“Kecelakaan kecil. Tapi, sempet dirawat di rumah sakit, tapi bentar doang. Sekarang udah nggak kenapa-kenapa kok, udah pulang ke rumah juga.”
“Oh.” Cemburu membakar dadaku.
“Ingatkah kamu pertemuan pertama kita,? Di tempat ini, tiga minggu yang lalu. Aku sendirian, mendapati kamu menangis setelah putus dengan pacar kamu. Di pojok itu, dengan segelas kopi di meja. Lalu, aku duduk di hadapan kamu, menikmati es teler yang ada di tanganku. Sebelum akhirnya kamu berhenti menangis, dan kita berkenalan. Aku yakin, pertemuan kita ini adalah konspirasi alam semesta.”
“Maksud kamu?”
“Aku sudah nggak ada hubungan sama pacarku. Sudah sejak minggu kemarin.” Hening. Rian mengambil sendokan terakhir dari dasar gelasnya. “Aku yakin bahwa kamulah yang kucari dalam hidup ini." Aku merasakan itu. Detik ini juga. Aku ingin melompat karena terlalu bahagia.
“Tapi, aku kan, laki-laki?”
"Lalu kenapa? Kita pindah ke luar negeri. Belanda. Kita akan hidup bahagia disana. Kamu mau?"
Aku tak pernah buru-buru. Apalagi untuk urusan dengan perasaan dan masa depan. Namun, entah kenapa aku tak ingin menunda waktu lebih lama lagi untuk yang satu ini. Aku mengangguk setuju.
Tidak ada yang tidak mungkin. Semua akan terwujud. Sepasang senyum merekah di meja merah restoran tersebut.
“Maksud kamu?”
“Aku sudah nggak ada hubungan sama pacarku. Sudah sejak minggu kemarin.” Hening. Rian mengambil sendokan terakhir dari dasar gelasnya. “Aku yakin bahwa kamulah yang kucari dalam hidup ini." Aku merasakan itu. Detik ini juga. Aku ingin melompat karena terlalu bahagia.
“Tapi, aku kan, laki-laki?”
"Lalu kenapa? Kita pindah ke luar negeri. Belanda. Kita akan hidup bahagia disana. Kamu mau?"
Aku tak pernah buru-buru. Apalagi untuk urusan dengan perasaan dan masa depan. Namun, entah kenapa aku tak ingin menunda waktu lebih lama lagi untuk yang satu ini. Aku mengangguk setuju.
Tidak ada yang tidak mungkin. Semua akan terwujud. Sepasang senyum merekah di meja merah restoran tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar