Radit
Aku menyesal. Pertengkaran tadi tak seharusnya terjadi. Aku telah melukai hati perempuan yang sangat aku cintai. Aku membuatnya menangis.
“Kamu akan lebih berbahagia dengan orang lain, Sayang. Bukan aku. Aku hanya bisa membuat kamu menangis. Aku gak bisa ngasih kamu harapan apa-apa.”
“Tahu apa kamu tentang bahagia? Bahagia itu, aku mencintaimu, dan aku selalu tahu bahwa kamu membalas dengan sama besarnya sepertiku. Dan kita tidak perlu berdebat tentang cinta siapa yang lebih besar. Bahagia itu, kita.”
“Sudahlah Sayang. Tidak ada lagi yang harus dilanjutkan, semuanya sudah cukup!” Berbanding terbalik dengan Dara, aku berbicara halus dan pelan. Bisa kurasakan sakitnya dia mendengar perkataanku.
Ah, Dara. Maafkan aku. Aku tahu, dia adalah orang yang sangat mencintaku. Aku selalu berharap dia menjadi pendamping hidupku. Kalau ada yang bertemu dengan dia, dia akan selalu bilang kalau dia beruntung mendapatkanku. Aku bilang, aku yang beruntung. Aku tahu itu. Tapi....
Malam ini, aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Aku sudah mencoba melihat televisi, membaca buku, atau mendengarkan lagu riang. Sama saja. Aku gagal. Aku tidak juga bisa melelapkan mata. Kepalaku terlalu berat. Mengingat dia, rasa bersalahku menjadi-jadi , membuatku sulit terlelap. Aku tak pernah ingin kehilangan dia.
Aku tak sabar menunggu hari esok. Kulirik jam di dinding kamar. Pukul dua dini hari. Aku harus menelponnya sekarang juga. Aku yakin dia pun belum tertidur memikirkan semua ini. Aku tak mau membuat air matanya jatuh terlalu lama.
Praaang!!!
Gelas di meja jatuh tersenggol tanganku ketika aku hendak mengambil handphone. Dan bersamaan dengan itu handphoneku berbunyi. Ada panggilan masuk.
“Halo.”
“Selamat malam, Dit,” sapa seorang perempuan di seberang.
“Erma? Ada apa malam-malam gini menelponku?”
“Radit....” Suaranya terdengar di seberang, terisak.
“Iya, kamu kenapa?”
“Emm..., Dara Dit....”
Deg! Jantungku berdebar lebih kencang.
“Ada apa dengan Dara? Dara gak kenapa-kenapa kan?” tanyaku tak sabar.
“Dia kecelakaan. Tadi dia maksa mau pergi menemui kamu di Jakarta sendirian. Aku sudah melarangnya. Tapi kamu tau sendiri kan kalo dia keras kepala.”
Tubuhku lemas bagai tak bertulang. Bumi yang kupijak seakan berputar.
“Sekarang gimana keadaannya?”
“Dia masih di ruang operasi. Kondisinya kritis.”
13.5.14
Pukul Dua Dini Hari
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar