Dingin datang menguliti senyuman
senja pulang lebih awal.
Di selasarnya seorang lelaki duduk menyesap kenangan mencium langit mengusap dahinya bagai bayi yang menangis karena pingin menyusu
membisikan sesuatu;
“Jangan sedih, jangan sampai hujan turun hari ini.”
Matanya mendung hujan
ada sesuatu yang ia kunci di dada
tentang seseorang
tentang gadis kecil yang ia tunggu yang membuka matanya.
Dia terus menyesap kesepian menunggu hal yang ia pun tak tahu.
Seorang pria menggantung harap di bawah langit yang terbakar
seorang pria jatuh cinta tangannya mengadah meminta Tuhan supaya hujan tak pernah turun.
Dan diam-diam dia masih menunggu di bawah petang yang telanjang.
20.2.13
17.2.13
Hari Ke-23: Surat Cinta
sebuah surat cinta
ditulis kala senja menjemput
oleh sekumpulan jemari yang tengah kerasukan
di dalamnya ada nafas dari seorang kekasih yang gelisah
sebuah surat cinta
disuguhkan hangat tiap pagi
oleh pendusta yang tengah bercerita
di akhirnya ada doa yang hendak diaminkan
sebuah surat cinta
diantarkan pada jeda yang sebentar
oleh pelancong yang tak tau arah
di akhirnya ada rumah yang hendak dituju
sebuah surat cinta
dibaca lirih pada perpisahan
oleh perindu yang hampir mati
di dalamnya ada noda bekas air mata
sebuah surat cinta
semoga tidak salah alamat
ditulis kala senja menjemput
oleh sekumpulan jemari yang tengah kerasukan
di dalamnya ada nafas dari seorang kekasih yang gelisah
sebuah surat cinta
disuguhkan hangat tiap pagi
oleh pendusta yang tengah bercerita
di akhirnya ada doa yang hendak diaminkan
sebuah surat cinta
diantarkan pada jeda yang sebentar
oleh pelancong yang tak tau arah
di akhirnya ada rumah yang hendak dituju
sebuah surat cinta
dibaca lirih pada perpisahan
oleh perindu yang hampir mati
di dalamnya ada noda bekas air mata
sebuah surat cinta
semoga tidak salah alamat
13.2.13
Hari Ke-21: Cemburu
tubuh gontai mengeja langkah
seonggok hati terbalut amarah
meracau gagap pada cemburu buta
cintaku tak lagi terbaca
kumpulan nada minor
bernyanyi tanpa intonasi
bagai dengus gurun pasir
berbisik penuh desah
tersengal
rinduku dahaga
dikuras emosi
tanpa ampun
tatapmu melepasku kelana
tersisip hati yang ikut merana
lembayung senja memayungi
ada bayang yang kau amati
semburat jingga yang menggelora
pendarkan cemburu yang membara
maka kususun kata
meski kuucap dengan terbata
seonggok hati terbalut amarah
meracau gagap pada cemburu buta
cintaku tak lagi terbaca
kumpulan nada minor
bernyanyi tanpa intonasi
bagai dengus gurun pasir
berbisik penuh desah
tersengal
rinduku dahaga
dikuras emosi
tanpa ampun
tatapmu melepasku kelana
tersisip hati yang ikut merana
lembayung senja memayungi
ada bayang yang kau amati
semburat jingga yang menggelora
pendarkan cemburu yang membara
maka kususun kata
meski kuucap dengan terbata
Hari Ke-20: Letih
ingin merubah segalanya, namun penantian tak kunjung padam.
letih sudah rasa yang selalu menggema, terdengar semakin parau.
inginku lelap, namun tak kunjung bertempat.
letih sudah rasa yang selalu menggema, terdengar semakin parau.
inginku lelap, namun tak kunjung bertempat.
10.2.13
Hari Ke-19: Mengejar(mu) Pelan-pelan
Berpuluh kota sudah aku jelajahi sendirian. Ya, aku ini pejalan tangguh, begitu mencintai perjalanan. Tidak pernah mengeluh soal jauhnya jarak yang harus ditempuh. Hanya saja, agak cerewet soal kecepatan. Aku lebih memilih untuk berjalan pelanpelan. Menikmati udara yang memang tidak sepenuhnya menyegarkan. Sesekali rehat, mampir di warung kopi, memesan satu lalu menyesapnya dalamdalam. Ketika itu, senja seolah ikut menyamakan ritmenya dengn milikku. Ambil bagian dalam adegan slowmotion, senja juga berjalan pelanpelan.
“Kamu terlalu asik hidup di masa lalu,” katamu suatu waktu. “Semua orang sudah berlari, sementara kamu malah terus di situ. Tidakkah kamu ingin mengejar sesuatu?”
Tenang saja, aku tahu titik akhirku. Aku pernah berlari bahkan melesat hingga kaki ini seperti tidak menyentuh bumi. Nyatanya nafasku cepat habis, melelahkan. Dan pemandangan tidak lagi indah. Sesuatu yang kabur itu tidak enak dilihat, sayang. Aku cukup senang begini.
Dan kemarin kamu terlihat begitu terkejut. Aku tibatiba hadir di depanmu. “Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanyamu.
“Aku tahu mana yang harus kukejar.” bisikku.
“Kamu terlalu asik hidup di masa lalu,” katamu suatu waktu. “Semua orang sudah berlari, sementara kamu malah terus di situ. Tidakkah kamu ingin mengejar sesuatu?”
Tenang saja, aku tahu titik akhirku. Aku pernah berlari bahkan melesat hingga kaki ini seperti tidak menyentuh bumi. Nyatanya nafasku cepat habis, melelahkan. Dan pemandangan tidak lagi indah. Sesuatu yang kabur itu tidak enak dilihat, sayang. Aku cukup senang begini.
Dan kemarin kamu terlihat begitu terkejut. Aku tibatiba hadir di depanmu. “Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanyamu.
“Aku tahu mana yang harus kukejar.” bisikku.
Langganan:
Komentar (Atom)