23.8.13

Kepulangan


Kujangkau ponsel yang telah membangunkanku. Hhm... Indri.

“Yeah....”

“Lagi tidur, Ga?”

“Nggak... maksudku nggak lagi!”

“Hehehe... sorry! Bagaimana... kapan kamu balik ke Indonesia?”

“Besok. Seandainya Ayah nggak sakit, aku enggan balik. Masih banyak kerjaan di sini.”

“Heh, kapan kamu mau berhenti?” Suara Indri terdengar tegas di telepon.

“Berhenti? Maksudmu?”

“Kapan kamu mau berhenti melarikan diri?”

“Belum ada yang bisa membuatku berhenti, Dri. Lagian aku belum pulih banget. Semuanya masih membayangiku.” Tiga tahun kuhabiskan menyibukkan diri dengan segudang kerjaan tanpa henti. Hhh... berhenti. Di satu detik aku berhenti, di detik itu pula otakku akan membuka file-file yang selama ini ingin kulupakan. Dengan waktu selama itu mestinya aku telah mampu melupakannya. Ah... andai semudah menekan tombol delete lalu semuanya terhapus....

“This woman... I met her, fallen in love, got the opportunity...”

“And you chose her...,” ucap Indri. “Eventhough now she’s someone else’s wife. Sejauh apa pun kamu lari, kamu tak akan bisa melupakannya, Ga. Kamu membawanya lari bersamamu. Pulanglah!”

***

Hujan telah reda sejak tadi, namun tetes-tetes bening masih tertinggal di sela-sela rumput. Dingin. Aku menyembunyikan kedua tanganku di balik sweater tebalku berharap sedikit kehangatan menyelimutinya.

Kupejamkan mata. Merunut kembali apa yang telah terjadi padaku di tahun-tahun sebelumnya dengan pikiran yang lebih jernih.

Kutatap nanar tablet di depanku. Sebenarnya ada rasa enggan kembali ke kota ini. Kota yang setengah mati berusaha kulupakan dan tak ingin kujejak lagi. Tempat-tempat yang menggoreskan banyak kenangan. Orang-orang yang pernah singgah.

Tiga tahun berlalu sudah sejak kepergianku. Tiga tahun yang begitu menyiksa. Mungkin banyak yang berubah. Entahlah...

Waktu seperti enggan berputar ketika aku duduk di taman ini. Taman yang menyimpan banyak kenangan kami, berdua dengannya. Senja ini begitu hening. Angin yang berembus perlahan dan mempermainkan ujung-ujung rambutku pun enggan mengganggu.

“Kamu menyesal?” suara Indri membawaku kembali dari masa lalu.

“Menyesal untuk apa?”

“Menyesal pulang.”

“Aku menyesal tapi bukan untuk hal itu. Aku menyesal untuk setiap detik yang terbuang hanya untuk mengasihani diriku dan untuk melupakan semua kenangan tentang dia. Menyesal karena selama ini aku membenci diriku sendiri.”

“Mungkin setiap orang akan melakukan hal yang sama, Ga. Reaksi yang cukup wajar.”

“Tapi sangat susah untuk melupakan semuanya dan memulai sesuatu yang baru.”

“Kita nggak bisa membuang sesuatu yang menjadi bagian hidup kita begitu saja. Jangan memaksakan diri. Mengenang untuk melupakan. Dengan mengenangnya, kamu akan terbiasa dengan rasa sakitnya dan semakin lama rasa itu nggak akan berpengaruh lagi.”

“Hhmm....”

“Ada ujaran, katanya, penderitaan adalah kebahagiaan. Tapi sorry, aku belum membuktikan teori ini,” ujar Indri penuh senyum.

“Andai semudah itu, Dri.”

“Pasti semudah itu, yang kamu perlukan hanya usaha dan sedikit waktu. Sudah ketemu Gendis?”

“Belum. Dan aku rasa tidak perlu.”

***

Aku duduk menatap lurus batas cakrawala, biru bercampur kemerahan dan mentari semakin turun. Jiwaku terasa hangat. Begitu hangat hingga aku menikmati setiap hela napasku.

Aku tersenyum pada laki-laki yang mendekat padaku. Masih lelaki sederhana, namun memberikan arti besar pada hidupku.

“Pa!”

Senyum Duta melebar melihat Lana, anak perempuan berumur dua tahun yang semula tergolek di pundakku, turun dari gendongan, dan berlari ke arahnya. Ia membungkuk sambil membentangkan kedua tangannya, membiarkan bocah itu masuk ke pelukannya. Dijunjungnya anak perempuan itu melewati kepalanya seraya menggelitik perutnya dengan hidung. Anak itu memekik senang. Rambutnya bergerak tertiup angin. Anak itu miniatur dirinya, tetapi memiliki sesuatu yang mirip aku.

Kehadiran Lana memang bukan sesuatu yang biasa. Aku tertawa ketika Lana tak sengaja membentur pipi Duta. Laki-laki itu mengaduh dan minta dicium oleh putrinya.

***

Arga tersenyum mengamati keluarga kecil itu bermain dari bangku taman yang berada tidak jauh dari situ.

Email To: Gendis Larasati

Subject: Pada Suatu Waktu

Pada suatu waktu, mungkin kita akan bertemu di taman ini.

Aku akan meminta kamu bercerita tentang hari-hari dulu dan sekarang.

Tentang cinta yang berakhir karena Tuhan yang tak sama, juga tentang restu orang tua yang tak kunjung tiba.

Aku tahu, kamu bahagia sekarang.

Pada suatu waktu, mungkin kita akan bertemu di taman ini.

Aku dengan istriku, dan kamu akan membawa anak dan suamimu.

Dari aku

Arga Baswara

(Draft saved at 5:22 pm)



Cerita sebelumnya Permintaan Terakhir


gambar dari sini

22.8.13

Permintaan Terakhir


Mengapa aku memikirkan takdir lain untuk kami? Bukankah aku dan Arga sudah memilih jalan kami sendiri dan tidak ada yang bisa berubah?

Apa yang kupikirkan? Tidak ada kemungkinan lain untuk diriku dan Arga. Mungkin benar kata Ibu, hari ini jodoh, besok belum tentu jodoh. Dan seperti kata Arga, ada kalanya manusia hanya bisa jadi penonton tanpa bisa mengubah apa pun.

Aku masuk ke kamar. Begitu membuka pintu, mataku langsung tertuju pada selembar foto di atas meja dekat tempat tidur. Fotoku dan Duta tersenyum lepas. Tanpa disangka, emosi yang tertahan muncul ke permukaan, membuat air mata menggenang di pelupuk mataku, dan mengalir turun membasahi bantal.

Sepanjang malam, aku tidak dapat memejamkan mataku. Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku? Kenapa aku tidak bisa berpikir bahwa Arga adalah masa laluku? Seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya. Kami pernah berbagi banyak hal. Aku tak memungkiri, aku selalu menyukai sentuhan Arga. Lembut. Menggetarkan.

