27.2.11
Mengapa Pernikahan Menjadi Tidak Bahagia
Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil, saya melihatnya dengan begitu gigih menjaga keutuhan keluarga. Ia selalu bangun dini hari, memasak bubur yang panas untuk ayah, karena lambung ayah tidak baik, pagi hari hanya bisa makan bubur. Setelah itu, masih harus memasak sepanci nasi untuk anak-anak, karena anak-anak sedang dalam masa pertumbuhan, perlu makan nasi, dengan begitu baru tidak akan lapar seharian di sekolah. Setiap sore, ibu selalu membungkukkan badan menyikat panci, setiap panci di rumah kami bisa dijadikan cermin, tidak ada noda sedikiktpun.
Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan lantai, mengepel seinci demi seinci, lantai di rumah tampak lebih bersih dibanding sisi tempat tidur orang lain, tiada debu sedikit pun meski berjalan dengan kaki telanjang.
Ibu saya adalah seorang wanita yang sangat rajin. Namun, di mata ayahku, ia (ibu) bukan pasangan yang baik. Dalam proses pertumbuhan saya, tidak hanya sekali saja ayah selalu menyatakan kesepiannya dalam perkawinan, tidak memahaminya.
Ayah saya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius dalam pekerjaan, setiap hari berangkat kerja tepat waktu, bahkan saat libur juga masih mengatur jadwal sekolah anak-anak, mengatur waktu istrirahat anak-anak, ia adalah seorang ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong anak-anak untuk berpretasi dalam pelajaran. Ia suka main catur, suka larut dalam dunia buku-buku kuno. Ayah saya adalah seorang laki-laki yang baik, di mata anak-anak, ia maha besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami.
Hanya saja, di mata ibuku, ia juga bukan seorang pasangan yang baik, dalam proses pertumbuhan saya, kerap kali saya melihat ibu menangis terisak secara diam diam di sudut halaman. Ayah menyatakannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan aksi, menyatakan kepedihan yang dijalani dalam perkawinan.
Dalam proses pertumbuhan, aku melihat juga mendengar ketidakberdayaan dalam perkawinan ayah dan ibu, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka, dan mereka layak mendapatkan sebuah perkawinan yang baik.
Sayangnya, dalam masa-masa keberadaan ayah di dunia, kehidupan perkawinan mereka lalui dalam kegagalan, sedangkan aku, juga tumbuh dalam kebingungan, dan aku bertanya pada diriku sendiri : Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia?
Pengorbanan yang dianggap benar. Setelah dewasa, saya akhirnya memasuki usia perkawinan, dan secara perlahan-lahan saya pun mengetahui akan jawaban ini. Di masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga, menyikat panci dan membersihkan lantai, dengan sungguh-sungguh berusaha memelihara perkawinan sendiri. Anehnya, saya tidak merasa bahagia ; dan suamiku sendiri, sepertinya juga tidak bahagia.
Saya merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak, lalu, dengan giat saya membersihkan lantai lagi, dan memasak dengan sepenuh hati. Namun, rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia. Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai, suami saya berkata : istriku, temani aku sejenak mendengar alunan musik!
Dengan mimik tidak senang saya berkata : apa tidak melihat masih ada separoh lantai lagi yang belum di pel ? Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yang sangat tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan ibu saya, ibu juga kerap berkata begitu sama ayah.
Saya sedang mempertunjukkan kembali perkawinan ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkwinan mereka. Ada beberapa kesadaran muncul dalam hati saya.
Yang kamu inginkan ? Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan teringat akan ayah saya. Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam perkawinannya, Waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada menemaninya.
Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga, adalah cara ibu dalam mempertahankan perkawinan, ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih, namun, jarang menemaninya, sibuk mengurus rumah, ia berusaha mencintai ayah dengan caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan rumah tangga. Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha mencintai suamiku.
Cara saya juga sama seperti ibu, perkawinan saya sepertinya tengah melangkah ke dalam sebuah cerita, dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia. Kesadaran saya membuat saya membuat keputusan (pilihan) yang sama.
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami, menemaninya mendengar musik, dan dari kejauhan, saat memandangi kain pel di atas lantai seperti menatapi nasib ibu.
Saya bertanya pada suamiku : apa yang kau butuhkan ? Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar musik, rumah kotor sedikit tidak apa-apa-lah, nanti saya carikan pembantu untukmu, dengan begitu kau bisa menemaniku! ujar suamiku.
Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, ada yang mencuci pakaianmu..dan saya mengatakan sekaligus serentetan hal-hal yang dibutuhkannya.
Semua itu tidak penting-lah! ujar suamiku. Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku.ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benar membuat saya terkejut. Kami meneruskan menikamti kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, kami memiliki cara masing-masing bagaimana mencintai, namun, bukannya cara pihak kedua.
Jalan kebahagiaan. Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkanya di atas meja buku, Begitu juga dengan suamiku, dia juga menderetkan sebuah daftar kebutuhanku. Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti misalnya, waktu senggang menemani pihak kedua mendengar musik, saling memeluk kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat. Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup sulit, misalnya dengarkan aku, jangan memberi komentar.
Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia bilang akan merasa dirinya akan tampak seperti orang bodoh. Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki.
Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya pada saya, kalau tidak saya hanya boleh mendengar dengan serius, menurut sampai tuntas, demikian juga ketika salah jalan. Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun, jauh lebih santai daripada mengepel, dan dalam kepuasan kebutuhan kami ini, perkawinan yang kami jalani juga kian hari semakin penuh daya hidup.
Saat saya lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang dikerjakan, misalnya menyetel musik ringan, dan kalau lagi segar bugar merancang perjalanan keluar kota. Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal bersama dan kebutuhan kami, setiap ada pertikaian, selalu pergi ke taman flora, dan selalu bisa menghibur gejolak hati masing-masing.
Sebenarnya, kami saling mengenal dan mencintai juga dikarenakan kesukaan kami pada taman flora, lalu bersama kita menapak ke tirai merah perkawinan, kembali ke taman bisa kembali ke dalam suasana hati yang saling mencintai bertahun-tahun silam. Bertanya pada pihak kedua : apa yang kau inginkan, kata-kata ini telah menghidupkan sebuah jalan kebahagiaan lain dalam perkawinan. Keduanya akhirnya melangkah ke jalan bahagia.
Kini, saya tahu kenapa perkawinan ayah ibu tidak bisa bahagia, mereka terlalu bersikeras menggunakan cara sendiri dalam mencintai pihak kedua, bukan mencintai pasangannya dengan cara pihak kedua. Diri sendiri lelahnya setengah mati, namun, pihak kedua tidak dapat merasakannya, akhirnya ketika menghadapi penantian perkawinan, hati ini juga sudah kecewa dan hancur.
Karena Tuhan telah menciptakan perkawinan, maka menurut saya, setiap orang pantas dan layak memiliki sebuah perkawinan yang bahagia, asalkan cara yang kita pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan pihak kedua! Bukannya memberi atas keinginan kita sendiri, perkawinan yang baik, pasti dapat diharapkan.
dari sebuah milis
25.2.11
titip degupku
pada langit yang berputar
kutitipkan ribuan peluk
untuk sebuah luap rasa
yang lumat terkunyah hati
pada hujan yang rintiknya berlabuh
kutitipkan ribuan kecup
untuk sebuah nama yang belum tereja
tak kunjung sampai di ujung bibir
dan padamu, kasih
kutitipkan sebait degup
untuk sebuah lagu tak berujung
kuminta kaunyanyikan
ketika semesta melebur dua kepingnya
aku..
dan kamu.
23.2.11
Usah Ragu
Kulihat ragu di bias matamu
Ada apa sayang?
Dirimu masih menempati ruang di hatiku
Takkan pernah berubah
Aku masih tetap disini untukmu
Hingga waktu menjemputku atau dirimu
Walau kadang lelah
Meski jenuh terasa
Perih pun kan kunikmati
Bahkan bila cinta mulai kehilangan makna
Akan kuingat indahnya saja, hanya indahnya
Kamulah jalanku menuju surga
Aku hanya mengharap ridhoNya
Maaf bila kadang khilaf menghampiri
Aku hanya manusia biasa
Kadang aku rapuh
Tak mampu menjadi pendamping yang sempurna
Jaga aku, perhatikan aku
Belai lembut perasaanku
Jangan biarkan air mata menetes di pipiku
Bukankan Allah telah menitipkanku padamu?
21.2.11
Jeda
pada pintu yang terkibas angin itu, aku memandang bayangan
mungkin engkau. yang diam-diam akan pergi
dengan kedua tangan tersembunyi di dalam saku celana
apakah harus selalu ada lambaian tangan untuk perpisahan?
jeda adalah isyarat nyata. seperti sunyi
yang dipelihara cangkul penggali kubur
bagiku, suka cita adalah kesementaraan belaka
sebab kuasa waktu akan menjadikannya tiada
lalu katamu, "kita rayakan saja cinta selagi ada."
kita mengerti, pertaruhan kita sekadar alasan
tak penting siapa pecundang. pemenangnya adalah cinta
tetapi, sebagaimana warna pudar oleh usia, begitu pula kita
sebab selalu ada akhir dari segala kesementaraan
pada akhirnya kita akan mengerti, kesementaraan adalah buih
ketika buih itu mengering, tak ada yang tersisa selain kenangan
lalu, akankah kau melambai pada kenangan?
19.2.11
Kala Kusadari
Di jalan sejarah yang manakah, ingatan dan amnesia kita saling bertemu?
Aku mencari jawab dalam ketidak pastian,
Rebah dalam hatimu yang tak kunjung kutemukan
Ada rindu yang menetes di tiap titik hujan yang jatuh, mencari celah, meresap ke dalam bumi
Kucoba menyalin malam dari nadamu, kutemukan duka dari hatimu
Dan kala pagi tiba.. kusadari, kau lebih dulu terjaga dan pergi setelah menyelipkan bara di balik selimut kita..
Aku mencari jawab dalam ketidak pastian,
Rebah dalam hatimu yang tak kunjung kutemukan
Ada rindu yang menetes di tiap titik hujan yang jatuh, mencari celah, meresap ke dalam bumi
Kucoba menyalin malam dari nadamu, kutemukan duka dari hatimu
Dan kala pagi tiba.. kusadari, kau lebih dulu terjaga dan pergi setelah menyelipkan bara di balik selimut kita..
17.2.11
Pada Suatu Lara
Butiran bening mengalir dari kedua mata. Deras, tak terkendali. Meluap, meruah dari rasa yang begitu perih.
Apa yang terjadi? Adakah seseorang yang bertanya begitu? Tidak, sama sekali tidak.
Sudah begitu tidak pedulikah mereka padaku? Entah, aku tidak lagi mau tahu.
Tangisku makin sedu sedan. Sepertinya justru menambah luka hati.
Sampai seseorang datang mendekatiku. Anakku.
"Bunda kenapa? Bunda nangis? Kenapa nangis Bunda?" Pertanyaan beruntun yang menghenyakkanku. Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa.
Malaikat kecilku itu dengan tersedu mengusap tiap lelehan air mataku. Aku begitu terharu.
"Jangan nangis ya Bunda..." Dia memelukku erat. Dadaku kian menyesak. Air mataku mengalir semakin deras.
"Aku ambil tissue ya Bunda..." Aku hanya bisa mengangguk.
Dia datang kembali membawa tissue. Mengusap air mataku. Membersihkan wajahku.
"Sudah ya Bunda, jangan nangis lagi. Bunda kenapa nangis? Bunda takut? Jangan takut ya Bunda, ada aku disini." Dia berkata seperti itu sambil membelai rambutku lembut.
Kata-katamu Sayang, memberikan aku kekuatan yang begitu besar. Ah, malaikat kecilku, harusnya aku yang memberimu kekuatan itu. Tak akan pernah kulupa kisah ini. Ketika malaikat kecil 3 tahunku menenangkan perih hatiku.
Apa yang terjadi? Adakah seseorang yang bertanya begitu? Tidak, sama sekali tidak.
Sudah begitu tidak pedulikah mereka padaku? Entah, aku tidak lagi mau tahu.
Tangisku makin sedu sedan. Sepertinya justru menambah luka hati.
Sampai seseorang datang mendekatiku. Anakku.
"Bunda kenapa? Bunda nangis? Kenapa nangis Bunda?" Pertanyaan beruntun yang menghenyakkanku. Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa.
Malaikat kecilku itu dengan tersedu mengusap tiap lelehan air mataku. Aku begitu terharu.
"Jangan nangis ya Bunda..." Dia memelukku erat. Dadaku kian menyesak. Air mataku mengalir semakin deras.
"Aku ambil tissue ya Bunda..." Aku hanya bisa mengangguk.
Dia datang kembali membawa tissue. Mengusap air mataku. Membersihkan wajahku.
"Sudah ya Bunda, jangan nangis lagi. Bunda kenapa nangis? Bunda takut? Jangan takut ya Bunda, ada aku disini." Dia berkata seperti itu sambil membelai rambutku lembut.
Kata-katamu Sayang, memberikan aku kekuatan yang begitu besar. Ah, malaikat kecilku, harusnya aku yang memberimu kekuatan itu. Tak akan pernah kulupa kisah ini. Ketika malaikat kecil 3 tahunku menenangkan perih hatiku.
15.2.11
Surat Cinta
Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam masa pernikahan, saya harus akui, bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan.
Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus.
Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen.
Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan.
Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitif-nya kurang.
Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.
Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian.
“Mengapa?”, tanya suami saya dengan terkejut.
“Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan,” jawab saya.
Suami saya terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak.
Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya?
Dan akhirnya suami saya bertanya, “Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiran kamu?”
Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan,
”Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam perasaan saya, saya akan merubah pikiran saya : “Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yg ada di tebing gunung.Kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan memetik bunga itu untuk saya?”
Dia termenung dan akhirnya berkata, “Saya akan memberikan jawabannya besok.”
Perasaan saya langsung gundah mendengar responnya.
Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan oret-oretan tangannya dibawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan ……“Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya.”
Kalimat pertama ini menghancurkan perasaan saya.
Saya melanjutkan untuk membacanya.
“Kamu selalu pegal-pegal pada waktu ‘teman baik kamu’ datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kaki kamu yang pegal.”
“Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu kuatir kamu akan menjadi ‘aneh’. Saya harus membelikan sesuatu yang dapat menghibur kamu di rumah atau meminjamkan lidah saya untuk menceritakan hal-hal lucu yang saya alami.”
“Kamu selalu terlalu dekat menonton televisi, terlalu dekat membaca buku, dan itu tidak baik untuk kesehatan mata kamu. Saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kuku kamu dan mencabuti uban kamu.”
“Tangan saya akan memegang tangan kamu, membimbing kamu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajah kamu.”
“Tetapi Sayang, saya tidak akan mengambil bunga indah yang ada di tebing gunung itu hanya untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air mata kamu mengalir."
“Sayang, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintai kamu lebih dari saya mencintai kamu. Untuk itu Sayang, jika semua yang telah diberikan tangan saya, kaki saya, mata saya tidak cukup buat kamu, saya tidak bisa menahan kamu untuk mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakan kamu.”
Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk terus membacanya.
“Dan sekarang, Sayang, kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkan saya untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri di sana menunggu jawaban kamu.”
“Jika kamu tidak puas dengan jawaban saya ini, Sayang, biarkan saya masuk untuk membereskan barang-barang saya, dan saya tidak akan mempersulit hidup kamu. Percayalah, bahagia saya adalah bila kamu bahagia.”
Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaan saya.
Oh, kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih dari dia mencintai saya.
Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari perasaan kita, karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu.
Karena cinta tidak selalu harus berwujud “bunga”.
13.2.11
Menulis Saja
Saat ini, aku hanya ingin menulis saja. Meski tanpa isi. Meski tanpa makna. Terserah orang mau bilang apa. Aku tak lagi peduli.
Aku ingin menulis saja. Sekedar melonggarkan pikiran dan perasaanku. Meringankan beban mereka. Aku lelah diam. Karena itu, kutuangkan semua dalam kata. Agar berkurang penat dan lara.
Aku ingin menulis saja. Sekedar melonggarkan pikiran dan perasaanku. Meringankan beban mereka. Aku lelah diam. Karena itu, kutuangkan semua dalam kata. Agar berkurang penat dan lara.
9.2.11
Senyummu
Satu hal yang aku suka darimu adalah senyummu. Satu hal yang selalu terlihat darimu adalah senyummu. Bahkan ketika kamu tidak tersenyum pun, wajahmu tetap menampakkan senyum itu.Senyummu selalu menuangkan aliran yang segar ke cawan mataku, mengisi pandangan ini dengan keindahan sampai berlimpah. Senyummu itu obat untuk siapapun yang melihatnya. Kala kopi sudah mengampas, matahari subuh sudah mulai menyeduh, aku tak pernah lupa ingatan yang khas, dari senyummu yang riuh. Kala pagi selalu menghangatkan, senyummu selalu menyejukkan.
Senyummu mampu menyembuhkan bahkan sebelum kau mengobatinya. Mampu memberi kedamaian pada jiwa yang bergemuruh. Mungkin, senyummu adalah cahaya, ketika bumi masih di huni para Dewa, yang sekarang di angkat ke angkasa, sebagai komposisi surga. Bagaikan embun di padang yang gersang. Senyummu selalu menuangkan hal-hal indah dalam bejana waktuku, yang selalu ku teguk dengan ucap syukurku sebagai candu. Senyummu mengecup hati kecilku, melahirkan ungkapan yang tak terkatakan. Senyummu keindahan tak terkira, bahkan bidadari sering bersandar disana, mereka kira itu pintu gerbang surga.
Karena itu, jangan pernah kau hilangkan senyum itu dari wajahmu. Sekali saja kau tampak tidak tersenyum, maka orang akan tahu bahwa kau sedang terluka. Kau tidak akan pernah bisa menyembunyikan duka itu. Dan hanya dengan memandang senyummu sekejap mata, orang bisa mengingat-ingatnya hingga pagi buta, aku contohnya. Jadi tetaplah tersenyum, karena senyummu adalah anugerah untuk siapapun yang melihatnya.
7.2.11
Ruang Rindu
Masuklah sayang,
ini ruang rindu yang kubangun hanya untukmu
terbuat dari tangisku, dan bayanganmu
tenanglah disini
tak ada siapa-siapa
hanya kau dan aku
tak ada jendela
karena aku tak ingin seorang pun mengganggu
pintu pun telah kututup rapat
agar tak ada yang mencoba masuk
kini, bolehkah kupeluk dirimu?
raga yang selama ini kurindu
bolehkah kukecup bibirmu?
agar tak perlu lagi kau merayuku
aku merindukanmu mirip kecupan jamak
seperti kata-kata yang kau imbuhi dengan basah rayu
karena kau tahu
dasar hati adalah dasar sunyi
andai masa menjadi lambat
ku tak ingin kau pulang
tetaplah tinggal
karena dahaga akan rindu tak pernah usai
ini ruang rindu yang kubangun hanya untukmu
terbuat dari tangisku, dan bayanganmu
tenanglah disini
tak ada siapa-siapa
hanya kau dan aku
tak ada jendela
karena aku tak ingin seorang pun mengganggu
pintu pun telah kututup rapat
agar tak ada yang mencoba masuk
kini, bolehkah kupeluk dirimu?
raga yang selama ini kurindu
bolehkah kukecup bibirmu?
agar tak perlu lagi kau merayuku
aku merindukanmu mirip kecupan jamak
seperti kata-kata yang kau imbuhi dengan basah rayu
karena kau tahu
dasar hati adalah dasar sunyi
andai masa menjadi lambat
ku tak ingin kau pulang
tetaplah tinggal
karena dahaga akan rindu tak pernah usai
3.2.11
Kuingat Kulupakan
Kala tabir terbuka
Luka itu sakiti jiwa
Melupakannya tak semudah mengatakannya
Karena yang ada memanglah nyata
Namun luka tak mesti berarti duka
Mungkin saja bila esok tiba
puisiku tak lagi menjenguk
menyelinap mesra jendela hatimu
karena rasa itu telah kau hanyutkan jauh
pada deras sungai jemu
Tiap patah-patah kataku
tidak lagi seindah kicauan burung
mengalunkan mimpi waktu lenamu
kini ia jadi igauan siangku
bagai irisan kaca yang membekas dalam diam
sedikitpun tak bisa kutawarkan gundah
kepak sayap lincah menggoda sirna sudah
peluk hangat yang biasa aku terima
kini kuyu, bisu dan dingin yang ada
seolah tak berbekas lenyap ditelan duka yang menggema
Langkahku tak setegar hari-hari kemarin
sedapatnya kuraih sisa dirimu
hangatkan hati yang dingin
menyibak kabut yang membekap rindu
sudah saatnya aku berhenti
menghitung hari tak bertepi
yang kian menyiksa diri
Telah lama kujelajahi padang kenangan
dalam redup sendu cahaya matamu
senyum manismu
ketampanan hatimu
mengiringkan langkahku menapaki taman surgawi
terukir kenangan bersamamu
kini
telah saatnya aku berhenti
menghitung hari
yang kian menyiksa diri
pada mekarnya mawar
menyimpan duri
pada indahnya taman surgawi
ternyata hanya mimpi
duri itu, kasih
begitu ganas menusuk ke ulu hati
hingga aku sadar diri
semuanya hanya mimpi
sebab tak mungkin kau kumiliki
lambaian tanganmu kasih
kian menoreh luka di hati
selamat tinggal kasih
dan jangan kau kembali
Langganan:
Komentar (Atom)







