Senja:
Aku melihat perempuan itu lagi. Duduk memandangiku lekat-lekat. Dia menghirup napas panjang lalu membuangnya perlahan. Ada yang berkilat di ujung matanya, menggenang lalu turun membasahi pipinya. Perempuan itu menangis lagi. Aku tak kuasa melihatnya.
Ada kalanya melihatnya tak cukup menyembuhkan rindu. Aku ingin melebur sedihnya di langitku.
Ia menyapa dan menitipkan senja di hatiku. Hingga aku mencandu.
Sepanjang igauan yang semakin retak dan degup darah yang tak lagi menggelegak.
Aku memang tak pernah mengira tentang harum yang turun dari tengkuknya, melambatkan masa.
Ia menoleh sebentar mengirimkan jarum-jarum yang halus di mataku.
Langit berubah jingga dan menumpahkan lembayung bercampur biru, menegaskan hangat kulit tubuh, sehangat maghrib menggema.
Ku pandangi cuaca di sekitarku, hanya pendar-pendar debu yang memantulkan kelelahan lalu lintas, dalam sejuta tujuan, dalam sejuta ketidakmengertian.
Air mataku bergulir di pucuk-pucuk cemara yang gugur sebelum usai rindu kurangkai di alis matanya dan aku memang kuyup oleh langkah kaki yang semakin sayup.
Kita hampir saja melewati tikungan yang sama, hingga malam menggelapkan, dan lampu-lampu yang kian kalut memancarkan bunga-bunga api yang ternyata menyesatkan, menumpaskan.
Aku tersadar, beranjak menuju gerbang kota.
Hanya remuk yang semakin menumpuk setelah senja yang ia titipkan di dada.
Aku tidak akan pernah meminta maaf. Karena mencintainya bukan kesalahan.
Laki-laki:
Senja temaram. Aku melihatnya dari tempat yang tidak diketahuinya. Dia masih di tempat sama seperti senja-senja lainnya. Apa yang ditunggunya? Aku ingin membawanya pulang. Tapi aku mulai tak yakin pada perasaanku sendiri. Dalam siluet senja dia begitu istimewa. Tapi apakah dalam terang dia akan semenarik itu? Mataku tertusuk bias warna senja. Aku merindukannya tapi apakah benar aku mencintainya?