Aku menghela napas panjang. Aku mendengar gumaman Arga waktu itu, seperti yang dikatakannya dulu, aku seperti cokelat; manis, lembut, menenangkan. Tubuhku berguling menghadap dinding. Kupeluk guling erat-erat. Sekarang, aku isteri Duta. Aku tidak mau kehilangan lagi. Tidak mau dikhianati lagi. Tapi, aku belum bisa melupakan Arga. Aku begitu mencintai lelaki itu dulu dan ketika kami berpisah, seperti merelakan separuh hidupku dibawa lelaki itu.

Seharusnya aku memang melupakan masa lalu, melupakan Arga, dan membangun hidupku dengan Duta. Tetapi kenyataannya Arga kembali dalam hidupku dengan pesona yang sama, dengan banyak kilasan indah antara mereka.

Hatiku semakin galau. Aku menggigit bibir. Apakah Arga juga merasakan keresahan ini? Apakah Arga berharap waktu kami kembali?

Aku tidak mampu untuk berpikir lagi. Aku menarik napas dalam dan memejamkan mataku.

***

Dalam beberapa malam, aku bermimpi bertemu Gendis. Berdekatan. Di antara mimpi dan nyata, satu hal yang tak dapat diubah: takdir. Kuasa Tuhan yang menentukan kami berada di jalan masing-masing. Melihat mata kecokelatan itu, aku ingat sinar bahagia di sana, aku ingin melihat sinar itu lagi karena hanya itu yang terpenting.

Teringat kata-kata Gendis, “Kadang-kadang, kita lupa mempersiapkan diri menerima kekalahan. Mungkin, karena kita terlalu banyak berharap yang baik-baik, jadi bingung berbuat apa saat menghadapi hal terburuk.”

Aku diam mendengar perkataannya. Mungkin, aku lupa memersiapkan diri menjadi seseorang yang kalah. Hatiku tertawa getir.

Bisakah takdir di antara kami berubah? Aku mengusap wajahku, menjernihkan pikiranku untuk lebih memahami kehendak dan keadaan.

***

“Ndis...” Indri dengan raut wajah sendu memanggilku.

“Kenapa, Indri?”

“Aku kemarin ketemu Arga, dia bilang mau pindah ke Singapura.”

Pindah ke Singapura? Aku tertegun. Entah dari mana, ada desakan di dadaku yang membuatku merasa sesak. Aku kehilangan Arga? Lagi?

***

Hari ini hari terakhir Arga berada di kota ini. Ya, semua harus berhenti. Aku menemukan Arga di sana, menungguku di luar kantor.

“Arga,” sapaku pelan.

Arga mencoba tersenyum. “Hai.”

“Kamu akan tinggal di Singapura?”

“Ya.” Arga berusaha mengalihkan matanya.

Aku mengangguk-anggukkan kepala.

“Aku punya permintaan terakhir,” kata Arga tiba-tiba.

“Apa itu?”

“Kamu harus bahagia bersama Duta, Ndis,” Arga menelan ludahnya susah payah, berusaha tersenyum getir. “Kamu pasti bahagia, aku tahu itu.”

Ucapan itu membuat lidahku kelu tidak bisa berkata sepatah pun.

“Kamu telah mendapatkan Duta yang lebih baik daripada aku. Jauh lebih baik.” Mata laki-laki itu memerah dan berair. Suaranya bergetar. “Duta akan menjaga kamu, mencintai kamu, selalu ada buat kamu, nggak pernah menyakiti kamu, dan nggak pernah meninggalkan kamu.”

Senyap. Rasanya sunyi sekali. Tidak ada suara, tidak ada gerak. Aku menemukan kenyataan bahwa aku akan kehilangan laki-laki itu; lagi. Kehilangan yang benar-benar hilang. Lenyap.

“Maaf.” Suaraku terdengar sangat pelan.

“Aku yang harusnya minta maaf, Gendis. Benar-benar minta maaf untuk semuanya.” Arga tersenyum miris. “Maaf karena aku tiba-tiba datang ke hidup kamu, maaf karena aku meminta kamu kembali, maaf karena aku nggak bisa mengubah apa pun.” Ia berusaha menghela napas menahan desakan dadanya dan melanjutkan, “Ndis, aku nggak akan mencari pembenaran apa pun lagi. Satu hal yang benar adalah...,” suaranya berubah serak, “aku mencintai kamu. Aku sangat mencintai kamu. Sejak lima tahun lalu.”

Ada nyeri meremang di sudut benakku. Tatapan mata Arga begitu pedih. Laki-laki itu ada di depanku, tapi perlahan semakin jauh. Lalu, aku memalingkan wajah, menyembunyikan bening yang jatuh di ujung nataku.

Arga sungguh tidak ingin pergi. Ia ingin tinggal dan melihat perempuan itu. Meski tidak bisa memilikinya, asalkan ia bisa melihatnya bahagia, lebih dari cukup. Tapi, ia tidak ingin memaksakan kehendaknya sendiri. Ia harus memberikan Gendis dunia yang diinginkannya. Dunianya bersama Duta. “Aku pamit, Gendis,” ujar Arga. Ia berbalik, melangkah pergi tanpa berkata-kata lagi.

Aku tertegun gamang. Nanar kutatap Arga menjauh. Dia sudah pergi. Perlahan-lahan, dia menghilang meninggalkan debu yang tertiup angin. Aku memejamkan mata. Semua mengabur dalam genangan air mataku. Aku masih punya Duta. Selesai sudah.


Cerita sebelumnya Di Angka Dua Belas


gambar dari sini

21.8.13

Di Angka Dua Belas


“Aku nggak akan kemana-mana sampai kamu naik, Gendis.”

Akhirnya, aku menyerah dan naik ke mobilnya dengan susah payah memakai tongkatku, sedikit membanting pintu karena kesal.

“Nah, begitu dong, penurut. Coba dari tadi... aku nggak bakal dimarahin orang-orang di belakang.”

“Keras kepala banget, sih,” gerutuku. Dia tertawa kecil.

“Yang keras kepala sebenarnya siapa?” balasnya lembut.

Aku terdiam. Sudah lama tidak melihat wajahnya dari jarak sedekat ini. Tidak mendengar dia bicara dengan lembut. Aku kangen. Ah. Tidak seharusnya aku berpikir begitu.

“Aku harus ke toko buku sebentar. Turunin aku di mal aja.”

Arga menggeleng. “Aku anterin.”

“Sebenernya mau kamu apa, sih? Kamu tau nggak kamu lagi ngapain?”

“Kamu mau jawaban jujur atau bohong?” Gayanya masih sangat tenang, sama sekali tidak memedulikanku yang sudah berapi-api. Dia tidak menunggu jawabanku, tapi melanjutkan perkataannya, “Jawaban bohong. Aku sayang sama Tasha dan mau melewatkan hidup sampai tua dengan dia. Dia isteri yang baik buatku. Dan, aku baik-baik aja. Aku bisa hidup tanpa mikirin ibuku, pertentangan di keluargaku, perselingkuhan Tasha, pengkhianatan Edwin. Dan kamu, Gendis.” Suaranya agak bergetar saat menyebut namaku. “Dan kamu, kamu bukan siapa-siapa buat aku. Kamu nggak lebih dari masa laluku. Kamu puas dengan jawaban itu?”

Untuk sesaat, aku tersentak. Saat menemukan suaraku kembali, aku sudah gemetaran. “Kamu kekanak-kanakan, Arga. Berhenti menyalahkan kondisi dan orang lain untuk hal-hal yang udah terjadi.”

“Atau kamu mau jawaban jujur?” Dia melanjutkan dengan nada datar yang sama, tak menggubrisku. “Aku jatuh cinta sama kamu sejak pertama kita bertemu sampai sekarang. Aku berusaha untuk berhenti, tapi aku nggak bisa. Aku terpaksa menikahi Tasha, pilihan orang tuaku. Aku hanya nggak bisa membantah dan nyakitin orang tuaku. Aku nggak tahan hidup dengan topeng... aku nggak bisa jadi diri sendiri. Aku capek.”

Mobilnya meluncur dengan cepat, lalu menepi di jalan yang sepi dengan mendadak. Dia mencekal tanganku erat-erat, suaranya serak sarat emosi, berusaha menjelaskan sekali lagi. “Kamu ngerti gimana hidup penuh kepura-puraan, Gendis, kamu orang yang paling tahu tentang itu. Udah berapa tahun kamu mau bohongi semua orang di sekitar kamu bahwa kamu baik-baik aja? Aku sekarang hidup seperti kamu. Bohongin semua orang, bohongin diriku sendiri, bahwa aku masih mencintai orang yang seharusnya nggak lagi aku sayang!”

Cekalan tangannya semakin erat, kini terasa sakit. Matanya sarat dengan kesepian, kesedihan yang aku sendiri kenali dengan begitu dalam. Ya, kita sama. Kita berdua hidup dalam kepura-puraan karena takut melukai orang lain, terlebih dari diri sendiri.

“Aku hanya ingin jujur, Gendis.”

Air mata membanjiri pelupuk mataku. Aku tidak ingin menangis. Aku tidak ingin menangis. Aku tidak mau teringat akan segala kenangan buruk. Yang membenci dirinya sendiri, karena menjadi seperti ini.

Jujur.

Air mata pertama menetes di tangan Arga. Responsnya bagai terkena air panas, langsung melepaskan genggamannya yang kini meninggalkan bekas merah di pergelangan tanganku. Dia mendekapku dalam pelukannya, berkali-kali berbisik, “Maaf, Gendis. Jangan nangis. Maaf.”

Aku terisak dalam pelukannya, merasa ingin melepaskan semua. Ingin jujur, ingin melepaskan semua, menumpahkan galau yang selama ini tersimpan rapi dalam hati. Karena hanya dia yang tahu. Hanya dia yang memegang kunci untuk melepaskan semuanya, dan menemukan diriku yang sesungguhnya di sana.

Matahari tepat di atas kepala. Kulirik jam tanganku. Jam dua belas tepat. Aku melepaskan diri, mengusap mata yang sembap oleh air mata. Aku mendorongnya menjauh. Seharusnya, aku tidak naik mobil ini. Seharusnya, aku tidak menumpahkan isi hatiku.


Cerita sebelumnya Potret Ibunda


gambar dari sini

20.8.13

Potret Ibunda


Dari awal aku tahu, hubunganku dengan Gendis tidak akan disetujui oleh kedua orang tuaku, terutama Ibu. Tapi aku tetap saja menjalin hubungan dengan perempuan yang kucintai tersebut.

Dugaanku tidak meleset. Ketika akhirnya berhasil memberi tahu hubunganku dengan Gendis, Ayah diam dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun selama sepuluh menit penuh.

“Yah?” panggilku cemas. Ayah terbatuk-batuk kecil.

“Sebentar, Ayah mau ngomong sama Ibu dulu.” Kecemasanku tidak serta-merta menghilang. Aku justru semakin cemas membayangkan tanggapan Ibu. Aku takut ibuku akan menolak mentah-mentah dan aku tahu sekali ibuku akan mengeluarkan keputusan seperti itu. Tidak akan pernah ada jalan kompromi baginya.

Ibu seorang pensiunan karyawan BUMN. Ia juga menjadi pengajar paruh waktu di salah satu perguruan tinggi swasta di Malang. Semua orang yang mengenal Ibu pasti akan menyebutnya sebagai orang dengan kepribadian hangat dan menyenangkan. Namun, di balik kepribadiannya yang ramah dan supel, aku tahu kalau Ibu juga seorang yang keras kepala dan tidak terbantahkan kalau sudah memutuskan sesuatu. Berbeda dengan Ayah, yang akan selalu membelaku, bahkan ketika aku melakukan kesalahan sekalipun. Ibu tidak seperti itu. Aku tahu, Ibu tidak akan ragu mengusir anaknya keluar rumah seandainya ia melakukan sesuatu yang membuatnya marah.

Aku tidak pernah menganggap Ibu menakutkan, tetapi aku paham betul Ibu punya pendirian dan harga diri kuat yang nyaris tak mampu dirobohkan oleh seorang pun.

Ketika akhirnya Ibu muncul, aku terlonjak terkejut. Aku menunggu beberapa saat, mengatur napasku agar kembali tenang.

“Arga.” Kata Ibu.

Aku menggigit bibir bawah saking cemasnya.

“Kamu sedang menjalin hubungan sama siapa, Nak?” tanya Ibu. Nada suaranya masih biasa.

“Sama Gendis.” Aku menelan ludah.

“Hmm. Udah lama kalian pacaran?”

“Dua tahun, Bu.”

“Kamu ingin menikah dengan dia?”

“Aku punya itikad baik mau serius sama dia.”

Terdengar suara Ibu menghela napas berat. “Mau ketemu Ayah Ibu kapan?”

“Sabtu ini. Kalau Ayah Ibu bisa.” Diam lagi.

“Mau dikenalin sebagai calon isteri kamu?”

Aku terdiam sebentar, bingung sendiri ditanya seperti itu. “Iya, Ibu.” Aku akhirnya mengiyakan.

“Oke.”

“Hah?”

“Ibu bilang oke, Arga. Bilang sama... siapa tadi? Nama pacarmu?”

“Gendis, Bu.”

“Iya, Gendis. Bilang sama Gendis, kami akan terima dia baik-baik. Apalagi, kalau dia serius mau jadi calon buat anak kesayangan Ibu.”

***

Aku memberitahukan Gendis semua informasi yang harus diketahui perempuan itu sebelum bertemu dengan kedua orang tuaku. Mulai dari makanan yang disukai dan dihindari kedua orang tuaku, buku yang sedang dibaca ibuku yang seorang kutu buku sejati, sampai kebiasaan buruk yang tidak disukai kedua orang tuaku.

“Sebenarnya, Ayah dan Ibu melihat kesungguhan kalian berdua. Ibu bisa melihat sejauh mana keseriusan kalian berdua untuk membentuk keluarga bersama-sama pada masa yang akan datang.” Suara Ibu yang tiba-tiba terdengar membuat aku yang tertunduk cemas mendongakkan kepala.

Aku melirik ke arah Gendis yang duduk di sebelahku, berharap menemukan kecemasan dan ketakutan yang sama dengan yang aku rasakan. Namun, perempuan itu duduk bergeming, tidak terlihat sedikit pun kegelisahan dalam sorot mata lurus yang diarahkannya pada Ibu.

Ayah menatap Gendis lembut. “Ayah merasa senang karena ternyata Arga sudah menemukan seseorang yang mau menyayangi dan merawat dia hingga tua nanti.”

“Puji Tuhan,” Gendis tersenyum senang.

Ibu dan Ayah terhenyak. “Maaf, Nak Gendis, agama kamu apa?”

“Katolik, Bu.”

Ibu langsung berdiri, “Kenapa kamu tidak bilang sama Ibu dari awal, Le?” masuk ke dalam tanpa kembali lagi.

***

“Mau dengar pendapat Ibu, Le?” Ibu menatap lekat aku sebelum acara akad nikahku dengan Tasha waktu itu. “Jujur, Ibu sebenarnya suka sama Gendis. Tapi agama kalian berbeda.”

“Udahlah, Bu,” tukasku. “Ibu jangan membuat aku semakin bimbang di saat-saat seperti ini ya. Aku hanya menuruti mau Ibu sama Ayah. Itu aja.”

“Ibu cuma ndak mau kamu nyesel, Le.” Ibu mengusap lenganku. “Apa yang benar di mata kita, belum tentu benar di mata Tuhan.”

Sekarang aku hanya bisa memandangi potret Ibu sambil menabur bunga di pusaranya. Ibu telah pergi, Ndis. Dan sebenarnya dia juga ingin kamu menjadi menantunya.


Cerita sebelumnya Pengantar Pesan


gambar dari sini 

19.8.13

Pengantar Pesan


“Lembur lagi?” tanya Tasha.

“Iya. Masih banyak kerjaan,” ujarku santai. “Kamu mau kemana malam ini?”

“Nggak, ah. Capek banget hari ini. Aku kayaknya mau istirahat aja. Kamu nggak capek?” tanya Tasha lagi.

Tubuhku tidak dapat digerakkan mendengar pertanyaan itu. “Begitulah.” Terasa ada gumpalan di tenggorokanku. Aku terperangkap dalam kesalahan masa laluku. Kesalahan yang aku kira sudah menghilang dalam putaran waktu, ternyata tak pernah pergi.

“Aku berangkat.” Aku langsung mengemudikan mobilku tanpa menoleh lagi padanya.

Sejak menikah dengan Tasha, aku lebih sering meninggalkannya. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku untuk pekerjaan kantor, lembur dan tugas ke luar kota. Aku tidak bisa membohongi perasaanku, aku masih mencintai Gendis.

Sering aku meminta bantuan Edwin, sahabatku, untuk sekedar melihat keadaan Tasha di rumah saat aku pergi ke luar kota. Edwin pun akan mengirimkan pesan-pesan padaku untuk mengabarkan keadaan Tasha.

“Tenang aja, Ga. Dia baik-baik aja kok selama kamu tinggal pergi. Sepertinya dia tidak terlalu memikirkan kepergianmu.” Pesan Edwin suatu hari.

Aku dan Edwin adalah tim yang kompak. Aku yang menepuk-nepuk pundaknya ketika ia kalah dalam pertandingan basket pertamanya. Dia yang mengantarkan aku saat sakit dan tak ada seorang pun yang bisa merawatku. Dia yang menyampaikan pesan bahwa aku tidak di rumah saat gadis-gadis mencariku di rumah, begitu pula aku yang tertawa geli saat perempuan yang suka kepadanya meninggalkan surat cinta di kolong mejanya. Air dan minyak. Tidak larut, tetapi saling menemani. Kami saling mengenal luar dalam, jadi terasa janggal saat dia menanyakan sesuatu yang tidak biasa, hari itu.

“Ga, hubungan kamu sama Tasha gimana, sih?”

Pertanyaan yang keluar dari mulut Edwin sore itu, selepas kami berdua bermain basket one on one di lapangan dekat rumahnya, jelas-jelas bikin kelabakan. Aku bukan tipe lelaki yang suka gembar-gembor masalah percintaan ke siapa pun, tak terkecuali kepada Edwin.

Satu lagi. Mengapa tiba-tiba dia bertanya begitu? Biasanya dia cukup cuek dengan urusan pribadi orang lain, apalagi dia tahu betul aku tidak suka membicarakannya.

“Arga, jangan berlagak nggak denger, deh.” Edwin menimpukku dengan bola bundar di tangannya, yang sedetik terlambat kutangkap sehingga menghantam dadaku dan jatuh ke lantai semen.

Aku menatapnya, bingung harus menjawab apa. “Kayak biasa aja.”

“Maksudnya?”

Aku menengadahkan kepala dan memejamkan mata. Capek sedari tadi kalah skor dari Edwin; sekarang pun adu mulut juga pasti kalah telak. “Yaaa..., seperti pasangan pada umumnya. Kamu kan tahu.”

Mataku tertumbuk di sebuah kantong plastik di kursi belakang. Aih, martabak punya Tasha ketinggalan! Buru-buru aku menginjak rem, menurunkan posisi perseneling dan memutar kendali 360 derajat. Mumpung belum jauh.

Mendekati rumah. Kulihat Tasha keluar dari pintu. Katanya mau istirahat, tapi kok malah keluyuran lagi?

Ada sebuah mobil yang menunggunya di depan rumah. Mau kemana dia? Aku segera mengikutinya. Mobil itu menuju sebuah kedai kopi yang ramai.

Aku buru-buru memarkir. Kedai kopi yang ramai memaksaku untuk terburu-buru. Aku lalu turun tanpa lupa mengambil jaket untuk berkamuflase. Jangan sampai aku ketahuan membuntuti mereka.

Edwin? Itu Edwin? Ngapain Edwin sama Tasha? Skenario apa lagi, nih? Aku segera duduk membelakangi meja mereka.

“Hahaha.” Tawa Tasha terdengar sesaat setelah aku duduk. “Jadi dia bilang begitu, Win? Arga bilang hubungan aku sama dia baik-baik aja? Gila, ya, tuh orang!”

“Si Arga tuh memang gak cinta kamu, Beb. Mending kamu tinggalin dia aja. Daripada kamu jalanin dua hubungan begini. Mending fokus sama aku. Minimal aku kan nggak ninggal-ninggalin kamu. Hihihi.”

Perutku bergolak. Semakin mendengarnya, semakin terasa desakan rasa amarah, kegagalan, dan kekecewaan. Rahangku mengeras. Napasku berkumpul di tenggorokan.

“Seandainya dia nggak tajir, udah lama aku tinggalin dia.”

Aku tidak tahan lagi. Kuambil gelas berisi susu soda dingin di depanku. Aku langsung menyiramnya di kepala Edwin.

Edwin terkaget dengan es dingin di sekujur kepala dan baju. Kumis dan jenggot tipis menggawangi mulutnya yang melongo lebar. Aku biarkan Edwin sejenak dan mengalihkan pandangan ke Tasha. “Jadi ya, Tas, selama ini kamu mau menikah denganku cuma karena harta! Jadi, kamu bilang mencintai aku selamanya itu cuma bullshit?”

“Ga, ini bukan seperti apa yang kamu dengar. Sabar dulu, Ga.”

“Dan kalian berdua. Apa yang sudah kalian lakukan di belakangku? Kalian selingkuh kan? Dasar kalian berdua tukang tipu.”

“Iya, aku memang tukang tipu. Tapi kamu, Ga, kamu juga tidak pernah mencintai aku. Rumah tangga macam apa ini. Kamu selalu pergi entah kemana.” Bela Tasha.

“Jadi, sekarang kamu maunya apa, Tas? Pernikahan kita gagal. Kamu juga, Win, kamu mau ambil Tasha dari aku?”

“Kamu benar, pernikahan kita gagal, Ga. Pernikahan kita nggak akan bisa berjalan kalau salah satunya merasa nggak bahagia. Dan kenyataannya, aku nggak bisa memaksa kamu mencintai aku.”

Aku terdiam.

“Maaf, Ga. Harus aku akui, aku mencintai Tasha.” Edwin berkata lirih.

“Bangsat!” Tangan aku kepal, sekuat-kuatnya. Lengan aku ayun, sekencang-kencangnya. Aku pukul Edwin tepat di pipi kirinya. Badan bidangnya jatuh dan terebah di lantai.


Cerita sebelumnya Menulis Takdir


gambar dari sini

18.8.13

Menulis Takdir


“Jadi, bener kamu masih berhubungan sama Arga to?”

Aku tidak segera menjawab. Aku menarik napas dalam-dalam. Debaran kencang tiba-tiba menyerbu dadaku. Namun, segera kualihkan dengan mengambil gelas di tempat tidur dan meneguknya. Ibu tahu dari mana?

Nduk...” Ibu menatap lembut. “Jodoh memang urusan Gusti Allah. Ibu cuma mau kamu ndak kesusu mengambil keputusan. Ibu mau kamu bahagia, mau yang terbaik buat kamu.” Ibu mengusap lenganku.

Aku menggigit bibir. Rona merah di wajahku pias. Bibirku bergetar menahan gejolak dadaku. Hatiku bimbang. Dan begitu pintu kamar ditutup oleh Ibu, ruangan jadi terasa mengecil. Aku masih mencintai Arga, Bu. Sangat mencintainya.

Aku kembali membaringkan tubuhku menatap jendela. Hujan kembali turun diiringi angin menderu-deru. Butir-butir air tampak di kaca jendela. Aku masih tidak mengerti. Tidak dapat berpikir. Tidak dapat menghentikan perasaan yang hadir. Dan kini, ada perasaan bimbang meremang. Aku menghela napas panjang, berharap malam bisa menghentikan semua ini.

Satu per satu rekam cerita bermain dalam kepala. Cerita yang terpaksa harus kubuka kembali malam ini. Lembar demi lembar halaman memenuhi pandangan, malam ini ingatan tentangnya mengembara.

“Selamat sore, Gendis. Sudah dari tadi, ya? Maaf aku terlambat.”

Perkenalan yang dimulai tanpa sengaja, diawali dari sebuah jaringan sosial media. Sarana yang menurut banyak orang mampu mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Nyatanya, kami berdua dipertemukan oleh kemajuan teknologi yang dicaci sekaligus dipuja.

“Aku sudah makan,” katanya sambil sesekali menepis helai-helai rambut yang menjuntai di balik topi usang yang ia kenakan.

“Aku suka cappuccino, dan aku sudah memesankan kamu kopi hitam. Tuh sudah datang.”

“Ah, terima kasih, kamu masih ingat betul kesukaanku.”

Arga dan aku membiarkan dunia di kepala kami melebur menjadi satu dalam pertukaran cerita.

Sampai suatu hari, Arga memberikan sebuah kejutan. Kali ini sebuah kecupan yang membuat seluruh saraf di sekujur tubuh seakan lumpuh seketika. Kecupan tanpa permisi yang sanggup membungkam bibirku yang ramai bercerita.

“Kamu jangan membuat aku jatuh cinta.”

“Kita tidak perlu jatuh cinta, Gendis. Aku di sini tidak ke mana-mana.”

Kata “tidak” dan “jangan” hanya tercekat di kerongkongan saat hujan kecupan Arga alamatkan kepadaku. Detak di dada berlomba dengan detik yang kuhabiskan bersamanya. Hati seperti kehilangan kemudi, dan berharap waktu berhenti.

Kini, aku mencoba mengerti dengan segala keterbatasan yang ia miliki, menyibukkan diri menjadi satu-satunya jalan untuk bertahan melawan keinginan bertemu. Sering kali logika menyuruhku untuk berhenti, tetapi ternyata hati tidak mengenal kata kompromi.

***

Hari ini, aku mencoba menulis takdir.

Aku menghentikan motorku di depan sebuah kedai kopi berhalaman luas. Mendadak aku ragu dengan langkah yang kuambil. Ragu apakah ini jalan yang tepat untuk mengobati kegelisahanku. Tapi, sekarang aku sudah berada di sana, menghitung-hitung kemungkinan berbalik, dan membatalkan niatku.

Dadaku berdebar tak menentu. Bermalam-malam aku dibayangi wajah Arga, tidak tahu kenapa, yang membuatku gelisah. Dan kegelisahan membuatku tak nyaman.

Arga sudah di dalam. Tersenyum melihatku.

“Hai,” sapaku dengan suara setenang mungkin.

“Hai,” balas Arga.

Sebuah perasaan hangat menjalari dadaku, nyaman. Tetapi aku juga merasakan sesak mengingat sebulan lagi lelaki itu akan meninggalkanku untuk menikah dengan perempuan lain. Kutarik napas dalam-dalam, berharap menormalkan nadiku yang berdenyut cepat. Dengan gelisah, aku mengusap wajahku. Aroma segar Arga ikut membaur, membuat segalanya jadi lain.

Bulir-bulir embun jatuh menjadi hujan, membasahi sekat-sekat hati yang perlahan terpaksa kututup. Mimpi yang sebelumnya bebas berkelana, kupenjarakan di balik jeruji besi.

Sudah-sudahi saja, untuk apa bertahan dalam kebohongan? Aku tidak ingin bahagia di atas cerita yang direkayasa. Aku tidak punya hati untuk tertawa di atas kepingan mimpi yang akan dia bangun bersamanya, seruku dalam hati.

Mungkin aku hanyalah orang yang tepat yang berada dalam kondisi yang salah. Bukan salahnya. Bukan salah siapa-siapa. Bukankah cinta tidak pernah salah?

“Gendis.”

“Mmmm.”

“Aku sayang kamu.”

“Iya.” Aku tahu, Arga..., aku tahu banget.

“Gendis.” Dia memanggilku lagi.

“Mmmm.”

"Jangan pergi."

Kali ini, aku menoleh, tidak langsung menjawab. Kedua mataku terpejam, tangannya menggenggam erat tanganku, benar-benar enggan untuk melepaskan tautanku.

Jangan pergi, dia meminta. Jangan pergi.

“Aku...” Aku menelan ludah, lalu menatap lelaki itu dengan tatapan membingungkan. Tiba-tiba saja, Arga meletakkan kedua tangannya di mulutku, mencegahku untuk mengucapkan apa pun yang hendak aku katakan. Mungkin, ia merasa apa pun yang akan kukatakan bukanlah sesuatu yang ingin ia dengar.

Arga benar. Namun, ia terlambat.

“Aku rasa, hubungan kita harus benar-benar berakhir.”

Arga terhenyak ke belakang.

“Mungkin lebih baik kalau kita tidak usah bertemu lagi. Kita mengisi sepi dengan sunyi yang ramai. Kamu tidak untuk dimiliki, begitu pun halnya aku. Berjalanlah seperti udara, berkilaulah laksana cahaya. Teruslah berbagi kebaikan, sebanyak mimpi yang kita punya selama ini. Semoga bahagia selalu bersamamu. Dalam ruang yang kunamakan kenangan, kau akan selalu hidup tak bertuan.”

Dirinya kutinggalkan. Malam itu, aku menghukumnya dengan air mata yang tumpah ruah seperti hujan pada Januari. Menghukumnya dengan pertanyaan bertubi-tubi dan penyudutan hingga ia tak mampu untuk berdiri.

Takdir sudah tertulis. Dan takdirku bukan bersama Arga.


Cerita sebelumnya Tiga Senjata


gambar dari sini

17.8.13

Tiga Senjata

“Arga, kalung ini bagus sekali. Aku tak pernah menyangka kau akan memberikannya.”

Seorang perempuan sedang bersandar di dada Arga penuh dengan gaya manja.

“Sayangku, kamu sedang tak mau berkata apa pun?”

Arga mencubit hidung sang pemilik kalung berliontin kupu-kupu dengan sayap biru muda.

Kemudian, tiba-tiba...

“Aha!!! Dapat!”

Permpuan itu dengan cepat meraih ponsel Arga dari sakunya. Ia begitu segera membongkar isi ponsel Arga, seperti ayam kelaparan yang menggali tanah dengan cekernya mencari makan siangnya.

“Aku... minta... kamu... jelasin ini semua!”

Alis perempuan itu berkerut waspada, mencari-cari apa yang ada di layar Blackberry milik Arga di meja, kemudian menemukannya. Aplikasi BBM terbuka, menampilkan pesan-pesan singkat percakapan ringan, tetapi sangat janggal dari sebuah kontak bernama ‘Gendis’. Tangan Tasha, perempuan itu, tampak sudah siap menggunakan super energi yang siap kapan saja dilepaskannya untuk membanting ponsel itu.

Malam ini, enam bulan setelah Arga resmi menjalin hubungan dengan Tasha, perempuan pilihan orang tuanya yang mengusik kehidupan cintanya bersama Gendis. Saat ini, Arga sedang mengacaukan rencana pernikahannya dengan Tasha, karena tetap berhubungan dengan Gendis yang disayanginya.

***


“Gendis, banyak pesan darimu yang tak sengaja dia baca, juga omongan dari teman-temannya yang ternyata pernah melihat kita jalan berdua. Tasha mulai tahu tentang kita.”

Setiap hari aku mencintai Arga. Namun, juga pada waktu yang sama merasa membuang-buang waktunya jika terus bersamaku. Terkadang, aku berusaha mengosongkan perasaan-perasaan dalam hatiku untuk Arga, kemudian mengisinya kembali dengan memposisikan diriku, mulai menuliskan satu pertanyaan, “Bagaimana jika aku menjadi Tasha?” Salah satu jawaban yang muncul, membuatku tidak kuat membayangkannya.

Jawaban bahwa, orang yang kucintai berbagi kebahagiaan dengan yang lainnya. Waktu yang seharusnya dihabiskan bersamaku, malah dihabiskan bersama yang lain. Aku tidak sanggup, bahkan mungkin aku akan membenci Arga, jika ia melakukan hal yang sama terhadapku.

Bagaimana jika Tasha adalah aku, akankah Arga masih melakukan hal yang sama saat ini seperti pada kami sekarang? Pertanyaan-pertanyaan menyesakkan dada lainnya terus bermunculan.

Ah, tapi bukankah Tasha yang telah merebut Arga dariku? Bukankah seharusnya aku yang akan menjadi pengantin perempuannya nanti? Peduli apa aku dengan Tasha? Apa dia juga peduli sama aku? Aku yang lebih dulu mencintai dan dicintai Arga.

“Terus aku harus bagaimana?” Nada bicaraku kubuat sedatar mungkin, sekokoh dan serata acian tembok kastil yang menyembunyikan kerapuhan hati ratu penguasanya.

“Tidak. Kita yang harus bagaimana.” Arga selalu pintar mengatur kata-katanya.

“Mungkin aku harus pergi, Ga,” ucapku lirih.

“Aku gak mau ada yang berubah di antara kita, aku nyaman sama kamu. Sungguh. Kamu mau kan nungguin aku buat meyakinkan orang tuaku? Mencari cara untuk meninggalkan Tasha.” Shit! Semua kata-katanya saat menenangkanku, saat aku meminta kejelasan kelanjutan hubungan kami ke dia, selalu bisa jadi senjatanya buat menaklukkanku.

Aku pun tersenyum, mengangguk seraya menyetujui permintaannya, menunggunya. Entah, setan mana yang merasukiku hingga aku mau saja diperlakukannya seperti ini.

“Kamu mau kan nunggu aku?” tanyanya kembali kepadaku.

“Iya, aku akan nungguin kamu. Nunggu urusan kamu beres.” Dia mengecup tanganku dengan lembut, mengecup keningku. Hatiku sakit, perih dan menangis. Tapi kecupannya adalah senjata kedua yang ampuh membuat hatiku luluh.

Kuberanikan melihat wajah Arga sekali lagi. Ia terlihat berpikir sangat keras, dan tangannya kulihat meremas setir.

Kami berdua hening lama, pikiranku pun seolah ikut berjalan di belakangnya. Arga tersenyum, menyalakan mesin dan mulai memutar setir. Ia tersenyum melemparkan wajahnya ke arahku. Senyum yang selalu bisa mendamaikan segala badai yang menyerang hidupku. Senjata ketiganya yang membuat aku tak pernah ingin melepasnya. Wajah itu terlihat tangguh, seolah mengatakan, “Sudahlah kau tenang saja, Gendis Sayang, semua akan baik-baik saja dan biar kekacauan ini aku yang tangani.”

Aku ikut mengangguk setuju dan tersenyum tanda mengerti bahwa akan beginilah cinta yang tertanam dalam hatiku untuk Arga. Selalu mau menunggu, selalu rela mengalah.


Cerita sebelumnya Lima Menit Kemudian


gambar dari sini

Lima Menit Kemudian


Aku menghabiskan banyak sekali waktu untuk berlatih kata-kata yang harus diucapkan di hadapan Arga, alasan demi alasan yang aku susun dengan tujuan membuat Arga mengerti sekaligus meringankan rasa sakit hati yang mungkin akan dirasakan Arga karenaku. Namun, semua latihan yang kulakukan di depan kaca itu selalu berakhir di tengah-tengah karena pada akhirnya, aku sendiri yang tidak kuat menahan tangis.

Untuk kali pertama, aku duduk sendiri menunggu Arga di taman tempat kami pertama bertemu, tempat kami biasa berbincang-bincang sampai lupa waktu, tempat Arga memainkan gitarnya untukku, tempat kami pertama berciuman, tempat aku merasakan cinta yang sedemikian dalam untuk Arga. Aku melihat ke sekeliling taman dan memandangi semua hal di sana. Tempat ini memiliki ribuan kenangan bagiku, tetapi seiring ucapan perpisahan yang akan aku ucapkan untuk Arga, aku pun akan mengucapkan perpisahan pada tempat ini pula. Aku mungkin tidak akan pernah menginjakkan kaki di tempat ini lagi. Setidaknya, tidak dalam waktu dekat.

