31.3.11
senja #1
Senja di balik kaca, bayangmu membayang di sana. Bersama senyummu yang mempesona. Ah, senja. Kau dan dia selalu buatku jatuh cinta.
29.3.11
Pulang
Menghapus perjalanan—menghapus tentangmu. Lalu menulis ulang setiap hal baru—memulai lagi dari nol. Memulai lagi dari titik paling rendah.
Pada pemberhentian itu aku menarik nafas dalam-dalam, memejamkan mata lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Jalan pulang satu-satunya yang aku tahu bukan ke arah hatimu—karena terlalu gelap.
Melainkan ke arah hatiku. Semoga kali ini aku tidak keliru.
Pada pemberhentian itu aku menarik nafas dalam-dalam, memejamkan mata lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Jalan pulang satu-satunya yang aku tahu bukan ke arah hatimu—karena terlalu gelap.
Melainkan ke arah hatiku. Semoga kali ini aku tidak keliru.
27.3.11
rindu lagi
aku rindu padamu. sekali lagi.
bukan pada "kamu pasti baik-baik saja". tapi pada "aku percaya padamu".
musim kembali mengacak serpihan rindu.
ia bukan lagi kristal, tapi semangkuk air hujan,
yang akan menguap, halangi pandangan hati.
aku rindu padamu. sekali lagi.
setiap malam menjelang habis.
bukan pada "kamu pasti baik-baik saja". tapi pada "aku percaya padamu".
musim kembali mengacak serpihan rindu.
ia bukan lagi kristal, tapi semangkuk air hujan,
yang akan menguap, halangi pandangan hati.
aku rindu padamu. sekali lagi.
setiap malam menjelang habis.
25.3.11
Rinduku Terluka
Pada bintang malam aku menunduk.
Merangkak tertatih di bawah tatap bulan.
Malam ini tak hamparkan kasih.
Rinduku tak jua terbaca.
Malam terlihat jumawa.
Tertawakan aku yang dipenjara rasa.
Rindu menguasa dalam relung jiwa.
Nelangsa bersenandung hingga gema.
Rinduku terluka.
Merangkak tertatih di bawah tatap bulan.
Malam ini tak hamparkan kasih.
Rinduku tak jua terbaca.
Malam terlihat jumawa.
Tertawakan aku yang dipenjara rasa.
Rindu menguasa dalam relung jiwa.
Nelangsa bersenandung hingga gema.
Rinduku terluka.
23.3.11
anak-anak
Kangen rasanya jadi anak-anak lagi. Makhluk kecil yang tidak kenal rasa takut. Karena tidak tahu dan tidak berharap yang muluk-muluk. Sampai suatu hari anak kecil itu dihadapkan dengan sesuatu yang dia rasakan jauh lebih besar dari dirinya. Maka dia akan berlari mencari seseorang, mencari terang, mencari apapun yang bisa dia temukan sehingga dia tidak lagi hanya seorang.
21.3.11
Selalu, Aku Rasa…
Selalu, aku rasa,
kita akan bercakap dalam senyap
Dengan bahasa langit yang hanya kita yang tahu
serta menyemai setiap harap yang kerap datang mengendap
lalu meresapinya ke hati dengan getir
Selalu, aku rasa,
kamu tersenyum di sana, ketika aku pun tersenyum di sini
dan kita, dengan bahasa langit yang kita punya itu,
secara bersahaja, menyapa larik-larik kenangan
dan meniti setiap selasar waktu
bersama desir rindu menoreh kalbu
Selalu, aku rasa,
kita tak dapat menafikan
batas yang membentang
dimana jarak membingkainya lalu menjadikannya nyata
serta membuat kita sadar
bahwa pada akhirnya,
dalam pilu kita berkata:
Biarlah, kita menyesap setiap serpihan senyap
dan menikmatinya, tak henti,
hingga lelap
tanpa tatap, tanpa ratap
19.3.11
menggenang
Ada air mata, menggenang di saku kemejamu
Setelah perjalanan panjang berliku
Yang tak pernah kau sesali
Walau sekali
Pernah kumengerjap manja,
lalu bertanya, “Apakah itu air mata, Ayah?”
Kau tersenyum, dan menjawab,
“Bukan, Sayang. Ini hanya sisa hujan,
yang Tuhan titipkan, semalaman.”
Lama baru kusadari,
kau hanya coba bentangkan pelangi
Di rumah kami
Tahukah engkau, Matahari, bahwa aku mencintaimu?
Setelah perjalanan panjang berliku
Yang tak pernah kau sesali
Walau sekali
Pernah kumengerjap manja,
lalu bertanya, “Apakah itu air mata, Ayah?”
Kau tersenyum, dan menjawab,
“Bukan, Sayang. Ini hanya sisa hujan,
yang Tuhan titipkan, semalaman.”
Lama baru kusadari,
kau hanya coba bentangkan pelangi
Di rumah kami
Tahukah engkau, Matahari, bahwa aku mencintaimu?
17.3.11
pikun
15.3.11
Kebahagiaan atau…?
Ini kebahagiaan. Berulang kali aku meyakinkan hatiku bahwa ini adalah sebuah kebahagiaan yang harusnya aku sikapi dengan tersenyum.
Tapi..., kenapa aku menangis? Meneteskan air mata atas kenyataan yang aku terima ini.
Adakah yang salah dengan diriku, dengan perasaanku?
Ternyata, aku masih ingin kamu. Masih. Dan kenyataan ini membuatku harus kehilangan kamu. Harus melepasmu. Harus menutup semua khayal indah bersamamu selamanya. Karena aku tidak mungkin lagi bisa...
Tapi..., kenapa aku menangis? Meneteskan air mata atas kenyataan yang aku terima ini.
Adakah yang salah dengan diriku, dengan perasaanku?
Ternyata, aku masih ingin kamu. Masih. Dan kenyataan ini membuatku harus kehilangan kamu. Harus melepasmu. Harus menutup semua khayal indah bersamamu selamanya. Karena aku tidak mungkin lagi bisa...
13.3.11
kami
Saya tidak butuh sosok sempurna yang mengagumkan, cukup dia yang selalu hadir menenangkan ketika saya diserang kepanikan. Sebaliknya, saya bersedia meminjamkan bahu sehabis dia lelah seharian, tidak tau ke mana harus menuju.
Kami, manusia biasa yang saling bisa membuat satu sama lain luar biasa.
Kami, manusia biasa yang saling bisa membuat satu sama lain luar biasa.
11.3.11
Gerimis Senja, Indera dan Malaikat
Gerimis menari di senja yang sunyi, luruhkan lagi pelangi yang sempat terlukis di kanvas hari.
Indera pendengaranku coba cari bunyi, bunyi yang sangat diinginkan hati, kidung malaikat.
Indera penglihatanku terus menyusuri lekuk tubuh hari, berharap sebuah mimpi bisa terjadi, senyuman malaikat.
Lalu indera penciumanku mengendus angin yang menderu senja ini, mengais suatu wangi, bau tubuh malaikat.
Bukan, aku bukan mencari bentuk malaikat yang sebenarnya dalam cerita mimpi. Malaikat ini ialah dia penguasa hati, sebab mimpiku terjadi.
Dan senja ini, rindu lagi berteriak kencang dalam hati.
Malaikatku tak nampak di setiap putaran waktu hari ini. Mungkin tumpukkan kerjanya membuat ia tak terlihat di setiap kerja inderaku ini.
Hingga kucipta kata-kata sebagai kisah hati. Entah sajak, puisi, atau prosa aku pun tak mengerti.
Yang kutau; rindu sedang menjajah hati. Hingga terciptalah tulisan ini, untuk kekasih yang sangat kurindui. Dia, sang malaikat hati.
Indera pendengaranku coba cari bunyi, bunyi yang sangat diinginkan hati, kidung malaikat.
Indera penglihatanku terus menyusuri lekuk tubuh hari, berharap sebuah mimpi bisa terjadi, senyuman malaikat.
Lalu indera penciumanku mengendus angin yang menderu senja ini, mengais suatu wangi, bau tubuh malaikat.
Bukan, aku bukan mencari bentuk malaikat yang sebenarnya dalam cerita mimpi. Malaikat ini ialah dia penguasa hati, sebab mimpiku terjadi.
Dan senja ini, rindu lagi berteriak kencang dalam hati.
Malaikatku tak nampak di setiap putaran waktu hari ini. Mungkin tumpukkan kerjanya membuat ia tak terlihat di setiap kerja inderaku ini.
Hingga kucipta kata-kata sebagai kisah hati. Entah sajak, puisi, atau prosa aku pun tak mengerti.
Yang kutau; rindu sedang menjajah hati. Hingga terciptalah tulisan ini, untuk kekasih yang sangat kurindui. Dia, sang malaikat hati.
Langganan:
Komentar (Atom)
