Setelah beberapa waktu tidak terpejam akhirnya Maya dapat melihat Bunda tertidur dengan tenang. Semalaman beliau merintih, menangis, menahan panas yang menyerang tubuhnya setiap detik tanpa henti. Dua puluh lima tahun usia seorang Maya, namun belum pernah ia melihat Bunda menderita sakit fisik sefrontal ini. Bunda memang tidak lagi muda dan Maya mengetahui itu. Bunda adalah sosok terhebat sepanjang sejarah hidup Maya. Dengan hatinya, ia membesarkan anak-anak yang nakal, dan kerap membangkang. Pikirnya tidak akan pernah ada anak yang berhasil terdidik dengan baik tanpa bantuan lawan jenis, itulah mengapa Maya begitu membenci kisah keluarganya kala itu. Namun, Bunda dan Ayah membuktikan itu tidak benar.
Ingatan berputar dan berhenti pada saat panas tubuh Maya terlalu tinggi. Maya kecil berusia sembilan tahun digendong di pundak Bunda dan menanti Ayah di depan gang kecil tempat orang mencari jalan pintas di sebelah rumah neneknya hanya untuk menanti kehadiran Ayah. Satu jam…, dua jam…, tidak ada tanda-tanda ayahnya akan datang. Bukan Maya yang menangis, tapi Bunda. Ia merasa gagal menyenangkan putrinya ketika putrinya sakit. Ia merutuk Ayah namun masih berusaha menghibur dengan mengatakan bahwa Ayah sedang sibuk dan membujuk agar Maya mau pulang dan bangun dari trotoar kotor di jalan raya. Tapi Maya enggan dan menggeleng dengan lemah kemudian berkata “Maya mau ketemu Ayah.” Bunda kembali menangis terisak dan meminta maaf kepada Maya. Ia juga meyakinkan bahwa esok ayahnya akan datang menemui Maya. Itu janji seorang ibu.
Akhirnya Maya mau bangkit dari trotoar di samping got berbau menyengat itu. Namun karena terlalu lemah, Bunda kembali menggendongnya di punggung dan ikut merasakan panas yang menyerang anaknya. Ia membawa Maya melewati sebuah jembatan dimana banyak sekali mobil dan becak yang mondar mandir, dan ia berkata “Maya harus mau makan ya. Nanti Bunda sedih kalau Maya nggak sembuh-sembuh. Bunda punya uang kok, Maya boleh ambil apa saja yang ada di dalam tempat makan ini”.
Sambil berbicara Bunda mengarahkan tangannya ke beberapa lauk yang disajikan di dalam warteg di sebuah pasar kecil.
”Ayam ya, Maya mau ayam ya? Nanti Bunda cari yang banyak kulitnya, mau ya…” Namun gadis kecilnya tetap menolak. Mata Bunda mulai kembali berkaca, dan tangannya mulai menghapus beberapa butir air yang tak terbendung di kelopak matanya. Melihat Bunda kembali menangis, Maya yang bersandar lemas di punggung sang bunda iba. Ia menunjuk sebuah makanan berwarna kecoklatan di sudut meja, dan mengatakan bahwa itu adalah makanan yang ia mau. Bunda mengangguk senang, tak perduli berapa banyak uang yang ia harus keluarkan, uang hasil mencuci baju tetangganya, dan berapa ton keringat yang keluar untuk itu. Bunda mengangguk kemudian ia meminta kepada penjaga warung nasi itu untuk mengambilkan makanan yang Maya mau. Entah karena Bunda terlalu sensitif, namun lagi-lagi ia berkaca-kaca. Ternyata yang ditunjuk Maya adalah sebuah tahu semur, hanya sepotong tahu semur. Bunda mengingatkan Maya bahwa bunda memiliki uang lebih dari itu untuk membeli sebuah tahu semur, namun Maya menggeleng lemah, ia mau tahu semur itu. Sambil menyeka matanya Bunda menerima kantong plastik hitam berisi tahu semur yang disodorkan mbak penjaga rumah makan sederhana. Ia mengira bahwa Maya berusaha untuk menjaga perasaannya dengan tidak memilih lauk yang tidak bisa dibayar ibunya.
Maya kembali rebahkan kepala di punggung ibunya yang dingin, dan tertidur. Bunda menggendong Maya kembali ke rumah nenek, menggantikan bajunya dan membangunkan untuk menyuapi Maya dengan tahu semur pilihannya sambil menangis.
“Maya harus sembuh ya sayang. Biar nanti bisa ketemu Ayah, biar bisa ketemu Kak Puspa, Kak Arief dan Kak Roma. Kalo Maya sakit Bunda nggak bisa ajak mereka kesini. Tadi Bunda sudah telepon mereka dan mereka akan Bunda ijinkan datang kalo Maya sudah membaik. Maya ngga mau kan kalo mereka ikut sakit? Maya sayang mereka kan? Makanya Maya harus makan yang banyak biar lekas pulih.” Ucapannya ditutup dengan kecupan di kening. Maya memejamkan mata dan tersenyum. Padahal saat itu ia tahu ibunya belum menelpon siapapun apalagi berbicara dengan kakak-kakaknya yang saat itu tinggal bersama dengan ayah. Sepanjang hari bunda bersamanya bagaimana ia bisa menelpon? Namun Maya tetap diam dan berusaha tidur. Ia tahu itu cara Bunda untuk membuatnya termotivasi untuk kembali sehat.
Kembali menatap Bunda saat ini. Menyentuh keningnya. Ia mengerang dengan panas tubuh yang terlalu tinggi. Maya mengerti kenapa dulu Bunda selalu sensitif ketika anaknya sakit.
“Bunda, aku hanya bisa berada di sampingmu saat ini. Hanya itu. Aku belum kuat untuk menggendongmu di punggung seperti ketika aku sakit, aku juga belum sanggup menjanjikan kehadiran Ayah untuk melihat keadaan Bunda karena aku tau Bunda merindukannya. Aku disini melihat Bunda tertidur lelap. Lekas sembuh Bunda, kami menyayangimu.” Ucapan Maya diakhiri dengan kecupan selamat tidur di kening dan Bunda pun tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar