5.12.14
[masih]
Kamu selalu bisa menjadi alasanku tersenyum.
Iya kamu, Sayang!
Ah, apa sih aku ini berani memanggilmu Sayang.
Aku (masih) berharap, iya aku mengakuinya.
Tapi jangan salahkan aku (masih) jatuh cinta padamu.
Tentu saja bukan juga salahmu, Sayang.
Salahkan Tuhan kalau kamu berani.
Kita mungkin tak berjodoh, yah biarlah.
Tapi sudahlah, toh aku sudah melangkah sekarang.
Kamu rindu? Aku bukan sekedar rindu.
Bagiku kamu itu keajaiban bila bisa kugapai.
Bila tidak, cukuplah aku tahu kamu selalu menyimpan memori tentang aku.
Cukuplah aku tahu kamu (masih) menyayangiku.
Pernah menjadi yang terbaik di hatimu.
Dan ku beruntung sempat memilikimu.
Bondowoso, 3 Desember 2014
Ditulis berdasarkan interpretasi lagu Sempat Memiliki yang dinyanyikan Yovie & Nuno dari tema Lagu Dedikasi.
2.12.14
Menikahlah Denganku
Pada hangat nafasnya kuhirup rasa yang beda, cinta semanis ganja.
Mencintainya serupa awan, meski larut menjadi hujan,
tak pernah jera menjelma lagi!
Mencintanya hingga detik berubah menit, dan tahun berhenti berhitung.
Jari jemariku memainkan tali temali.
Melilit bisu dalam kuat hati.
Kurangkai kata dalam bayang imajinasiku.
Menerka bagaimana hatimu.
Kuperankan dialogku saat pertemuan kita, nanti.
Tergagap menatap mataku sendiri.
Dalam bayang cermin buram.
Terus kuulang tanpa semangat yang padam.
Aku menemukan permata di antara permata.
Yang terindah di antara yang indah.
Lebih berkilau dari segala yang pernah aku temui.
Tanpa cacat di sisi-sisinya.
Dia semangatku.
Sumber dari segala harapanku.
Pereda dahaga jiwaku.
Penerang setiap tindak langkahku.
Aku ingin selalu serta bersamanya.
Di setiap sudut dunia dan menyentuhnya.
Dalam setiap dekap detak jantung aku pun dia.
Aku ingin memilikinya dalam satu ikatan cinta.
Dan itu kamu.
Maukah kau menikah denganku?
Ditulis berdasarkan interpretasi lagu Menikah yang dinyanyikan Java Jive dari tema Wedding Song..
1.12.14
Kopi, Dulu Heran Sekarang Cinta
Sampai kemudian aku sendiri yang jatuh cinta pada kopi. Berawal dari saat aku ditugaskan di kecamatan Sempol, Bondowoso. Di tempat itu ada perkebunan kopi Arabica. Setiap pagi selalu tersedia secangkir kopi Arabica di meja kerjaku. Harumnya aroma kopi serta nikmat rasanya membuat aku tidak bisa melewatkan pagiku tanpanya hingga kini. Seolah belum lengkap hidupku sehari bila belum minum kopi.
Kopi itu teman buatku. Ketika aku sendiri atau ketika aku ingin sendiri. Menikmati setiap teguknya hingga kadang ampasnya pun ingin kutelan juga. Aku suka mencium harumnya dalam-dalam saat menuangkan bubuk kopi di cangkir. Begitu juga saat menyeduhnya dengan air panas. Sesuatu yang menenangkan buatku, semacam aromaterapi. Membuat waktuku seolah terhenti sejenak.
Dan aku lebih suka minum kopi saat panas. Memang cepat habis tapi lebih enak, menurutku. Lebih terasa nikmat rasanya masih bercampur dengan aromanya. Ah, jadi teringat quote film “Cinta itu kayak kopi, enak pas panas tapi akan cepat habis diminum. Tapi kalo gak mau cepat habis minumnya dikit-dikit tapi akan cepat dingin.”
Mungkin aku termasuk procaffeinating; the tendency to not start anything until you’ve had a cup of coffee; tidak bisa memulai suatu hal sebelum minum kopi. Candu yang sempurna, bukan?
