Cika terdiam, beberapa saat. Kepalanya berat. Perutnya bergejolak dan mual. Ia tidak tahu apa yang diinginkannya sekarang. Kecuali, merasa tenang dan berharap bangun dengan kesadaran bahwa semua hanyalah mimpi buruk.
“Aku lupa dulu mau memberikan CD Coldplay ini.” kata Vino.
Cika menjatuhkan tubuh di kursinya. Diletakkannya CD itu di atas meja dengan sedikit kasar. Lelaki itu benar-benar membuat emosinya berada di ambang batas meledak. Untuk apa Vino melakukan semua ini? Apa yang sebenarnya Vino inginkan darinya? Merayunya? Mengajaknya bernostalgia? Atau sedang membuat lelucon?
Vino cukup bingung melihat wajah Cika sama sekali tidak menunjukkan keramahan. “Maaf kalau CD itu membuat kamu terkejut. Aku hanya ingin meminta maaf. Aku masih menyayangimu.”
“Mulai sekarang, kamu tidak perlu memberikan aku apa pun…,” ujar Cika seraya menahan napas. Seluruh emosinya seakan naik dan berkumpul di ujung lidah. Menatap mata Vino yang terguncang memberikannya sedikit kelegaan. Terkadang seseorang seperti Vino perlu tahu bagaimana rasanya sebuah hantaman keras.
Sesekali Vino sering memikirkan Cika. Sebenarnya, ia yang selalu menghindari memikirkan perempuan itu. Satu atau dua kali, ia pernah ingin menelepon, tapi berubah pikiran. Ia ingin tahu bagaimana keadaan Cika setelah mereka berpisah.
"…Dan kita tidak mungkin kembali lagi seperti dulu." lanjut Cika. Vino memegang kuat-kuat air mineral gelasnya. Ia hampir meremukkan benda itu. Tentu saja ia bukan orang yang benar-benar bodoh. Ia sadar, sangat mustahil bisa kembali seperti dulu, menghindari keinginannya melihat perempuan itu. Matanya berkhianat. Brengsek!
Vino terdiam, matanya kali ini tidak berpaling. Cika gelisah terus berada di sampingnya. Ada yang berdenyut di tubuhnya mengingat masa lalu mereka. Kehadiran Cika beserta kenangannya dalam situasi yang berbeda ini, memberikan efek emosi naik-turun. Sama seperti perasaan yang tumpang-tindih dengan rasa sakit, kecewa, dan sisa amarahnya.
Ketika Cika mengalihkan pandangan, Vino melirik mengawasinya. Rambut panjangnya menyentuh lembut bahunya dan terlihat mengilat terkena cahaya. Kedua tungkainya di bawah rok selututnya bertumpuan, memperlihatkan sikap duduk tenang. Vino ingat, setiap marah, Cika selalu seperti itu. Diam. Tenang. Tidak ingin menunjukkan gejolak amarahnya. Cika selalu membuat Vino hampir gila jika berhadapan dengan dirinya yang seperti itu.
Vino menelan ludah. Ia semula memang merasa bahagia dan berharap baik-baik saja. Baik untuknya, baik untuk Cika. Namun, nasihat selalu ada benarnya, kehilangan merupakan pelajaran terbaik. Semuanya hanya fatamorgana. Dan, sekarang dirinya tak ada beda dengan musafir mencari mata air di gurun pasir yang panas. Butuh waktu panjang menemukannya atau ikut hilang bersama bayangan semu air di kejauhan.
gambar dari sini
.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar