17.1.13

Hari Ke-16: C e r i t a

Kemampuan manusia untuk mengarang cerita sudah dimulai sejak zaman batu. Ketika orang-orang masih tinggal di dalam gua. Belum bercocok tanam, masih berburu. Berburu apa saja, gajah, monyet, singa, bahkan beruang. Bukti bahwa manusia pada zaman itu sudah mengarang cerita, terukir dari tembok atau dinding-dinding gua, yang seakan-akan mengisahkan sesuatu. Di era Mesir Kuno, terjadi juga, apa yang pernah dilakukan manusia-manusia gua, walau pun Piramid terlihat jauh lebih elegan dari lukisan di tembok gua.

Cerita pun menjadi alat untuk membawa tradisi, norma, etika, ritual dan seperangkat aturannya. Cerita juga yang membawa banyak hal-hal asing beterbangan di angkasa. Retorika sekumpulan orang yang percaya bisa membawa perubahan di dunia, apa pun ideologinya.

Cerita tidak hanya terdiri dari kata-kata. Cerita tidak hanya tafsir atau apresiasi dari sebuah gambar. Di zaman yang sangat canggih, dimana manusia tidak bisa lepas dari kecanggihan teknologi, cerita pun dituntut untuk bisa hadir lebih rumit dari lukisan tembok gua, atau simbol-simbol di dalam piramid. Kemampuan mata menangkap objek bukan lagi ukuran realitas. Tapi efek, pencahayaan, dan suara, 3 dimensi sampai lebih. Lahirnya kamera merekam objek diam akibat, malasnya orang-orang melukis realis. Kini terjadi hanya dalam hitungan detik. Dengan satu pijitan jari ke handphone, maka membantu memori otak untuk menyimpan hal-hal lain. Seperti cerita-cerita...

Cerita apa saja, apa pun bentuknya.

Menjejali manusia dengan cerita-cerita yang seakan-akan mereka merangkainya untuk mengungkap dunia. Entah itu konspirasi atau permasalahan-permasalahan sederhana. Tapi tetap bukan kesederhanaan yang menjadi titik akhir pencarian manusia. Tapi cerita-cerita, yang ia rangkai sendiri, atau yang dirangkaikan orang lain (biasanya dari orang atau sekelompok orang yang punya kepentingan terhadap individu tersebut) untuk dirinya.

Bentuk perang cerita bisa bermacam-macam. Ada yang berbentuk cerita komedi, tragedi, drama telenovela, separah film-film Gas Par Noe, atau se-‘paradoks’ film-film Billy Wilder.

Lima paragraf di atas pun juga sebuah cerita. Masing-masing pembaca punya rangkaian bebas, tentang kenapa tulisan ini ditulis, adakah yang dituju dalam tulisan ini, atau mungkin ini hanya sebuah refleksi, introspeksi, sekedar apresiasi dari dunia cerita yang mendera si penulis akhir-akhir ini. Baik itu dunia maya atau nyata. Produk realitas sehari-hari, atau produk kapitalis sejati.

“Mengemis di tempat gelap.”

Mengarang cerita yang tidak sembarangan butuh energi yang tidak sembarangan. Butuh konsistensi dan kedisplinan yang tinggi. Sebab ketika ada kebocoran, atau celah yang membawa keraguan, maka cerita itu bisa selesai sampai disitu. Atau tidak pernah selesai, walau sebenarnya sudah ketahuan salahnya dimana. Atau selesai begitu saja setelah kebenaran terungkap.. cerita-cerita yang tidak sembarangan tidak akan sesederhana itu.

Dan di akhir paragraf ini, aku menyadari bahwa semua orang bisa mengarang cerita. Apa pun medianya, kata-kata, visual, audio, atau perpaduan dari semuanya—seperti film. Bahkan eksistensi orang yang ada di dekat kita, selalu membawa cerita. Entah dari orang yang mengenalnya lalu cerita, atau dari kemampuan kita merangkai cerita, untuk menebak “Apa sih cerita orang ini?” “Menarik atau tidak?” “Menyenangkan atau tidak,” “Menggairahkan atau tidak?” Semua kembali ke bagaimana kau mengarangnya untuk menjadi apa... yaaa... ceritanya itu... C e r i t a.


Personal Notes : Jangan takut kalau ceritanya tidak seperti yang kau inginkan, mungkin saja dunia memang tidak diciptakan untuk orang-orang yang menginginkannya.

2 komentar:

  1. Informatif nih, keren. Salam kenal mungkin kalau mau mampir di blog hina saya http://farizsyahtria.blogspot.com/ hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih dan salam kenal juga. Segera meluncur ke TKP.

      Hapus