Suara langkah kaki yang terdengar mendekat menyadarkanku dari lamunanku. Aku mendongakkan kepala dan melihat Arga berjalan ke arahku. Tidak ada satu hal pun yang berubah dari diri lelaki itu selama ini. Kulitnya yang bersih terawat, postur tubuhnya yang tegap, kesan seksi yang ditampilkannya secara keseluruhan. Yang membuat pertemuan ini terasa semakin berat adalah fakta bahwa perasaanku ketika melihat Arga pun belum berubah. Aku bisa saja memaki Arga ribuan kali karena telah meninggalkanku untuk menikah dengan perempuan lain pilihan orang tuanya. Namun kenyataannya, ketika Arga berada di hadapanku, semua kesalahan itu seolah-olah termaafkan. Aneh memang, tetapi begitulah adanya.

“Gendis Sayang,” Ya, dia masih memanggilku dengan kata ‘Sayang’.

“Hei,” sapaku, berusaha terlihat ceria.

“Kaki kamu, kaki kamu kenapa?” Matanya terbelalak menyadari aku duduk di kursi roda tanpa kaki.

“Aku kecelakaan dan sekarang beginilah keadaanku.”

“Kenapa kamu tidak pernah menceritakan ini sama aku?”

“Buat apa? Untuk mengganggu kehidupan rumah tangga kamu? Bukannya kita sudah tidak ada hubungan apa-apa?”

“Kenapa kamu ngomong seperti itu, Sayang? Harus berapa kali aku jelasin itu semua sama kamu. Aku cuma nurutin keinginan orang tuaku. Sampai detik ini, aku masih sayang sama kamu.”

“Cukup Ga. Jangan lagi bilang sayang sama aku. Ingat sama istri kamu.”

“Lalu aku harus bilang apa? Kenyataannya memang seperti itu.”

Aku merasa lidahku kelu. “Lalu apa lagi yang ingin kamu katakan?”

“Aku sudah berpisah dengan dia.” Kali ini aku terperanjat kaget. “Aku ingin menikah denganmu, Sayang.”

“Gak mungkin Ga. Gak bisa,” ujarku terbata-bata.

“Kenapa? Karena kamu cacat. Aku terima kamu apa adanya, Sayang. Tiga tahun kita berpacaran dan sampai detik ini aku masih sayang sama kamu.”

“Bukan itu.” Aku merasakan air mataku berkumpul di pelupuk mata, menunggu untuk menetes. Aku ingin cepat-cepat pergi dari sini.

“Lalu apa?”

“Dua hari lagi aku akan menikah.”

“Apa?” Kulihat Arga terduduk lemas di sebelahku.

“Maaf Ga...,” Aku merasakan suaraku yang tercekat, “... dan makasih kamu masih menyayangiku.” Aku memutar kursi rodaku, bermaksud meninggalkan Arga seorang diri ketika tiiba-tiba lelaki itu menahan kursi rodaku.

Arga memegangi tanganku dalam diam selama beberapa saat, sama sekali tidak mengeluarkan suara.

“Maaf,” gumam Arga tiba-tiba. Aku menoleh, tidak benar-benar memercayai apa yang baru saja aku dengar. “Maaf karena aku udah menyakiti kamu selama ini,” lanjut Arga yang semakin membuat diriku terperangah. “Maaf karena udah bikin kamu nangis. Maaf karena udah ninggalin kamu menikah dengan perempuan lain. Maaf seenaknya datang dan pergi dalam kehidupan kamu. Maaf tidak bisa menjagamu. Maaf terlambat datang kembali. Maaf, maaf, maaf.”

Aku mengangkat kepalaku dan menatap lelaki itu lurus. Air mataku berjatuhan tanpa bisa terbendung lagi.

Arga berdiri, menghapus air mata yang mengalir di wajahku dengan tangannya.

“Cengeng.”

“Biarin.”

“Jangan nangis lagi.”

Aku mengangguk pelan mengusap pipiku yang basah.

“Mau aku anter pulang?” tanya Arga sopan setelah beberapa saat. Aku menggeleng.

“Nggak usah, bentar lagi dijemput.” Sekilas, aku bisa melihat ekspresi muram di wajah Arga ketika mendengarnya, tetapi dalam sekejap, ia menutupinya dengan senyum.

“Calon suami kamu?”

Aku mengangguk.

Lima menit kemudian.

Arga menatapku dengan ragu, lalu tanpa bisa dicegah sama sekali, ia mengecup pipiku ringan.

“Aku sayang kamu.” Arga langsung pergi sebelum aku bisa memberikan reaksi apa pun. Aku terduduk lemas sambil memegangi bagian pipiku yang baru saja dicium lelaki itu.


Cerita sebelumnya Tombol Pengingat


gambar dari sini

15.8.13

Tombol Pengingat

“Kenapa kamu ingin menikah denganku, Duta? Bukannya banyak perempuan yang lebih daripada aku? Aku cacat.”

“Aku ingin menikah denganmu bukan karena kecantikan fisik.”

“Lalu apa?”

“Karena hidupku akan menyenangkan hanya jika bersamamu, melihat senyummu, Cantik.” Duta mengecup keningku. “Kamu yang paling mengerti aku, Gendis. Kamu yang paling tahu apa yang aku inginkan.”

Aku menengadahkan wajahku, melihat tatapan lelaki itu. Masih serupa labirin. Tapi aku bersedia tersesat di sana, karena aku sadar ketidakmampuanku untuk mengingkari keinginan tetap berada dalam likunya. “Aku mencintaimu, Duta,” ujarku parau.

“Aku lebih mencintaimu, Gendis,” jawabnya. Aku tersenyum berbinar menggapai tangannya. Aku dapat melihat cinta lelaki itu di matanya. Cinta yang selama ini kucari. Duta menunduk, memelukku dengan erat di kursi rodaku. “Menikahlah denganku. Jadilah ibu dari anak-anakku.”

Kuembuskan napasku di sekitar telinga lelaki itu dan berkata seperti berbisik, “Ya.”

Aku mengangguk dalam pelukannya. Meneteskan satu persatu airmata bahagia. “Akhirnya, aku tahu kenapa aku jatuh cinta sama kamu setiap hari.”

Duta kembali memelukku erat.

***


Semua sudah siap. Tiga hari lagi aku dan Duta akan menikah. Rumah sudah ramai dengan saudara-saudara jauh yang mulai berdatangan. Sekian banyak orang sibuk hilir mudik kesana kemari membawa barang dan peralatan. Beberapa pria separuh baya terlihat mengobrol sambil duduk di kursi plastik yang diletakkan di bawah pohon mangga depan rumah, mengobrol sambil menikmati secangkir kopi atau teh panas yang dihidangkan. Beberapa pria lain yang berusia jauh lebih muda sibuk mendirikan tenda.

Aku merasa begitu penat. Ibu menyuruhku istirahat saja di kamar. Besok, kamarku akan didekorasi menjadi kamar pengantin. Entah seperti apa jadinya. Yang aku tahu, akan berhias dengan warna merah, warna kesukaanku.

