3.12.07

Kau Puisiku

Aku menemukanmu dalam baris-baris epitaf atas rindu yang tak bernama.

Kau, yang membawa puisi pada hariku, mengusap tangis dalam hatiku dan menjadikan segala pedih membisu.

Dari hangat suaramu, malam berdiang, membelai dinginnya diam di bibirku.

Aku adalah puisi yang kau rangkai melalui air mata yang lirih memuja rindu.

Ribuan rindu ini untukmu. Rinduku yang pupus, kataku aus, puing-puing hatiku hangus. Kini, aku kehilanganmu.

3.11.07

Paket


Semakin tua itu maka pasti akan semakin banyak kehilangan dan mungkin juga akan semakin banyak mendapat hal-hal yang baru. Kadang antara kehilangan dan mendapat sesuatu yang baru itu imbang, kadang juga timpang.

Seperti ucapan selamat ulang tahun….

Mungkin tahun ini kamu kehilangan ucapan selamat ulang tahun dari teman lamamu, mantan pacarmu atau orang lain yang pernah penting buat kamu di masa lalu. Dan mungkin juga kamu mendapat ucapan selamat dari orang-orang baru, teman baru atau pacar barumu.

Yang jelas, kehilangan dan pertemuan yang baru itu adalah sepaket. Jadi, jangan terlalu bersedih jika kehilangan, karena kamu mungkin akan mendapatkan sesuatu yang lebih baru. Dan jangan terlalu bahagia dengan pertemuan, karena itu mungkin hanya sementara.




gambar dari sini

3.10.07

Cinta Bukan Lara


Diam, bukan berarti aku apatis
Ini bukan perih
Ini bukan lara
Tak bisa kurasakan lagi sakit itu
Karena hatiku terlalu dipenuhi cinta
Meluap, menganak sungai
Tak ada lagi air mata untukmu
Yang ada hanya inginku melihatmu bahagia
Tak perlu risau membalas cintaku
Aku tak butuh balasmu
Tak usah pergi menghindariku
Karena namamu abadi di hatiku
Ku telah mampu mengecap manis luka ini
Bahagia atas cinta
Walau tak pernah bisa kau rasa indahnya
Karena kutahu,
...hanya aku bidadari yang kau nanti di surga


gambar dari sini

3.9.07

Yang Terbuang


Melupakanmu itu mustahil.”
“Kamu sakit?”
“Tidak sesakit rasa karena kamu pergi.”
Wisnu menelan ludah, sunyi… Meski luka dan rasa kecewa begitu besar, rasa sayang Tira untuk Wisnu masih utuh.
“Itu cangkirku dulu kan?”
“Iya. Ini cangkir kesayanganmu yang kamu pakai setiap kamu minum kopi. Kamu bilang rasanya tidak sama kalau tidak minum dari cangkir ini.”
“Dan kamu benci setiap aku minum kopi. Kamu bahkan pernah berniat memecahkan cangkir itu agar aku berhenti minum kopi.”
Tira tergelak.
“Kenapa minum kopi? Nanti hipertensi kamu kambuh.”
“Biar kamu datang terus buat nengokin aku. Aku minum kopi karena rindu… Rindu aroma kopimu. Rindu kamu.”
Wisnu membuang surat undangan pernikahannya yang tadinya akan diberikan kepada Tira.


gambar dari sini









3.8.07

Kupanggil Kau Zia, Sayangku


Kala itu kusadar ada ragamu dalam ragaku
Anugerah yang selama ini kurindu
Kebahagiaan meliputi jiwaku
Aku mencintaimu sayang
Jauh sebelum aku melihatmu
Setiap detik kita nikmati berdua
Berbagi darah, berbagi detak, berbagi rasa
Kau semakin tumbuh, bagai penari
Kunikmati setiap gerakanmu
Semakin hari, aku semakin mencintaimu
Bermain dengan bayanganku, seperti apa dirimu
Hingga saat itu tiba
Kutemui engkau telah meninggalkanku
Membawa rasa cintaku pergi dan berkabut sedih
Kenapa engkau pergi disaat aku telah siap untukmu dengan segenap cintaku ?
Apa lagikah rencana hebatNya untuk kita yang tidak aku pahami?
Tidak ada yang bisa menjawabnya
Hanya sepi tanpa tarian indahmu,
Dan tanpa aliran darahmu…
Barangkali memang aku tidak perlu bertanya…
Hanya perlu keikhlasan untuk melepasmu…
Kupanggil kau Zia, sayangku..
Nama indah untukmu…
Karena kau lah cahaya surga itu
Yang belum pernah sempat aku peluk
Agar aku bisa mengenangmu, dalam mimpi, tidur dan rinduku
Suatu saat nanti kita pasti bertemu..
Saat engkau membawakan air untuk aku yang kehausan menanti pengadilanNya..
Saat itu aku akan memanggilmu…
Zia, ini Bunda, sayangku...

3.7.07

Segaring Kerupuk


Leluconmu garing, segaring kerupuk. Malah aku sempat curiga, masa lalumu adalah sebuah kerupuk yang bereinkarnasi menjadi manusia. Namun aku selalu tertawa, bukan karena leluconmu, bukan. Aku tertawa karena usahamu mencoba melucu, yang ternyata lebih lucu dari leluconmu. Atau tertawa karena aku berpura-pura. Iya, aku berpura-pura agar kamu tak berhenti melucu. Leluconmu mirip kerupuk. Makanan tambahan yang membuat makan menjadi lebih nikmat. Ketika kerupuk tak ada, serasa ada yang kurang.

Kamu tak perlu takut menjadi tidak lucu. Selama ada aku, aku siap tertawa. Jika yang lain tidak tertawa, kita tertawa saja berdua.

Biar mereka tahu, biar mereka ikut merasa… Bahwa ini adalah cinta.

Iya, cinta.




gambar dari sini

3.6.07

Tentang Dia dan Malam


Seraut wajah samar terlihat

Mampu ku lukiskan dengan sejuta asa

Mampu ku tuliskan dengan sejuta puisi cinta

Salahkah sayang yang tlah ada untuknya

Tak pernah ku tahu kenapa itu ada

Dialah dian dalam gelapku

Kehadirannya mampu mengusap air mataku

Adakah waktunya untukku

Walau hanya sekejap

Ijinkan kurangkai kata hati ini

Ijinkan ku bertemu dengannya

Walau hanya dalam mimpi indahku

Malam, bawalah dia padaku

Akan kubagi senyum ini dengannya

Akan kubagi cahaya ini dengannya

Akan kubagi rasa ini dengannya

Akan kubagi khayal ini dengannya

gambar dari sini

3.5.07

Yang Penting Kamu Tahu


Di sebuah café, aku membolak-balik buku yang baru kubeli. Sementara itu Andra duduk di depanku, menatapku, tanpa melakukan apa-apa.

“So,” Aku memecah keheningan sambil menutup buku, dan memandang Andra.

“So?” Tanya Andra gelagapan.

“Iya, katanya mau ngomongin sesuatu. Apaan?”

“I love you.” Cepat dan tegas.

“Ok. Gini. Barangkali kamu tau kalau aku enggak, atau yah… belum bisa nerima kamu jadi… um… cowokku. Mungkin kamu bener, aku butuh waktu untuk ngelupain Evan. Tapi bukan itu poinnya. Um… poinnya, I don’t love you.”

Andra enggak ngomong apa-apa. Dia masih juga menatapku dengan pandangan yang… penuh cinta. Senyum yang enggak berubah walau aku sudah bilang enggak cinta.

“So?” Aku melempar pandangan bertanya.

“Ya enggak apa-apa. Memangnya kalau aku cinta sama kamu, maka kamu harus cinta sama aku?”

Aku kaget. Aku enggak nyangka jawaban Andra akan seperti itu.

“Yang penting buatku,” sambung Andra, “Kamu tau aku sayang kamu.”

Hey, kenapa tiba-tiba aku merasa ada yang menarik dari Andra. Hey, jangan-jangan….












gambar dari sini

3.4.07

Sesuatu yang Hilang


“Pindah sekolah?” Bunda mencopot kacamata bacanya.
Sambil memeluk buku-bukunya, Nada berdiri persis murid hukuman di sisi Bundanya. Air mata telah mulai memenuhi kelopaknya. Kalau sekali lagi ia mengerjap, maka butiran-butiran itu akan jatuh.
“Nada nggak betah…”
“Gara-gara preman itu? Belajar cuek dikit kenapa sih?”
“Nada nggak betah lagi. Dia kelewatan sekali. Nada mau di rumah aja…” Nada tersedu-sedu.
Semua gara-gara Anton, trouble maker itu. Cowok bertubuh agak hitam kokoh dengan tampang preman itu memang telah terkenal usil. Bangku kelas 3 nggak bikin dia sadar bahwa nasibnya cuma tinggal beberapa bulan sebelum dihajar ujian akhir.
Hampir tiap pagi, Nada jadi sasaran. Misalnya, begitu Nada masuk dan mau duduk, tiba-tiba cowok bertubuh kekar dengan tampang preman itu telah menyerobot bangkunya duluan.
“Pamer senyum dulu dong!” Suaranya lantang hingga seluruh kepala menengok pada mereka. Seketika wajah Nada persis kepiting rebus. Nada yang jalan sendirian ke kantin nggak berani soalnya bakalan lewat di depan ratusan pasang mata cowok-cowok kelas lain.
“Boleh tau nggak, makanan utama kamu gula, ya? Kok tiap hari kamu makin manis aja… Balasan suratku udah kamu terima belon, Nad?”
Monyet bener! Siapa sudi nulis surat ke preman macam dia. Mata Nada menyala tetapi lidahnya kelu nahan marah. Beberapa teman yang hobi gossip menghentikan celoteh mereka dan ngebela-belain menengok pada Nada. Pasti dikiranya aku naksir berat pada preman ini sampai ngebela-belain nulis surat ke dia, pikirnya jengkel.
“Minggir!” sentaknya. Kali ini, melupakan rasa malu, Nada menerjang ke bangku miliknya yang dikuasai makhluk hitam itu. Serentak Anton beringsut ke sisi, dan dengan langkah marah, Nada menjatuhkan tubuhnya ke bangkunya.
Tapi kejadian siang tadi benar-benar tak bisa diterimanya. Pelajaran terakhir bahasa Inggris. Dan Bu Elga yang perawan tua, galak dan sinis itu menerangkan preposisi. Pintu diketuk, lalu seraut wajah jelek muncul. Anton. Dengan sopan ia berbicara pelan sambil membungkuk-bungkuk. Beberapa teman mengikik karena ngerti bahwa kesopanan itu cuma dibuat-buat. Bu Elga mengangguk dan dengan kesal, karena merasa terganggu, melanjutkan tulisannya di papan.
Cowok jelek itu menoleh pada Nada. “Sori Nad, siang ini aku nggak pulang. Jadi kamu makan sendiri aja ya. Trus, tolong pakaianku yang kotor masukin ke mesin cuci. Oke Nad, aku pergi, tapi nanti malam rencana kita tetap jalan kok. Udah ya. Trimakasih Bu Elga, saya permisi.”
Nada beku di tempat duduknya. Bu Elga menoleh pada Nada tepat ketika Anton menutup pintu.
“Kamu… kamu… kumpul kebo sama… berandal itu?” tanyanya sengit. Dan tawa seisi kelaspun meledak. Lelucon yang nggak bisa dimaafkan. Sampai Bu Elga dan mungkin beberapa tukang gossip itu mengira Nada ada apa-apa sama preman itu. Kumpul kebo? Aduh. Apa mungkin ia bisa tenang belajar di sekolah dengan rasa malu dan kesal yang begini berat.
***
Nada melangkah dengan ragu. Ambang pintu kelas 1-5, kelasnya, selalu membuatnya muak. Karena ada seseorang yang akan mempermalukannya setiap pagi. Membuat wajahnya merah padam, setiap ia melewatinya. Langkahnya pelan. Dengan tertunduk ia menuju bangkunya. Telinganya siap dengan kalimat mengagetkan lainnya. Aneh, sampai ia hampir menyentuh tepian meja, tak ada sesuatu. Bangkunya kosong. Tak ada makhluk hitam, si preman pasar itu nongkrong di situ. Nada lega. Berarti usaha Bunda sukses. Sabtu kemarin, Bunda bilang ngadep kepsek dan melaporkan kelakuan-kelakuan trouble maker itu. Sekalian berpesan, kalau gangguan itu tetap berlanjut, Nada pilih cabut dari sekolah itu. Kepsek tentu telah memberi peringatan keras. Nada merasa lega. Dengan nyaman ia menduduki singgasananya.
Bel pulang udah sepuluh menit yang lalu bunyi. Kelas lengang. Tinggal Nada yang baru saja menyelesaikan catatannya. Dia berjalan tergesa ke luar kelas. Nada kaget, Anton berdiri tepat di depan pintu kelas. Mulutnya nyaris nyaring berteriak.
“Sori Nad, aku minta maaf atas kelakuanku. Bukan maksudku bikin kamu malu. Swear. Aku nggak nyangka kamu tersinggung banget. Itu cuma caraku narik perhatianmu. Aku sayang kamu, Nad. Tapi aku nggak ngerti mesti gimana. Kamu pendiem sekali. Tapi nggak pa-pa. Aku janji nggak ganggu-ganggu kamu lagi. Liat kamu aja aku udah hepi. Sori ya, Nad.”
Mereka berdiri nggak lebih dari setengah meter. Nada bisa menatap dengan tamat betapa hitam dan kelam bola mata Anton. Betapa kokoh bentuk rahangnya yang menyegi. Kesan macho dari tubuhnya yang tegak menjulang melebihi tingginya tak bisa dihindarkan. Dan… Nada kehilangan kata-kata. Sampai Anton menghilang di pintu depan koridor, ia hanya terpana saja.
Hari-hari pun lewat. Bebas gangguan. Tapi kini tiba-tiba Nadine merasa sepi. Ada yang senyap. Ada yang hilang karena tak menampak kelebat makhluk hitam kokoh itu. Dan setiap detik, ia seakan terngiang kata-kata Anton yang sederhana, polos, apa adanya. Aku sayang kamu, Nad. Liat kamu aja, aku udah hepi. Nada merasa kehilangan.
***
Nada tak tahan lagi.
“Pindah sekolah?” Bunda meletakkan majalah wanita yang tengah dibacanya, “Apalagi sekarang? Preman itu masih mengganggumu?”
Nada memeluk erat-erat buku-bukunya. Air mata telah memenuhi kelopaknya.
“Nggak. Nggak lagi, Bu. Tapi itu yang bikin Nada nggak betah…” Nada tersedu-sedu.



gambar dari sini

3.3.07

Berbahagialah di Atas Tangisku


Ketika indah menjadi kewajiban, ketika kewajiban menjadi beban dan ketika hak tak mampu dibandingkan dengan perih yang meradang. Haruskah berlari? Meninggalkan semua yang dimulai, melepas semua yang mulai tergenggam, dan meniadakan tawa.

Setiap manusia mempunyai batas. Dan entah mengapa, penatku tak jua berada di ambang batas. Bertahan, karena ku punya mimpi dan cita-cita. Mimpi adalah lembutnya yang kerap membelai tiap resah kala lelahku, dan cita-cita adalah memberikan tawa bahagia dalam hidupnya. Keberadaan terhapus oleh luka, dan duka merasuki aliran darah dalam kesendirian. Kesendirian, menyileti tiap pori dimana ada detak tentang namanya.

Berbahagialah Sayang, tersenyumlah. Ku akan mengantar semua nyawa namun berjanjilah untuk bahagia. Tak pernah ku dapat bernafas dengan lapang tanpa sebuah senandung, tak pernah ku dapat tersenyum dengan tulus tanpa hembusan yang mengiris. Ingin kulepas selang infus yang terpasang mengiringi kepergianmu. Kubakar kantung air mata yang tak berhenti bocor sejak menatap punggungmu yang menjauh. Berbahagialah cinta, dengan rindu dan air mata…, juga ribuan doa.


gambar dari sini

3.2.07

Bahagia


Dia boleh tidak ingat padaku, tapi dia tidak boleh tidak ingat kalau dia harus jadi orang yang bahagia.

3.1.07

Setelah Itu


"Taken from you, 'just a single fighter who in a relationship with dashing words, engaged with peachy music thingies, married to life, divorced from sullen past. That's complicated me..' Like this."

"Hhmm., makasih sudah suka."

"Not all women think like that sister."

"Waw., tersanjung nih.."

"Gimana pekerjaannya Mbak?"

"Baik-baik saja tuh."

"Alhamdulillah kalau begitu.. Sukses selalu yupzzz."

"Makasih, sukses juga buat kamu ya dan jangan pernah patah semangat, ok?"

"Oke.. oke,, lagi down saja tadi hehe..."

"Biasalah hidup itu kan up and down, like roller coaster."

"Just being afraid that tire couldn't be up hehe.. Masih di UI Mbak?"

"Sdah kerja nih."

"Kesehatan yah. Keren nih wisuda langsung kerja.. Tinggal married aja nih hehe."

"Tadinya memang udah kerja, trus alhamdulillah dapet beasiswa, kuliah lagi deh. Sekarang balik kerja."

"Great. Nerusin S2 dimana Mbak? Memang benar-benar super kalau kata Mario Teguh hehe."

"Belum S2, kemarin masih S1."

"Semoga dapat beasiswa S2 juga yah. Aku juga sedang proses mencari hehe."

"Aamiin ya robbal alamiin. Semoga kamu juga dapat. Sebelum nikah kalo bisa, biar ga ribet, hehe."

"InsyaAllah hehe.. Ngebet banget nih kepengen nerusin study. Mbak juga ya..."

"Ya, ayo kita sama-sama berdoa."

"Okay Mbak nice to chat with you. Semoga chat ini bisa menyambung silaturahmi. Aamiin."


gambar dari sini