15.5.14

Senja Sore Itu

Kutatap wajah sendunya. Kali ini, hampir tanpa keinginan untuk mengucapkan apapun. Kularutkan heningku di dalam peluknya. Sebuah gradasi perasaan yang mungkin baru kali itu kurasakan. Aku tersadar. Tapi di dalam diam, aku masih tetap berusaha untuk memecah kebekuan di antara kami.
Kembali kutatap dia. Kali ini tepat di kedua bola matanya. Aku ingin sekali melihat ke dalam hati dan pikirannya. Menusuk dalam ke tatap matanya, aku berharap bisa mengetahui apa yang sedang mengganggu pikirannya dan apa yang seharusnya kulakukan. Tapi, kenyataan saat itu berkata lain. Sudah terlalu lelah aku berusaha untuk memahami. Cukupkah hanya dengan merasakan?
Kali ini, kuraih tangannya. Dingin. Atau mungkin itu memang reaksinya terhadapku. Dengan tetap berkeras aku menggamit telapak tangannya, mencoba memberikan sisa kehangatan yang kumiliki. Namun ternyata, dia membutuhkan lebih dari sekedar sisa. Dia membutuhkan sesuatu yang utuh.
Aku berdiri perlahan di hadapannya, berharap bahwa kali ini aku akan bisa menarik perhatiannya. Ya. Dia mulai menolehkan kepalanya ke arahku. Lalu berkata “Menyingkirlah, kau menghalangi sinar sang senja menyapaku.” Kemudian aku membalikkan badanku.
Satu per satu, aku mulai menyusun langkah untuk menjauh. Meninggalkan hanya bayanganku menimpa sebagian sisi wajahnya. Aku tahu, saat itu adalah terakhir kalinya aku bisa melihat tatapan dingin di matanya. Haruskah aku bersyukur karena aku tak perlu lagi gundah karena tatapan itu? Haruskah kumenderita karena menyadari bahwa aku tidak akan pernah lagi melihat tatapan itu?
Perlahan, aku mulai menjauh. Semakin jauh dari kenyataan yang seharusnya kuhadapi. Aku berusaha melangkah tegak. Dengan memaksakan sisa ketegaran dan keberanian yang kumiliki, akupun mulai menghilang.
Senja sore itu, senja pertama untuk selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar