Dan kini ku harap ku dimengerti walau sekali saja pelukku
Lagu Peluk dari Dewi Lestari dan Aqi Alexa mengalun lamat-lamat di cafe yang aku datangi itu. Salah satu lagu kesukaanku. Di luar hujan masih turun dengan deras. Entahlah, semacam sebuah konspirasi sempurna terhadap apa yang sedang aku alami, aku rasakan.
Berkali-kali kulihat jam di pergelangan tanganku. 21.00, lewat dua jam dari waktu yang ditentukan. Cappuccino float di gelasku sudah habis. Akankah dia datang atau mengingkarinya? Aku makin gelisah. Menunggu memang hal yang membosankan. Terlebih saat ini.
"Bisa temui aku besok?" pintaku padanya kemarin.
"Kenapa Sayang?" tanyanya. "Kamu kangen?"
Aku tertawa. "Ada yang ingin aku bicarakan."
"Kamu kok ketawa sih? Ga kangen ya? Mau ngomongin apa? Ngomong aja sekarang."
"Aku pengen ketemu langsung."
"Baiklah aku usahakan. Kamu tau sendiri kan, aku sudah tidak bisa lagi sebebas dulu."
"Iya aku tau."
Mereka bilang sebaiknya aku pulang, mereka bilang sebaiknya aku menyelamatkan hatiku, mereka bilang sebaiknya semua ini dihentikan.
Tiada yang tersembunyi, tak perlu mengingkari
Rasa sakitmu, rasa sakitku
Sebuah pesan masuk di handphoneku. Aku membaca nama pengirimnya. Ranu.
"Disini hujan deras. Aku lagi minum cokelat hangat sambil ngeliatin hujan dari balik jendela. Kamu dimana sekarang?"
Seorang lelaki memasuki cafe dengan tergesa-gesa, kemeja birunya sedikit basah. Seorang lelaki yang mengisi hariku tiga tahun belakangan ini.
“Maaf, aku terlambat,” katanya dengan wajah menyesal. Aku tersenyum. Entah, dengannya, aku tak pernah bisa marah.
“It’s okay.”
“Kenapa kamu gak pulang saja? Kenapa kamu masih nungguin aku? Ini udah lewat dua jam loh. Selamatkan hatimu. Kita hentikan semua ini,”
“Pulang? Kemana? Kamu rumahku, bagaimana bisa pulang jika kamu menghilang? Menyelamatkan hati? Hati yang mana? Kamu membawa pergi hatiku, hati yang dengan sepenuhnya telah aku titipkan padamu dengan segala rasa percaya. Bagaimana bisa, jika hatiku ada di kamu? Dihentikan? Iya, bahkan sebelum kamu memintaku berhenti, cerita ini telah terhenti. Sayangnya, rasa ini tidak ikut berhenti. Seharusnya cerita dan apa yang aku rasakan berhenti secara bersamaan. Seharusnya. Itukan maksudmu?”
“Cukup Sayang. Cukup. Aku hanya tidak ingin lagi menyakitimu dengan terus seperti ini.” Dia memelukku. Dan air mataku tumpah di dadanya.
Tiada lagi alasan, inilah kejujuran
Pedih adanya namun ini jawabnya
*
Sementara itu di teras sebuah rumah, di kota itu, seorang lelaki gelisah menelpon kekasihnya. Berkali-kali dia berusaha menghubungi namun belum juga ada jawaban.
Akhirnya dia mengirim pesan singkat kepada perempuan yang disayanginya, "Kamu dimana Sayang? Pulanglah."

Tidak ada komentar:
Posting Komentar