Dugaanku tidak meleset. Ketika akhirnya berhasil memberi tahu hubunganku dengan Gendis, Ayah diam dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun selama sepuluh menit penuh.
“Yah?” panggilku cemas. Ayah terbatuk-batuk kecil.
“Sebentar, Ayah mau ngomong sama Ibu dulu.” Kecemasanku tidak serta-merta menghilang. Aku justru semakin cemas membayangkan tanggapan Ibu. Aku takut ibuku akan menolak mentah-mentah dan aku tahu sekali ibuku akan mengeluarkan keputusan seperti itu. Tidak akan pernah ada jalan kompromi baginya.
Ibu seorang pensiunan karyawan BUMN. Ia juga menjadi pengajar paruh waktu di salah satu perguruan tinggi swasta di Malang. Semua orang yang mengenal Ibu pasti akan menyebutnya sebagai orang dengan kepribadian hangat dan menyenangkan. Namun, di balik kepribadiannya yang ramah dan supel, aku tahu kalau Ibu juga seorang yang keras kepala dan tidak terbantahkan kalau sudah memutuskan sesuatu. Berbeda dengan Ayah, yang akan selalu membelaku, bahkan ketika aku melakukan kesalahan sekalipun. Ibu tidak seperti itu. Aku tahu, Ibu tidak akan ragu mengusir anaknya keluar rumah seandainya ia melakukan sesuatu yang membuatnya marah.
Aku tidak pernah menganggap Ibu menakutkan, tetapi aku paham betul Ibu punya pendirian dan harga diri kuat yang nyaris tak mampu dirobohkan oleh seorang pun.
Ketika akhirnya Ibu muncul, aku terlonjak terkejut. Aku menunggu beberapa saat, mengatur napasku agar kembali tenang.
“Arga.” Kata Ibu.
Aku menggigit bibir bawah saking cemasnya.
“Kamu sedang menjalin hubungan sama siapa, Nak?” tanya Ibu. Nada suaranya masih biasa.
“Sama Gendis.” Aku menelan ludah.
“Hmm. Udah lama kalian pacaran?”
“Dua tahun, Bu.”
“Kamu ingin menikah dengan dia?”
“Aku punya itikad baik mau serius sama dia.”
Terdengar suara Ibu menghela napas berat. “Mau ketemu Ayah Ibu kapan?”
“Sabtu ini. Kalau Ayah Ibu bisa.” Diam lagi.
“Mau dikenalin sebagai calon isteri kamu?”
Aku terdiam sebentar, bingung sendiri ditanya seperti itu. “Iya, Ibu.” Aku akhirnya mengiyakan.
“Oke.”
“Hah?”
“Ibu bilang oke, Arga. Bilang sama... siapa tadi? Nama pacarmu?”
“Gendis, Bu.”
“Iya, Gendis. Bilang sama Gendis, kami akan terima dia baik-baik. Apalagi, kalau dia serius mau jadi calon buat anak kesayangan Ibu.”
***
Aku memberitahukan Gendis semua informasi yang harus diketahui perempuan itu sebelum bertemu dengan kedua orang tuaku. Mulai dari makanan yang disukai dan dihindari kedua orang tuaku, buku yang sedang dibaca ibuku yang seorang kutu buku sejati, sampai kebiasaan buruk yang tidak disukai kedua orang tuaku.
“Sebenarnya, Ayah dan Ibu melihat kesungguhan kalian berdua. Ibu bisa melihat sejauh mana keseriusan kalian berdua untuk membentuk keluarga bersama-sama pada masa yang akan datang.” Suara Ibu yang tiba-tiba terdengar membuat aku yang tertunduk cemas mendongakkan kepala.
Aku melirik ke arah Gendis yang duduk di sebelahku, berharap menemukan kecemasan dan ketakutan yang sama dengan yang aku rasakan. Namun, perempuan itu duduk bergeming, tidak terlihat sedikit pun kegelisahan dalam sorot mata lurus yang diarahkannya pada Ibu.
Ayah menatap Gendis lembut. “Ayah merasa senang karena ternyata Arga sudah menemukan seseorang yang mau menyayangi dan merawat dia hingga tua nanti.”
“Puji Tuhan,” Gendis tersenyum senang.
Ibu dan Ayah terhenyak. “Maaf, Nak Gendis, agama kamu apa?”
“Katolik, Bu.”
Ibu langsung berdiri, “Kenapa kamu tidak bilang sama Ibu dari awal, Le?” masuk ke dalam tanpa kembali lagi.
***
“Mau dengar pendapat Ibu, Le?” Ibu menatap lekat aku sebelum acara akad nikahku dengan Tasha waktu itu. “Jujur, Ibu sebenarnya suka sama Gendis. Tapi agama kalian berbeda.”
“Udahlah, Bu,” tukasku. “Ibu jangan membuat aku semakin bimbang di saat-saat seperti ini ya. Aku hanya menuruti mau Ibu sama Ayah. Itu aja.”
“Ibu cuma ndak mau kamu nyesel, Le.” Ibu mengusap lenganku. “Apa yang benar di mata kita, belum tentu benar di mata Tuhan.”
Sekarang aku hanya bisa memandangi potret Ibu sambil menabur bunga di pusaranya. Ibu telah pergi, Ndis. Dan sebenarnya dia juga ingin kamu menjadi menantunya.
Cerita sebelumnya Pengantar Pesan
gambar dari sini
Ini masih adakah sambungannya atau emang udah selesai? Kok brasa belum tuntas ya.
BalasHapusMasih bersambung kok :)
Hapus