20.2.13

Hari Ke-24: Di Selasar Senja

Dingin datang menguliti senyuman

senja pulang lebih awal.

Di selasarnya seorang lelaki duduk menyesap kenangan mencium langit mengusap dahinya bagai bayi yang menangis karena pingin menyusu

membisikan sesuatu;

“Jangan sedih, jangan sampai hujan turun hari ini.”

Matanya mendung hujan

ada sesuatu yang ia kunci di dada

tentang seseorang

tentang gadis kecil yang ia tunggu yang membuka matanya.

Dia terus menyesap kesepian menunggu hal yang ia pun tak tahu.

Seorang pria menggantung harap di bawah langit yang terbakar

seorang pria jatuh cinta tangannya mengadah meminta Tuhan supaya hujan tak pernah turun.

Dan diam-diam dia masih menunggu di bawah petang yang telanjang.

17.2.13

Hari Ke-23: Surat Cinta

sebuah surat cinta
ditulis kala senja menjemput
oleh sekumpulan jemari yang tengah kerasukan
di dalamnya ada nafas dari seorang kekasih yang gelisah

sebuah surat cinta
disuguhkan hangat tiap pagi
oleh pendusta yang tengah bercerita
di akhirnya ada doa yang hendak diaminkan

sebuah surat cinta
diantarkan pada jeda yang sebentar
oleh pelancong yang tak tau arah
di akhirnya ada rumah yang hendak dituju

sebuah surat cinta
dibaca lirih pada perpisahan
oleh perindu yang hampir mati
di dalamnya ada noda bekas air mata

sebuah surat cinta
semoga tidak salah alamat

Berlubang

adakah
sebongkah rindu
terlalu sarat untuk kau kerat?

13.2.13

Hari Ke-21: Cemburu

tubuh gontai mengeja langkah
seonggok hati terbalut amarah
meracau gagap pada cemburu buta
cintaku tak lagi terbaca

kumpulan nada minor
bernyanyi tanpa intonasi
bagai dengus gurun pasir
berbisik penuh desah

tersengal
rinduku dahaga
dikuras emosi
tanpa ampun

tatapmu melepasku kelana
tersisip hati yang ikut merana
lembayung senja memayungi
ada bayang yang kau amati

semburat jingga yang menggelora
pendarkan cemburu yang membara
maka kususun kata
meski kuucap dengan terbata

Hari Ke-20: Letih

ingin merubah segalanya, namun penantian tak kunjung padam.
letih sudah rasa yang selalu menggema, terdengar semakin parau.
inginku lelap, namun tak kunjung bertempat.

10.2.13

Hari Ke-19: Mengejar(mu) Pelan-pelan

Berpuluh kota sudah aku jelajahi sendirian. Ya, aku ini pejalan tangguh, begitu mencintai perjalanan. Tidak pernah mengeluh soal jauhnya jarak yang harus ditempuh. Hanya saja, agak cerewet soal kecepatan. Aku lebih memilih untuk berjalan pelanpelan. Menikmati udara yang memang tidak sepenuhnya menyegarkan. Sesekali rehat, mampir di warung kopi, memesan satu lalu menyesapnya dalamdalam. Ketika itu, senja seolah ikut menyamakan ritmenya dengn milikku. Ambil bagian dalam adegan slowmotion, senja juga berjalan pelanpelan.

“Kamu terlalu asik hidup di masa lalu,” katamu suatu waktu. “Semua orang sudah berlari, sementara kamu malah terus di situ. Tidakkah kamu ingin mengejar sesuatu?”

Tenang saja, aku tahu titik akhirku. Aku pernah berlari bahkan melesat hingga kaki ini seperti tidak menyentuh bumi. Nyatanya nafasku cepat habis, melelahkan. Dan pemandangan tidak lagi indah. Sesuatu yang kabur itu tidak enak dilihat, sayang. Aku cukup senang begini.

Dan kemarin kamu terlihat begitu terkejut. Aku tibatiba hadir di depanmu. “Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanyamu.

“Aku tahu mana yang harus kukejar.” bisikku.