Twitter: @aidicted
Facebook: ai.dicted
Tulisan ini diikutsertakan dalam kompetisi cerita pendek #DiBalikSecangkirKopi yang diselenggarakan oleh NESCAFE Indonesia.
Terlampau Luka
Selepas remuk, masih kuharap kamu yang memeluk.
Tak kah kau rasakan sakit yang teramat ini?
Aku tak mampu berdiri, apalagi berlari.
Aku lumpuh, merangkak pun tak mampu.
Kau menikamkan pisau tepat mengenai jantungku.
Puaskah kamu setelah membunuhku tanpa peringatan?
Kini aku bersembunyi di sudut kamarku membiarkan diriku menatap wajah yang selama ini bertarung dengan ragu.
Aku membayangkan tanganmu mengusap lagi wajahku, menyentuh ingatan yang mencair di pipi.
Aku tak bisa lagi melafalkan luka semenjak kau hapus seluruh langkah di dadaku yang telah sedemikian dalam terpahat.
Aku berteman baik dengan kenangan dan setia memungut keping demi keping yang kau lemparkan.
Riak luka mengapung di mataku membuatku sadar bahwa hatimu telah tercemar.
Gelombang mengambang di bibirku membangunkanku dengan dingin napasmu yang enggan menyembuhkan luka yang kau tanam di sekujur tubuhku.
Kupanggil namamu, kupanggil namamu, selalu….
Hingga tembok kamarku memantulkan suaramu
Kita menari, memeluk, bercinta dalam ketidakwarasanku ini.
Dengan apa aku harus melarikan diri?
Harus dengan apa kurapikan ingatanku kembali?
Ditulis kembali berdasarkan interpretasi lagu Ketidakwarasan Padaku yang dinyanyikan Sheila on 7 dari tema Lagu Patah Hati.
29.11.14
Jarak Ini Menyiksaku
Hey, tidakkah kamu tahu bahwa dada ini berdebar jauh lebih kencang ketika terbayang ketidaknyamananmu menahan luka dan pilu? Belum lagi tiap siletan linu yang hadir melalui resonansi suaraku kala ketidaknyamanan itu ternyata karena hadirku. Setiap ujarku inginkan kau berbahagia.
Kututupi tiap duka dan amarah karena emosimu yang tiba-tiba membuncah. Kucecapi engkau dengan banyak cerita hidupku atau bahkan cerita tentang banyak hal remeh semata untuk mengalihkanmu sejenak dari tiap masalah yang melenakanmu. Namun tiap untaian kata itu hanya akan menguap di udara menjadi omong kosong terpanjang dalam sejarah hidup manusia.
Awalnya aku akan bertahan dengan semua pergulatan di hati, membiarkan hening hadir di antara kita hanya untuk membisiki hatimu “Hey, kamu tidak sendiri. Ada aku disini.”
Namun terbentur pada nyata. Jarak ini tidak akan pernah mampu membuat kita saling menatap, dan akhirnya debaranku juga engkau akan tetap menjadi debaran yang bertabrakan. Aku dengan rindu, engkau dengan pilu.
Seandainya suara dapat mewakili sebuah pelukan. Seandainya debaran notasi suara terasa nyata seperti debaran jantung di kala saling berpelukan. Lagi-lagi seandainya. Seandainya apa yang dirasakan dapat diketahui tanpa perlu diucapkan. Walaupun suara dapat menenangkan bahkan menghangatkan. Tetapi pelukan di kala saling terdiam tidak pernah dapat dilukiskan.
Ketika suara tidak lagi mampu mewakilkan sebuah pelukan.
Bondowoso, 3 Mei 2013 19:50
Ditulis kembali berdasarkan interpretasi lagu Long Distance yang dinyanyikan Bruno Mars dari tema Lagu LDR.
28.11.14
Mungkin Tak Semua Bisa Bersatu
Sukamu, bencimu, manjamu, tangguhmu..., semua
Bahkan perempuan seperti apa yang bisa mendampingimu
Tertawa, tersedu, membasuh lelah, mengurai hari
Tak ada yang terlewat tanpamu
Di dekatmu aku rindu.
Jauh darimu aku tersedu.
Sepahit inikah cinta itu?
Hingga aku berkeras ingin memaki takdir
Namun katamu, apa yang bisa kita ganti?
Begitu banyak yang ingin kukatakan,
begitu banyak yang tak dapat kukatakan.
