Kujangkau ponsel yang telah membangunkanku. Hhm... Indri.
“Yeah....”
“Lagi tidur, Ga?”
“Nggak... maksudku nggak lagi!”
“Hehehe... sorry! Bagaimana... kapan kamu balik ke Indonesia?”
“Besok. Seandainya Ayah nggak sakit, aku enggan balik. Masih banyak kerjaan di sini.”
“Heh, kapan kamu mau berhenti?” Suara Indri terdengar tegas di telepon.
“Berhenti? Maksudmu?”
“Kapan kamu mau berhenti melarikan diri?”
“Belum ada yang bisa membuatku berhenti, Dri. Lagian aku belum pulih banget. Semuanya masih membayangiku.” Tiga tahun kuhabiskan menyibukkan diri dengan segudang kerjaan tanpa henti. Hhh... berhenti. Di satu detik aku berhenti, di detik itu pula otakku akan membuka file-file yang selama ini ingin kulupakan. Dengan waktu selama itu mestinya aku telah mampu melupakannya. Ah... andai semudah menekan tombol delete lalu semuanya terhapus....
“This woman... I met her, fallen in love, got the opportunity...”
“And you chose her...,” ucap Indri. “Eventhough now she’s someone else’s wife. Sejauh apa pun kamu lari, kamu tak akan bisa melupakannya, Ga. Kamu membawanya lari bersamamu. Pulanglah!”
***
Hujan telah reda sejak tadi, namun tetes-tetes bening masih tertinggal di sela-sela rumput. Dingin. Aku menyembunyikan kedua tanganku di balik sweater tebalku berharap sedikit kehangatan menyelimutinya.
Kupejamkan mata. Merunut kembali apa yang telah terjadi padaku di tahun-tahun sebelumnya dengan pikiran yang lebih jernih.
Kutatap nanar tablet di depanku. Sebenarnya ada rasa enggan kembali ke kota ini. Kota yang setengah mati berusaha kulupakan dan tak ingin kujejak lagi. Tempat-tempat yang menggoreskan banyak kenangan. Orang-orang yang pernah singgah.
Tiga tahun berlalu sudah sejak kepergianku. Tiga tahun yang begitu menyiksa. Mungkin banyak yang berubah. Entahlah...
Waktu seperti enggan berputar ketika aku duduk di taman ini. Taman yang menyimpan banyak kenangan kami, berdua dengannya. Senja ini begitu hening. Angin yang berembus perlahan dan mempermainkan ujung-ujung rambutku pun enggan mengganggu.
“Kamu menyesal?” suara Indri membawaku kembali dari masa lalu.
“Menyesal untuk apa?”
“Menyesal pulang.”
“Aku menyesal tapi bukan untuk hal itu. Aku menyesal untuk setiap detik yang terbuang hanya untuk mengasihani diriku dan untuk melupakan semua kenangan tentang dia. Menyesal karena selama ini aku membenci diriku sendiri.”
“Mungkin setiap orang akan melakukan hal yang sama, Ga. Reaksi yang cukup wajar.”
“Tapi sangat susah untuk melupakan semuanya dan memulai sesuatu yang baru.”
“Kita nggak bisa membuang sesuatu yang menjadi bagian hidup kita begitu saja. Jangan memaksakan diri. Mengenang untuk melupakan. Dengan mengenangnya, kamu akan terbiasa dengan rasa sakitnya dan semakin lama rasa itu nggak akan berpengaruh lagi.”
“Hhmm....”
“Ada ujaran, katanya, penderitaan adalah kebahagiaan. Tapi sorry, aku belum membuktikan teori ini,” ujar Indri penuh senyum.
“Andai semudah itu, Dri.”
“Pasti semudah itu, yang kamu perlukan hanya usaha dan sedikit waktu. Sudah ketemu Gendis?”
“Belum. Dan aku rasa tidak perlu.”
***
Aku duduk menatap lurus batas cakrawala, biru bercampur kemerahan dan mentari semakin turun. Jiwaku terasa hangat. Begitu hangat hingga aku menikmati setiap hela napasku.
Aku tersenyum pada laki-laki yang mendekat padaku. Masih lelaki sederhana, namun memberikan arti besar pada hidupku.
“Pa!”
Senyum Duta melebar melihat Lana, anak perempuan berumur dua tahun yang semula tergolek di pundakku, turun dari gendongan, dan berlari ke arahnya. Ia membungkuk sambil membentangkan kedua tangannya, membiarkan bocah itu masuk ke pelukannya. Dijunjungnya anak perempuan itu melewati kepalanya seraya menggelitik perutnya dengan hidung. Anak itu memekik senang. Rambutnya bergerak tertiup angin. Anak itu miniatur dirinya, tetapi memiliki sesuatu yang mirip aku.
Kehadiran Lana memang bukan sesuatu yang biasa. Aku tertawa ketika Lana tak sengaja membentur pipi Duta. Laki-laki itu mengaduh dan minta dicium oleh putrinya.
***
Arga tersenyum mengamati keluarga kecil itu bermain dari bangku taman yang berada tidak jauh dari situ.
Email To: Gendis Larasati
Subject: Pada Suatu Waktu
Pada suatu waktu, mungkin kita akan bertemu di taman ini.
Aku akan meminta kamu bercerita tentang hari-hari dulu dan sekarang.
Tentang cinta yang berakhir karena Tuhan yang tak sama, juga tentang restu orang tua yang tak kunjung tiba.
Aku tahu, kamu bahagia sekarang.
Pada suatu waktu, mungkin kita akan bertemu di taman ini.
Aku dengan istriku, dan kamu akan membawa anak dan suamimu.
Dari aku
Arga Baswara
(Draft saved at 5:22 pm)
Cerita sebelumnya Permintaan Terakhir
gambar dari sini