"Kamu memakai t-shirt itu lagi!"
"Kamu suka?"
"Kamu tau aku paling suka kalo kamu pakai t-shirt itu."
"Kok kamu suka banget, sih?"
"Kamu seksi pake t-shirt itu."
"Iya sih, tapi yang laen pada mendelik tuh."
"Kalo cewek lain pasti karena iri. Kalo cowok sih, kamu tau sendiri matanya mengarah kemana."
"Tapi aku suka pakai t-shirt ini."
"Nggak apa-apa, cuma kamu tau kan, setiap kamu pake t-shirt itu, pasti aku jadi pengen cepet-cepet ngelepasnya."
Aku mendekat, melepaskan t-shirt pink itu dari badanmu.
"Yes, you're beautiful. But you're more beautiful without anything on your body."
19.1.13
17.1.13
Hari Ke-17: Life Is A Puzzle
Aku mengambil puzzle yang baru aku beli beberapa hari yang lalu. Kemudian membuka plastiknya dan mulai aku acak random, lalu mulai menyusunnya.
Saat menyusun, aku jadi berpikir, ”Hmm iya yaa sebenernya hidup itu kayak nyusun puzzle ini..”
Perjalanan hidup itu kayak menyusun sebuah puzzle.
Kalo kamu sadar, apa yang terjadi di hidup itu selalu berkesinambungan, ya layaknya puzzle.
Pecahan-pecahan puzzle itu seperti bagian-bagian hidup kita. Semua diawali dari kamu memulai, kemudian kamu harus menyusun dan menata hidup hingga jadi sempurna.
Walaupun memang ga ada yang sempurna sih, tapi paling engga menjadi lebih baik lah ya.
Banyak yang bisa dipilih, banyak pecahan yang bisa disusun agar bisa jadi pas dan menyatu.
Mudahkah? Hmm, ya gampang-gampang susah.
Kadang bisa aja kamu pilih pecahan yang salah untuk nyusun puzzle, dan setelah itu kamu akan pilih lagi dan mencari pasangan gambar yang cocok.
Seperti hidup. Sering kamu ga yakin dan salah memilih, tapi dari situ lo bisa belajar dan membantu untuk dapat menemukan kepingan yang pas.
Kamu pasti bisa nemuin kepingan hidup yang pas asal kamu ga berhenti berusaha.
Emm, yaa kayak menyusun puzzle..
Kita saat ini sedang dalam proses menemukan kepingan-kepingan yang cocok untuk hidup kita.
Saat menyusun, aku jadi berpikir, ”Hmm iya yaa sebenernya hidup itu kayak nyusun puzzle ini..”
Perjalanan hidup itu kayak menyusun sebuah puzzle.
Kalo kamu sadar, apa yang terjadi di hidup itu selalu berkesinambungan, ya layaknya puzzle.
Pecahan-pecahan puzzle itu seperti bagian-bagian hidup kita. Semua diawali dari kamu memulai, kemudian kamu harus menyusun dan menata hidup hingga jadi sempurna.
Walaupun memang ga ada yang sempurna sih, tapi paling engga menjadi lebih baik lah ya.
Banyak yang bisa dipilih, banyak pecahan yang bisa disusun agar bisa jadi pas dan menyatu.
Mudahkah? Hmm, ya gampang-gampang susah.
Kadang bisa aja kamu pilih pecahan yang salah untuk nyusun puzzle, dan setelah itu kamu akan pilih lagi dan mencari pasangan gambar yang cocok.
Seperti hidup. Sering kamu ga yakin dan salah memilih, tapi dari situ lo bisa belajar dan membantu untuk dapat menemukan kepingan yang pas.
Kamu pasti bisa nemuin kepingan hidup yang pas asal kamu ga berhenti berusaha.
Emm, yaa kayak menyusun puzzle..
Kita saat ini sedang dalam proses menemukan kepingan-kepingan yang cocok untuk hidup kita.
Hari Ke-16: C e r i t a
Kemampuan manusia untuk mengarang cerita sudah dimulai sejak zaman batu. Ketika orang-orang masih tinggal di dalam gua. Belum bercocok tanam, masih berburu. Berburu apa saja, gajah, monyet, singa, bahkan beruang. Bukti bahwa manusia pada zaman itu sudah mengarang cerita, terukir dari tembok atau dinding-dinding gua, yang seakan-akan mengisahkan sesuatu. Di era Mesir Kuno, terjadi juga, apa yang pernah dilakukan manusia-manusia gua, walau pun Piramid terlihat jauh lebih elegan dari lukisan di tembok gua.
Cerita pun menjadi alat untuk membawa tradisi, norma, etika, ritual dan seperangkat aturannya. Cerita juga yang membawa banyak hal-hal asing beterbangan di angkasa. Retorika sekumpulan orang yang percaya bisa membawa perubahan di dunia, apa pun ideologinya.
Cerita tidak hanya terdiri dari kata-kata. Cerita tidak hanya tafsir atau apresiasi dari sebuah gambar. Di zaman yang sangat canggih, dimana manusia tidak bisa lepas dari kecanggihan teknologi, cerita pun dituntut untuk bisa hadir lebih rumit dari lukisan tembok gua, atau simbol-simbol di dalam piramid. Kemampuan mata menangkap objek bukan lagi ukuran realitas. Tapi efek, pencahayaan, dan suara, 3 dimensi sampai lebih. Lahirnya kamera merekam objek diam akibat, malasnya orang-orang melukis realis. Kini terjadi hanya dalam hitungan detik. Dengan satu pijitan jari ke handphone, maka membantu memori otak untuk menyimpan hal-hal lain. Seperti cerita-cerita...
Cerita apa saja, apa pun bentuknya.
Menjejali manusia dengan cerita-cerita yang seakan-akan mereka merangkainya untuk mengungkap dunia. Entah itu konspirasi atau permasalahan-permasalahan sederhana. Tapi tetap bukan kesederhanaan yang menjadi titik akhir pencarian manusia. Tapi cerita-cerita, yang ia rangkai sendiri, atau yang dirangkaikan orang lain (biasanya dari orang atau sekelompok orang yang punya kepentingan terhadap individu tersebut) untuk dirinya.
Bentuk perang cerita bisa bermacam-macam. Ada yang berbentuk cerita komedi, tragedi, drama telenovela, separah film-film Gas Par Noe, atau se-‘paradoks’ film-film Billy Wilder.
Lima paragraf di atas pun juga sebuah cerita. Masing-masing pembaca punya rangkaian bebas, tentang kenapa tulisan ini ditulis, adakah yang dituju dalam tulisan ini, atau mungkin ini hanya sebuah refleksi, introspeksi, sekedar apresiasi dari dunia cerita yang mendera si penulis akhir-akhir ini. Baik itu dunia maya atau nyata. Produk realitas sehari-hari, atau produk kapitalis sejati.
“Mengemis di tempat gelap.”
Mengarang cerita yang tidak sembarangan butuh energi yang tidak sembarangan. Butuh konsistensi dan kedisplinan yang tinggi. Sebab ketika ada kebocoran, atau celah yang membawa keraguan, maka cerita itu bisa selesai sampai disitu. Atau tidak pernah selesai, walau sebenarnya sudah ketahuan salahnya dimana. Atau selesai begitu saja setelah kebenaran terungkap.. cerita-cerita yang tidak sembarangan tidak akan sesederhana itu.
Dan di akhir paragraf ini, aku menyadari bahwa semua orang bisa mengarang cerita. Apa pun medianya, kata-kata, visual, audio, atau perpaduan dari semuanya—seperti film. Bahkan eksistensi orang yang ada di dekat kita, selalu membawa cerita. Entah dari orang yang mengenalnya lalu cerita, atau dari kemampuan kita merangkai cerita, untuk menebak “Apa sih cerita orang ini?” “Menarik atau tidak?” “Menyenangkan atau tidak,” “Menggairahkan atau tidak?” Semua kembali ke bagaimana kau mengarangnya untuk menjadi apa... yaaa... ceritanya itu... C e r i t a.
Personal Notes : Jangan takut kalau ceritanya tidak seperti yang kau inginkan, mungkin saja dunia memang tidak diciptakan untuk orang-orang yang menginginkannya.
Cerita pun menjadi alat untuk membawa tradisi, norma, etika, ritual dan seperangkat aturannya. Cerita juga yang membawa banyak hal-hal asing beterbangan di angkasa. Retorika sekumpulan orang yang percaya bisa membawa perubahan di dunia, apa pun ideologinya.
Cerita tidak hanya terdiri dari kata-kata. Cerita tidak hanya tafsir atau apresiasi dari sebuah gambar. Di zaman yang sangat canggih, dimana manusia tidak bisa lepas dari kecanggihan teknologi, cerita pun dituntut untuk bisa hadir lebih rumit dari lukisan tembok gua, atau simbol-simbol di dalam piramid. Kemampuan mata menangkap objek bukan lagi ukuran realitas. Tapi efek, pencahayaan, dan suara, 3 dimensi sampai lebih. Lahirnya kamera merekam objek diam akibat, malasnya orang-orang melukis realis. Kini terjadi hanya dalam hitungan detik. Dengan satu pijitan jari ke handphone, maka membantu memori otak untuk menyimpan hal-hal lain. Seperti cerita-cerita...
Cerita apa saja, apa pun bentuknya.
Menjejali manusia dengan cerita-cerita yang seakan-akan mereka merangkainya untuk mengungkap dunia. Entah itu konspirasi atau permasalahan-permasalahan sederhana. Tapi tetap bukan kesederhanaan yang menjadi titik akhir pencarian manusia. Tapi cerita-cerita, yang ia rangkai sendiri, atau yang dirangkaikan orang lain (biasanya dari orang atau sekelompok orang yang punya kepentingan terhadap individu tersebut) untuk dirinya.
Bentuk perang cerita bisa bermacam-macam. Ada yang berbentuk cerita komedi, tragedi, drama telenovela, separah film-film Gas Par Noe, atau se-‘paradoks’ film-film Billy Wilder.
Lima paragraf di atas pun juga sebuah cerita. Masing-masing pembaca punya rangkaian bebas, tentang kenapa tulisan ini ditulis, adakah yang dituju dalam tulisan ini, atau mungkin ini hanya sebuah refleksi, introspeksi, sekedar apresiasi dari dunia cerita yang mendera si penulis akhir-akhir ini. Baik itu dunia maya atau nyata. Produk realitas sehari-hari, atau produk kapitalis sejati.
“Mengemis di tempat gelap.”
Mengarang cerita yang tidak sembarangan butuh energi yang tidak sembarangan. Butuh konsistensi dan kedisplinan yang tinggi. Sebab ketika ada kebocoran, atau celah yang membawa keraguan, maka cerita itu bisa selesai sampai disitu. Atau tidak pernah selesai, walau sebenarnya sudah ketahuan salahnya dimana. Atau selesai begitu saja setelah kebenaran terungkap.. cerita-cerita yang tidak sembarangan tidak akan sesederhana itu.
Dan di akhir paragraf ini, aku menyadari bahwa semua orang bisa mengarang cerita. Apa pun medianya, kata-kata, visual, audio, atau perpaduan dari semuanya—seperti film. Bahkan eksistensi orang yang ada di dekat kita, selalu membawa cerita. Entah dari orang yang mengenalnya lalu cerita, atau dari kemampuan kita merangkai cerita, untuk menebak “Apa sih cerita orang ini?” “Menarik atau tidak?” “Menyenangkan atau tidak,” “Menggairahkan atau tidak?” Semua kembali ke bagaimana kau mengarangnya untuk menjadi apa... yaaa... ceritanya itu... C e r i t a.
Personal Notes : Jangan takut kalau ceritanya tidak seperti yang kau inginkan, mungkin saja dunia memang tidak diciptakan untuk orang-orang yang menginginkannya.
15.1.13
Hari Ke-15: Diam-diam
Aku masih mengingatmu, lelakiku. Mengabadikanmu dalam goresan penaku. Imajimu terpapar kuat di halaman-halaman tulisanku. Aku mencintaimu diam-diam, lelakiku. Seperti pencuri, takut-takut aku menyerap kesanmu dalam benakku. Aku mencicipi setiap kubik harummu di tarian udara. Kau tak tahu. Kau tidak pernah tahu.
14.1.13
Hari Ke-14: The Grand Distraction
And every day, the world will drag you by the hand, yelling "This is important! And this is important! And this is important! You need to worry about this! And this! And this!"
And each day, it's up to you, to yank your hand back, put it on your heart and say "No. This is what's important."
And each day, it's up to you, to yank your hand back, put it on your heart and say "No. This is what's important."
Hari Ke-13: Maafkan Aku
"Maafkan aku. Aku sudah tidak tahan dengan semua penderitaan ini."
Aku masih mengatur napas yang masih tersengal. Kurapihkan rambutku sambil menyusut sisa air mata yang sedari tadi jatuh dari wajahku yang lebam. Kepalaku masih berdenyut, pening, akibat lemparan vas bunga dua hari yang lalu. Hari ini, dia, suamiku, memukulku lagi.
Entah apa yang kurang dari aku sebagai istri. Padanya, aku tidak pernah menuntut lebih. Pun saat dia menikah diam-diam dengan janda beranak satu dari kampung sebelah.
Kupandangi tubuhnya tergeletak di lantai seberang meja. Kaku, tak bergerak setelah meminum kopi yang biasa kusiapkan untuknya. Kali ini racun tikus sebagai pemanisnya.
Aku masih mengatur napas yang masih tersengal. Kurapihkan rambutku sambil menyusut sisa air mata yang sedari tadi jatuh dari wajahku yang lebam. Kepalaku masih berdenyut, pening, akibat lemparan vas bunga dua hari yang lalu. Hari ini, dia, suamiku, memukulku lagi.
Entah apa yang kurang dari aku sebagai istri. Padanya, aku tidak pernah menuntut lebih. Pun saat dia menikah diam-diam dengan janda beranak satu dari kampung sebelah.
Kupandangi tubuhnya tergeletak di lantai seberang meja. Kaku, tak bergerak setelah meminum kopi yang biasa kusiapkan untuknya. Kali ini racun tikus sebagai pemanisnya.
13.1.13
Hari Ke-12: Mengunyah Sepi
Telanjang bulat memeluk kelam sepi di bulan Januari
Masih rusak, masih tertatih untuk bisa melangkah tanpa menoleh ke cerita lalu
Masih sakit tepatnya
Apa aku bisa menjadi sayapmu?
Dengan segala patahan yang masih berserakan, apa kamu berani menyapa kesepianku?
Apa menurutmu tidak membuang-buang waktu?
Membunuh waktu katamu? Mengunyah sepi kataku
Tidak, jangan dibunuh, biarkan dia hidup dan cepat mengantarmu ke pelukku
Tenang, Sayang... Jangan khawatirkan penantianku
Bertemanlah dengan waktumu di sana, selagi aku merakit rindu yang terlahir dari tiap centi jarak yang membatasi sapa kita
Masih rusak, masih tertatih untuk bisa melangkah tanpa menoleh ke cerita lalu
Masih sakit tepatnya
Apa aku bisa menjadi sayapmu?
Dengan segala patahan yang masih berserakan, apa kamu berani menyapa kesepianku?
Apa menurutmu tidak membuang-buang waktu?
Tidak, jangan dibunuh, biarkan dia hidup dan cepat mengantarmu ke pelukku
Tenang, Sayang... Jangan khawatirkan penantianku
Bertemanlah dengan waktumu di sana, selagi aku merakit rindu yang terlahir dari tiap centi jarak yang membatasi sapa kita
11.1.13
Hari Ke-11: Kalau Kau Tak Di Sini
kalau kau tak di sini
aku akan ke situ
kalau kau tak di situ
aku akan ke sana
kalau kau tak di sana
aku akan ke mana kau
aku akan ke ada kau
aku akan ke situ kau
aku akan ke sana kau
aku akan ke mana kau ada
sampai ke
Temu
sampai aku kau ke
Ada
sampai akukau!
aku akan ke situ
kalau kau tak di situ
aku akan ke sana
kalau kau tak di sana
aku akan ke mana kau
aku akan ke ada kau
aku akan ke situ kau
aku akan ke sana kau
aku akan ke mana kau ada
sampai ke
Temu
sampai aku kau ke
Ada
sampai akukau!
10.1.13
Hari Ke-10: Fatamorgana
kamu adalah ada yang paling tiada. nyata yang paling semu.
kamu ada, dalam bahasa yang kubaca, dalam suara yang kusapa, dan dalam spasi yang menjeda lama.
kamu ada, menyamar pada setiap larik yang tercetak, dalam setiap senyum yang terkhayal, dan dalam kosong ruang yang beku.
kamu tiada, dalam bau tubuh yang kucium, dalam pelukan yang hangat melekat, dan dalam genggam jemari yang terengkuh.
kamu tiada, dalam senja yang menjelma hitam, dalam hitam yang menjemput pagi, dan dalam pagi yang melarung mimpi.
8.1.13
Hari Ke-8: Cinta
Aku sudah lupa sejak kapan aku tak lagi percaya pada kekuatan cinta, terlebih cinta pada pandangan pertama. Dan aku tak perduli. Sama tak perdulinya pada gelar yang kusandang sekarang. Gadis Berhati Es, Setegar Gunung Batu... Frigid. Sampai saat makhluk tampan itu melintas di hadapan dan membuat hari-hariku kembali penuh warna.
Dan di sinilah aku, di samping laki-laki yang mencuri mimpi-mimpiku.
"Salahkah jika aku mencintaimu?" tanyaku lirih.
"Tidak..."
Kami duduk di bangku panjang di taman. Aku sendiri tidak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaanku padanya lewat ekspresi wajah dan sorot mataku. Dia mengulas senyum, seakan-akan mengatakan bahwa dia mengerti.
"Dan kamu?"
"Aku..., aku tak bisa....".
"Kenapa?' tanyaku setengah tak percaya. "Apa aku terlalu agresif?"
Masih hening.
"Bukan."
"Atau...."
"I'm... gay," potongnya.
Aku buru-buru mengambil minumku karena hampir tersedak. Aku kembali meneguk minumku banyak-banyak, meredakan jantungku yang berdegup cepat.
Senyum miris tersungging di bibirnya.
Seketika hatiku beku seperti hariku yang kembali kelabu...
Dan di sinilah aku, di samping laki-laki yang mencuri mimpi-mimpiku.
"Salahkah jika aku mencintaimu?" tanyaku lirih.
"Tidak..."
Kami duduk di bangku panjang di taman. Aku sendiri tidak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaanku padanya lewat ekspresi wajah dan sorot mataku. Dia mengulas senyum, seakan-akan mengatakan bahwa dia mengerti.
"Dan kamu?"
"Aku..., aku tak bisa....".
"Kenapa?' tanyaku setengah tak percaya. "Apa aku terlalu agresif?"
Masih hening.
"Bukan."
"Atau...."
"I'm... gay," potongnya.
