8.4.13

Hujan Kata

Hujan menderas, pada siang yang teramat panas.
Bunga-bunga bakal buah rambutan terhempas, pun dengan melati.
Secangkir teh temaniku, nikmati desing peluru rindu di degup jantungku.
Pena-pena yang dijelma oleh jemari terus saja bergerak ke sana ke mari.
Menikam aksara-aksara yang terpampang di layar telepon genggam, merangkai kata.

Sesungguhnya otakku ingin mereka menulis tentang kerinduan, masa penantian.
Tentang banyak senyum yang dipaksakan, atau air mata yang selalu disembunyikan.
Tapi entahlah, hujan ini begitu menyita perhatian.
Butir-butir cairan bening ajaib, yang jatuh dari langit.
Ah! Seksi sekali mereka.
Terkesima aku oleh pesta semesta menyambut kedatangan mereka, dengarlah, bagaimana gaduhnya terompet petir memecah sunyi langit.
Lalu kecerahan awan biru diubah jadi hitam, warna kesukaan sang hujan.
Musik, ya, banyak nada tercipta saat hujan tiba, pertikaiannya dengan genteng, dengan tanah, seng, atau benda apa pun, cipta lantunan yang syahdu. Ah! Terkesima aku.
Hingga desibel nada yang ada perlahan melemah, terompet langit tak lagi terdengar. Aku masih terduduk menikmatinya.
Sampai senyum manis sang pelangi sadarkan aku dari lamunku.
Kutatap tulisan di layar telepon genggamku, telah ada beberapa kata di sana.
Kucari ide utama dari otakku saat berencana tuliskan sesuatu; rindu.
Mataku nyalang, buat kantuk yang sempat singgah hilang, telusuri tiap baris kata, mencari rindu. Tak ada!
Ternyata hujan barusan benar-benar buai aku, bekukan pikirku, hingga terlupa aku untuk tuliskan rindu.

Dan saat teguk terakhir dari teh hangat buatanku merangsek masuk dalam tenggorokan, seperti saat ini. Sudah saatnya kusudahi ketidakjelasanku dalam tulisan siang ini. Dan pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar