“Iya. Masih banyak kerjaan,” ujarku santai. “Kamu mau kemana malam ini?”
“Nggak, ah. Capek banget hari ini. Aku kayaknya mau istirahat aja. Kamu nggak capek?” tanya Tasha lagi.
Tubuhku tidak dapat digerakkan mendengar pertanyaan itu. “Begitulah.” Terasa ada gumpalan di tenggorokanku. Aku terperangkap dalam kesalahan masa laluku. Kesalahan yang aku kira sudah menghilang dalam putaran waktu, ternyata tak pernah pergi.
“Aku berangkat.” Aku langsung mengemudikan mobilku tanpa menoleh lagi padanya.
Sejak menikah dengan Tasha, aku lebih sering meninggalkannya. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku untuk pekerjaan kantor, lembur dan tugas ke luar kota. Aku tidak bisa membohongi perasaanku, aku masih mencintai Gendis.
Sering aku meminta bantuan Edwin, sahabatku, untuk sekedar melihat keadaan Tasha di rumah saat aku pergi ke luar kota. Edwin pun akan mengirimkan pesan-pesan padaku untuk mengabarkan keadaan Tasha.
“Tenang aja, Ga. Dia baik-baik aja kok selama kamu tinggal pergi. Sepertinya dia tidak terlalu memikirkan kepergianmu.” Pesan Edwin suatu hari.
Aku dan Edwin adalah tim yang kompak. Aku yang menepuk-nepuk pundaknya ketika ia kalah dalam pertandingan basket pertamanya. Dia yang mengantarkan aku saat sakit dan tak ada seorang pun yang bisa merawatku. Dia yang menyampaikan pesan bahwa aku tidak di rumah saat gadis-gadis mencariku di rumah, begitu pula aku yang tertawa geli saat perempuan yang suka kepadanya meninggalkan surat cinta di kolong mejanya. Air dan minyak. Tidak larut, tetapi saling menemani. Kami saling mengenal luar dalam, jadi terasa janggal saat dia menanyakan sesuatu yang tidak biasa, hari itu.
“Ga, hubungan kamu sama Tasha gimana, sih?”
Pertanyaan yang keluar dari mulut Edwin sore itu, selepas kami berdua bermain basket one on one di lapangan dekat rumahnya, jelas-jelas bikin kelabakan. Aku bukan tipe lelaki yang suka gembar-gembor masalah percintaan ke siapa pun, tak terkecuali kepada Edwin.
Satu lagi. Mengapa tiba-tiba dia bertanya begitu? Biasanya dia cukup cuek dengan urusan pribadi orang lain, apalagi dia tahu betul aku tidak suka membicarakannya.
“Arga, jangan berlagak nggak denger, deh.” Edwin menimpukku dengan bola bundar di tangannya, yang sedetik terlambat kutangkap sehingga menghantam dadaku dan jatuh ke lantai semen.
Aku menatapnya, bingung harus menjawab apa. “Kayak biasa aja.”
“Maksudnya?”
Aku menengadahkan kepala dan memejamkan mata. Capek sedari tadi kalah skor dari Edwin; sekarang pun adu mulut juga pasti kalah telak. “Yaaa..., seperti pasangan pada umumnya. Kamu kan tahu.”
Mataku tertumbuk di sebuah kantong plastik di kursi belakang. Aih, martabak punya Tasha ketinggalan! Buru-buru aku menginjak rem, menurunkan posisi perseneling dan memutar kendali 360 derajat. Mumpung belum jauh.
Mendekati rumah. Kulihat Tasha keluar dari pintu. Katanya mau istirahat, tapi kok malah keluyuran lagi?
Ada sebuah mobil yang menunggunya di depan rumah. Mau kemana dia? Aku segera mengikutinya. Mobil itu menuju sebuah kedai kopi yang ramai.
Aku buru-buru memarkir. Kedai kopi yang ramai memaksaku untuk terburu-buru. Aku lalu turun tanpa lupa mengambil jaket untuk berkamuflase. Jangan sampai aku ketahuan membuntuti mereka.
Edwin? Itu Edwin? Ngapain Edwin sama Tasha? Skenario apa lagi, nih? Aku segera duduk membelakangi meja mereka.
“Hahaha.” Tawa Tasha terdengar sesaat setelah aku duduk. “Jadi dia bilang begitu, Win? Arga bilang hubungan aku sama dia baik-baik aja? Gila, ya, tuh orang!”
“Si Arga tuh memang gak cinta kamu, Beb. Mending kamu tinggalin dia aja. Daripada kamu jalanin dua hubungan begini. Mending fokus sama aku. Minimal aku kan nggak ninggal-ninggalin kamu. Hihihi.”
Perutku bergolak. Semakin mendengarnya, semakin terasa desakan rasa amarah, kegagalan, dan kekecewaan. Rahangku mengeras. Napasku berkumpul di tenggorokan.
“Seandainya dia nggak tajir, udah lama aku tinggalin dia.”
Aku tidak tahan lagi. Kuambil gelas berisi susu soda dingin di depanku. Aku langsung menyiramnya di kepala Edwin.
Edwin terkaget dengan es dingin di sekujur kepala dan baju. Kumis dan jenggot tipis menggawangi mulutnya yang melongo lebar. Aku biarkan Edwin sejenak dan mengalihkan pandangan ke Tasha. “Jadi ya, Tas, selama ini kamu mau menikah denganku cuma karena harta! Jadi, kamu bilang mencintai aku selamanya itu cuma bullshit?”
“Ga, ini bukan seperti apa yang kamu dengar. Sabar dulu, Ga.”
“Dan kalian berdua. Apa yang sudah kalian lakukan di belakangku? Kalian selingkuh kan? Dasar kalian berdua tukang tipu.”
“Iya, aku memang tukang tipu. Tapi kamu, Ga, kamu juga tidak pernah mencintai aku. Rumah tangga macam apa ini. Kamu selalu pergi entah kemana.” Bela Tasha.
“Jadi, sekarang kamu maunya apa, Tas? Pernikahan kita gagal. Kamu juga, Win, kamu mau ambil Tasha dari aku?”
“Kamu benar, pernikahan kita gagal, Ga. Pernikahan kita nggak akan bisa berjalan kalau salah satunya merasa nggak bahagia. Dan kenyataannya, aku nggak bisa memaksa kamu mencintai aku.”
Aku terdiam.
“Maaf, Ga. Harus aku akui, aku mencintai Tasha.” Edwin berkata lirih.
“Bangsat!” Tangan aku kepal, sekuat-kuatnya. Lengan aku ayun, sekencang-kencangnya. Aku pukul Edwin tepat di pipi kirinya. Badan bidangnya jatuh dan terebah di lantai.
Cerita sebelumnya Menulis Takdir
gambar dari sini
Wah, harusnya si Tasha juga disiram tuh! terbawa emosi juga saya. hehe
BalasHapustbh, it's a great story. :)
Terima kasih Revi, jangan terlalu larut dalam emosi :)
Hapus