Aku membuka ponselku. Teringat tadi Indri mengirim voice note dan aku hanya menyimpan, belum mendengarkannya. Kubuka voice note-voice note yang tersimpan. Banyak sekali voice note yang tersimpan. Ah, aku jadi ingin mendengarkannya satu persatu dan membuang yang tidak lagi penting.

Aku klik tombol voice note. Suara Jaka, Nia, Pujo, Anis, Kamal, Firman dan ...

“Ketika cinta adalah apa adanya, mencintai yang ada tanpa melupakan yang berada.

Menyayangi yang terasa tapi tidak yang terluka.

Bila aku memilihmu untuk menemaniku itu karena engkau adalah apa adanya hatiku, yang terbaik, yang aku kenal.

Merindukan sesuatu yang hilang karena kepercayaan yang terbuang.

Jatuh cinta karena pesona yang kau hadirkan lewat hatimu yang kau titipkan untukku.

Jika itu hanya sesaat bukan karena kamu tak mampu.

Hanya karena hati kita tak bisa bersatu.

Kuyakin kalau cinta yang tulus, aku tetap bisa mencintaimu, meski pun dari jauh.

Ini aku dan hatiku hanya untuk kamu.

I love you baby. Happy anniversary kita yang setahun ya. Makasih Sayang.”

... suara Arga.

"Jangan telat makan ya Sayang, obatnya jangan lupa diminum juga, mau sembuh atau ga kamu? Aku sayang kamu." Suara Arga yang lain.

"Jangan lupa makan ya Sayang, obatnya juga. Jangan lupa sholat juga ya. Mmuuah." Dan suara Arga yang lain lagi.

Tiba-tiba rindu menyergapku dari segala arah. Arga, apa kabar kamu?

Ada telepon masuk, dari Arga. Apa? Ini kok bisa?

"Halo."

"Hei Sayang..."

"Arga, aku..."

"Kita harus ngomong serius."

Aku hanya bisa membuka mulut tak bersuara.


Cerita sebelumnya Sepasang Sepatu Tua


gambar dari sini

14.8.13

Sepasang Sepatu Tua


Aku mengambil sebuah kotak yang sedikit berdebu. Kubersihkan dengan lap lalu membukanya. Sepasang sepatu yang cantik. Merah dan putih dengan pita yang manis. Sepatu kesukaanku. Ada sesuatu yang menyentakku. Aku seakan-akan menemukan sebuah ruang gelap yang hanya ada gambar-gambar Duta dan sepatu itu di dalamnya. Berputar dengan semua yang pernah kami lalui. Aku termenung sesaat, lalu mengusap wajahku.

“Semoga kamu suka apa yang aku beri,” kata Duta waktu itu di telpon ketika aku mengabarkan padanya bahwa barang yang dia kirimkan sudah aku terima.

“Tapi aku sedang tidak berulang tahun,” kilahku.

“Apakah harus menunggu kamu berulang tahun dulu baru aku boleh memberimu sesuatu, Ndis?”

“Tidak juga,” jawabku.

“Bukalah.”

Aku mulai merobek kertas pembungkusnya dan di dalamnya kutemukan sepatu itu. Flat shoes. Dia tahu, aku benci memakai high heels.

“Sepatu yang cantik. Aku tidak tega memakainya.” Mataku berbinar senang.

“Itu memang untuk kamu pakai bukan dipajang apalagi cuma disimpan. Sepatu itu akan cantik ketika kamu yang memakainya, Ndis.”

“Makasih. Aku suka sekali sepatu ini.” Aku mencobanya, berputar-putar di depan kaca sambil tersenyum.

“Aku ingin melihat kamu memakai sepatu itu saat kita bertemu dua minggu lagi.”

“Baiklah aku akan memakainya untukmu.”

Akhirnya kami berdua akan bertemu. Setelah setahun hanya berhubungan lewat udara. Benar-benar saat yang mendebarkan untukku. Aku akan melihatnya secara langsung. Begitu juga dia.

Berkali-kali aku mematut diri, mencoba memadu padankan sepatu pemberiannya dengan baju-baju yang kumiliki. Sampai aku membeli baju baru agar terlihat tidak mengecewakan di depannya. Aku ingin terlihat semenarik mungkin ketika dia melihatku untuk pertama kali.

Jam empat sore, waktu yang dijanjikan. Lebih setengah jam dan aku masih belum sampai di cafe tempat kami akan bertemu. Jalanan sore ini terasa lebih ramai dari biasanya. Jantungku terasa berdetak lebih cepat dari biasanya.

“Semoga dia sabar menunggu.” Aku bergumam sendiri di atas motorku. Rasanya tidak sabar ingin segera memeluk orang yang selama ini kurindukan.

Rintik hujan menyapu jalanan. Keriuhannya mengisi kalut yang menghantuiku. Ah, aku takut sepatu ini menjadi basah. Suara ringtone mengganggu konsentrasiku. Duta, nama yang tertera di kolom pemanggil. Kuraih cepat-cepat demi mengusir berisik.

“Ya?”

“Gendis, kamu dimana?”

“Aku masih di jalan.”

“Oh ya udah. Hati-hati ya.”

“Iya, sebentar lagi sampai kok.”

“Kamu pakai sepatu itu kan?”

“Tentu saja aku pakai.”

“Baiklah, aku menunggumu, Cantik.”

Aku tidak salah dengar kan? Baru saja dia memanggilku Cantik. Belum sampai setengah sudut bibirku terangkat karena bahagia, sebuah bunyi yang amat tajam tiba-tiba mengganggu telinga. Ketika aku menoleh, beberapa meter di depan, sebuah truk bergerak liar tanpa kendali, mendekat dengan cepat.

Lalu gelap.

Suara-suara. Hiruk pikuk. Sirene yang mendekat. Orang-orang yang panik. Pandanganku, kabur.

Duta, aku harus bertemu dia.

Aku berusaha menggapai-gapai dengan sisa tenagaku. Namun kurasakan tubuhku diseret lengan-lengan yang kuat, aku tak mampu melawan. Kurasakan tubuhku dibaringkan dan belum sempat aku berkata apa-apa, sesuatu menutupi mulutku. Aliran udara mengalir deras.

Aku terbuai, dijejali kegelapan.

***

Aku mencium aroma parfum yang sangat kukenal di sampingku, aku terkesiap. Kulihat Duta berdiri di sampingku, memperhatikanku.

“Kapan kamu datang? Maaf aku tidak tahu.”

“Tidak apa-apa, Cantik. Maaf aku mengagetkanmu. Kamu lagi apa?”

“Membersihkan sepatu ini,” jawabku tersenyum. Dia mencium keningku lembut.

“Sudah ya bersih-bersihnya. Kamu jangan terlalu capek dong,” katanya sambil menaruh sepatu yang kupegang kembali ke tempatnya.

“Maaf, kamu tak pernah bisa melihatku memakai sepatu itu.”

“Buat aku, yang penting bukan melihat kamu memakai sepatu itu, tapi bisa melihat kamu tersenyum setiap hari, istriku.” Dia tersenyum dan mendorong kursi rodaku ke taman belakang. Kami akan menikmati senja hari ini sambil bercerita tentang apa saja.

gambar dari sini