juga mengeluh.
***
Dalam bisumu, kau mengikat tiap nada dalam debaran jantungku untuk memenuhi ruangmu.
Walau jelas kau tak mendengar.
Dalam diammu, kau menemalikan tali di kakiku untuk berlari mengelilingimu.
Walau jelas kau tak melangkah.
Aku menatap lelaki itu. Tatapannya lembut menyentuh, walaupun aku juga ingin lebih dari sekedar saling menatap. Menyentuh mungkin, atau saling mengeluarkan suara, mengucapkan sepatah kata. Apapun! Asal tak hanya saling menggeliatkan bola mata. Aku mencoba melempar pandang ke arah jendela, menatap lalu lalang sepeda motor dan mobil yang berlari-larian hampir beringas. Menerobos lampu merah seenaknya, menyalip sesukanya, membunyikan klakson seinginnya. Aku merasa tak nyaman.
“Gimana Bima? Kemarin jadi ketemu kan? Ganteng kan? Bima asik anaknya, seumuran sama kita, tapi dia udah lulus dan kerja, pinter anaknya” Mayang langsung menyerbu dengan pertanyaan mengenai Bima, lelaki yang selama ini aku perhatikan. Aku gelagapan karena terlalu asik memperhatikan Bima, lelaki itu.
***
“Hai! Lagi ngapain?” Bima duduk di sampingku yang lagi nyepi di perpustakaan. Aku kaget. Kok dia bisa nemuin aku di sini! Padahal aku jarang banget ke perpustakaan. Ini tempat persembunyian paling ampuh!
“Aku? Ng… kamu nanya apa tadi, Bim?”
“Ha ha ha, kamu lucu ,deh,” tawa Bima sambil mengacak-acak rambutku. Reaksiku tersenyum. Sentuhan jemarinya selalu membuat aku suka. Kelihatannya senyumku pun bikin Bima suka.
“Gimana? Proposal aku diterima, enggak?” tanya Bima.
Tuh kan, dia nanya jawabanku. “Proposal? Proposal yang mana? Aku enggak terima apa-apa, kok,” kilahku sok bego.
“Ha ha ha! Kamu memang lucu. Aku punya sesuatu buat kamu.” Bima menyodorkan sebuah bungkusan. Aku membukanya dengan dada berdebar. Sebuah album foto. Dan di dalamnya berisi foto-fotoku dengan berbagai keadaan. Candid.
“Aah Bimaaa… Ini aku. Sejak kapan kamu mengambilnya?”
“Sejak aku jatuh cinta sama kamu.”
“Kamu tau ngga, aku juga punya foto-foto kamu. Candid juga.”
Bima tersenyum. “Aku tahu.”
“Aah… Bima jangan jahat dong sama akuuu… Kamu tahu tapi kamu diam saja.” Aku nggak tau lagi harus ngomong apa.
“Aku sayang kamu.” Sekali lagi Bima mengacak-acak rambutku.
“Aku juga sayang kamu Bima.”
Ini tentang hatiku yang telah hilang kau curi.
23.4.13
8.4.13
Hujan Kata
Hujan menderas, pada siang yang teramat panas.
Bunga-bunga bakal buah rambutan terhempas, pun dengan melati.
Secangkir teh temaniku, nikmati desing peluru rindu di degup jantungku.
Pena-pena yang dijelma oleh jemari terus saja bergerak ke sana ke mari.
Menikam aksara-aksara yang terpampang di layar telepon genggam, merangkai kata.
Sesungguhnya otakku ingin mereka menulis tentang kerinduan, masa penantian.
Tentang banyak senyum yang dipaksakan, atau air mata yang selalu disembunyikan.
Tapi entahlah, hujan ini begitu menyita perhatian.
Butir-butir cairan bening ajaib, yang jatuh dari langit.
Ah! Seksi sekali mereka.
Terkesima aku oleh pesta semesta menyambut kedatangan mereka, dengarlah, bagaimana gaduhnya terompet petir memecah sunyi langit.
Lalu kecerahan awan biru diubah jadi hitam, warna kesukaan sang hujan.
Musik, ya, banyak nada tercipta saat hujan tiba, pertikaiannya dengan genteng, dengan tanah, seng, atau benda apa pun, cipta lantunan yang syahdu. Ah! Terkesima aku.
Hingga desibel nada yang ada perlahan melemah, terompet langit tak lagi terdengar. Aku masih terduduk menikmatinya.
Sampai senyum manis sang pelangi sadarkan aku dari lamunku.
Kutatap tulisan di layar telepon genggamku, telah ada beberapa kata di sana.
Kucari ide utama dari otakku saat berencana tuliskan sesuatu; rindu.
Mataku nyalang, buat kantuk yang sempat singgah hilang, telusuri tiap baris kata, mencari rindu. Tak ada!
Ternyata hujan barusan benar-benar buai aku, bekukan pikirku, hingga terlupa aku untuk tuliskan rindu.
Dan saat teguk terakhir dari teh hangat buatanku merangsek masuk dalam tenggorokan, seperti saat ini. Sudah saatnya kusudahi ketidakjelasanku dalam tulisan siang ini. Dan pergi.
Bunga-bunga bakal buah rambutan terhempas, pun dengan melati.
Secangkir teh temaniku, nikmati desing peluru rindu di degup jantungku.
Pena-pena yang dijelma oleh jemari terus saja bergerak ke sana ke mari.
Menikam aksara-aksara yang terpampang di layar telepon genggam, merangkai kata.
Sesungguhnya otakku ingin mereka menulis tentang kerinduan, masa penantian.
Tentang banyak senyum yang dipaksakan, atau air mata yang selalu disembunyikan.
Tapi entahlah, hujan ini begitu menyita perhatian.
Butir-butir cairan bening ajaib, yang jatuh dari langit.
Ah! Seksi sekali mereka.
Terkesima aku oleh pesta semesta menyambut kedatangan mereka, dengarlah, bagaimana gaduhnya terompet petir memecah sunyi langit.
Lalu kecerahan awan biru diubah jadi hitam, warna kesukaan sang hujan.
Musik, ya, banyak nada tercipta saat hujan tiba, pertikaiannya dengan genteng, dengan tanah, seng, atau benda apa pun, cipta lantunan yang syahdu. Ah! Terkesima aku.
Hingga desibel nada yang ada perlahan melemah, terompet langit tak lagi terdengar. Aku masih terduduk menikmatinya.
Sampai senyum manis sang pelangi sadarkan aku dari lamunku.
Kutatap tulisan di layar telepon genggamku, telah ada beberapa kata di sana.
Kucari ide utama dari otakku saat berencana tuliskan sesuatu; rindu.
Mataku nyalang, buat kantuk yang sempat singgah hilang, telusuri tiap baris kata, mencari rindu. Tak ada!
Ternyata hujan barusan benar-benar buai aku, bekukan pikirku, hingga terlupa aku untuk tuliskan rindu.
Dan saat teguk terakhir dari teh hangat buatanku merangsek masuk dalam tenggorokan, seperti saat ini. Sudah saatnya kusudahi ketidakjelasanku dalam tulisan siang ini. Dan pergi.
Langganan:
Komentar (Atom)