Aku buru-buru mengambil minumku karena hampir tersedak. Aku kembali meneguk minumku banyak-banyak, meredakan jantungku yang berdegup cepat.
Senyum miris tersungging di bibirnya.
Seketika hatiku beku seperti hariku yang kembali kelabu...
7.1.13
Hari Ke-6: Sutup Asa
Keputus-asaan. Semuanya saling terhubung. Kita berada dalam satu lingkaran rangkaian. Sederhananya tirani rantai makanan. Ekosistem yang tidak hanya merusak alam tapi orang-orang yang telah merusaknya.
Mungkin kita tidak bisa melihatnya. Seperti kemampuan manusia untuk kembali religius seperti pada awal-awal lahirnya agama. Kalau semua urusan hanya urusan trend. Kalau semua hanya urusan hal-hal baru untuk mengganti yang lama.
Atau kita hanya berpura-pura. Berpura-pura buta. Ini yang paling mudah. Berpura-pura tidak melihat. Dibuka mata lebar-lebar untuk mengaburkan kebenaran. Kebenaran yang sebenarnya benar-benar kita pahami sebagai yang benar. “Memang bukan jualan yang laku dijual, kebenaran itu.”
Orang akan lebih mudah mencibirnya sebagai euforia. Fantasi dari hal-hal yang dikategorikan suci. Tapi hebatnya lekang ratusan tahun dihitung dari masa pembuatannya sampai saat ini. Kehebatan di masa-masa ketika logika belum menguasai pola pikir manusia. Ketika ilmu pengetahuan masih dikaburkan dengan mistisme. Ketika Tuhan diceritakan memberi bencana-bencana alam. Dimana saat ini, bencana alam dibaca akibat dari gejolak alam itu sendiri. Riset dan penelitian menjadi berhala baru. Seperti halnya usaha manusia untuk mengkultus usaha baru tidak pernah putus.
Inovasi-inovasi, penemuan-penemuan baru dalam bidang apa pun selalu berdampak, entah apakah orang-orang semakin jalan maju tapi melihat ke belakang. Atau justru berjalan mundur tapi kepalanya menghadap ke depan.
Tapi yang sutup asa semua terselimuti kabut. Buram dan tidak bertujuan.
Mungkin kita tidak bisa melihatnya. Seperti kemampuan manusia untuk kembali religius seperti pada awal-awal lahirnya agama. Kalau semua urusan hanya urusan trend. Kalau semua hanya urusan hal-hal baru untuk mengganti yang lama.
Atau kita hanya berpura-pura. Berpura-pura buta. Ini yang paling mudah. Berpura-pura tidak melihat. Dibuka mata lebar-lebar untuk mengaburkan kebenaran. Kebenaran yang sebenarnya benar-benar kita pahami sebagai yang benar. “Memang bukan jualan yang laku dijual, kebenaran itu.”
Orang akan lebih mudah mencibirnya sebagai euforia. Fantasi dari hal-hal yang dikategorikan suci. Tapi hebatnya lekang ratusan tahun dihitung dari masa pembuatannya sampai saat ini. Kehebatan di masa-masa ketika logika belum menguasai pola pikir manusia. Ketika ilmu pengetahuan masih dikaburkan dengan mistisme. Ketika Tuhan diceritakan memberi bencana-bencana alam. Dimana saat ini, bencana alam dibaca akibat dari gejolak alam itu sendiri. Riset dan penelitian menjadi berhala baru. Seperti halnya usaha manusia untuk mengkultus usaha baru tidak pernah putus.
Inovasi-inovasi, penemuan-penemuan baru dalam bidang apa pun selalu berdampak, entah apakah orang-orang semakin jalan maju tapi melihat ke belakang. Atau justru berjalan mundur tapi kepalanya menghadap ke depan.
Tapi yang sutup asa semua terselimuti kabut. Buram dan tidak bertujuan.
Langganan:
Komentar (Atom)

