25.10.13

Dalam Gundah Senja


Senja:

Aku melihat perempuan itu lagi. Duduk memandangiku lekat-lekat. Dia menghirup napas panjang lalu membuangnya perlahan. Ada yang berkilat di ujung matanya, menggenang lalu turun membasahi pipinya. Perempuan itu menangis lagi. Aku tak kuasa melihatnya.
Aku ingin menangis bersamanya. Tapi aku tidak menangis. Bukan karena tidak bersedih. Aku ingin melihat jelas ketika dia pergi, agar bisa mengenangnya.
Ada kalanya melihatnya tak cukup menyembuhkan rindu. Aku ingin melebur sedihnya di langitku.


Perempuan:

Ia menyapa dan menitipkan senja di hatiku. Hingga aku mencandu.
Sepanjang igauan yang semakin retak dan degup darah yang tak lagi menggelegak.
Aku memang tak pernah mengira tentang harum yang turun dari tengkuknya, melambatkan masa.
Ia menoleh sebentar mengirimkan jarum-jarum yang halus di mataku.
Langit berubah jingga dan menumpahkan lembayung bercampur biru, menegaskan hangat kulit tubuh, sehangat maghrib menggema.
Ku pandangi cuaca di sekitarku, hanya pendar-pendar debu yang memantulkan kelelahan lalu lintas, dalam sejuta tujuan, dalam sejuta ketidakmengertian.
Air mataku bergulir di pucuk-pucuk cemara yang gugur sebelum usai rindu kurangkai di alis matanya dan aku memang kuyup oleh langkah kaki yang semakin sayup.
Kita hampir saja melewati tikungan yang sama, hingga malam menggelapkan, dan lampu-lampu yang kian kalut memancarkan bunga-bunga api yang ternyata menyesatkan, menumpaskan.
Aku tersadar, beranjak menuju gerbang kota.
Hanya remuk yang semakin menumpuk setelah senja yang ia titipkan di dada.
Aku tidak akan pernah meminta maaf. Karena mencintainya bukan kesalahan.
Aku hanya ingin bersamanya. Apakah itu terlalu? Aku tak pernah meminta lebih dari itu.


Laki-laki:

Senja temaram. Aku melihatnya dari tempat yang tidak diketahuinya. Dia masih di tempat sama seperti senja-senja lainnya. Apa yang ditunggunya? Aku ingin membawanya pulang. Tapi aku mulai tak yakin pada perasaanku sendiri. Dalam siluet senja dia begitu istimewa. Tapi apakah dalam terang dia akan semenarik itu? Mataku tertusuk bias warna senja. Aku merindukannya tapi apakah benar aku mencintainya?
Aku membisu karena terpaku. Bukan karena tak mau. Kukira keindahannya semu.
Apakah dia yang tersesat? Ataukah aku yang keliru mengambil arah? Bahkan di persimpangan pun, kami tidak juga betemu. Kelam membawanya menghilang, sekejap saat aku mengedipkan mata. 



Gambar milik Romi Zeko

3 komentar:

  1. Selalu tentang senja. Kata-katanya nyentuh banget :")
    kalau berkenan, silakan intip blog saya, Vanilla Latte >> http://dwica96.blogspot.com/ :)

    BalasHapus