Setiap aku bertemu kamu.
Melihatmu sakit, aku sakit.
Melihatmu bahagia, aku bahagia.
Tapi seharusnya bukan dengan dia.
Pernah ku menembus hujan,
tak bisa ku meraihmu.
Pernah ku menunggu reda, tak bisa ku menyusulmu.
Sederas itukah rintangan untuk memilikimu?
Bahkan saling cinta pun tidak bisa membuat kita bersatu.
Bondowoso, 28 Nopember 2014 16:20
Ditulis berdasarkan interpretasi lagu Sepatu yang dinyanyikan Tulus dari tema Lagu Friendzone
27.11.14
Katakan Padaku, Tuan
tapi tetap menyesapmu. Sampai tersedak!
Katakan padaku, Tuan,
apa artinya ini?
Aku mencandumu kini,
hingga tiada detik terlewat tanpamu.
Ingatan tentangmu tiba lebih pagi dari jejak tiada.
Dengarkan ini, Tuan,
riuh di dadaku, menangkap hangat matamu,
tampaknya ada rasa berjingkat di lembah hatiku,
berjalan jauh, mengoyak bimbang, tangis dan sepiku.
Katakan padaku, Tuan,
apa artinya ini?
Aku tak pernah pandai menerjemahkan rasa,
atau mungkin terlalu takut bila ini benar adanya.
Kenapa harus kamu?
Begitu pandai engkau menenun keriangan dengan santun.
Begitu paham engkau merias luka menjadi kerelaan.
Padahal mereka mundur dengan teratur terantuk angkuhku.
Apakah seperti ini juga rasanya, bila bukan kamu?
Lalu tanyaku terhenti tepat di senyummu yang gerhana,
siangku menjadi malam, malamku menjadi petang.
Melihatmu, aku buta dilumat cinta.
Bondowoso, 27 Desember 2014 16:30
Ditulis berdasarkan interpretasi lagu Cinta Pertama dan Terakhir yang dinyanyikan Sherina dari tema Lagu Jatuh Cinta.
18.5.14
Lari
Bila hidup adalah sebuah lomba lari, aku tidak yakin aku adalah pemenangnya.
Kebanyakan manusia ingin cepat sampai, tanpa ingin menikmati pemandangan sekelilingnya. Melihat seorang pemenang hanya dari sisi kemenangannya saja, tanpa mempelajari prosesnya.
Padahal, bisa jadi yang kita cari terselip diantara pemandangan indah, bukan pada akhir dari perjalanan.
Hidup itu lari estafet. Pada fase-fase tertentu. Estafet adalah prosesnya. Bukan seberapa cepat, tapi bagaimana cara kita mencapai titik berikutnya.
Life is a journey, and we have our own journey.
Take a walk, and you’ll understand the answer.
17.5.14
Hatiku Dingin
Selama ini pasti kau tak tau kan kalau aku pandai. Aku pandai, menyimpan hatiku dalam kulkas. Aku simpan hatiku di kulkas, kelak biar tak busuk. Karna lebih baik hatiku beku dari pada hatiku busuk.
Dan kamu selalu berhasil membuat aku memiliki alasan untuk mengeluarkan hatiku ini kemudian menaruhnya di kulkas dekat dapur.
Aku takut hatiku menjadi busuk apabila aku tak mendinginkannya. Bila sudah waktunya nanti aku percaya pasti ada seseorang yang akan datang dan membuat aku bisa mengeluarkan hati itu dari kulkas dan memanaskannya di atas tungku. Dan yah semoga, hati itu akan menjadi hangat kembali.
Lalu terkadang aku lupa kalau hati itu sedang berada di dalam kulkas. Aku berjalan-jalan entah kemana menyisuri kegamangan dengan dadaku yang bolong. Dan semua orang mulai berbisik-bisik di belakangku bahwa aku adalah manusia yang tidak punya hati.
Siang ini aku menggenggam termometer menuju kulkas. Aku keluarkan hatiku yang telah lama beku di dalamnya. Aku ukur suhunya.
Di luar panas. Ini, hatiku yang dingin, minumlah. Hatiku beku, pecah menjadi bulir-bulir es yang bisa kau taruh di gelas yang penuh air mata itu.
Bila air matamu dingin, mungkin ada aku disana.
16.5.14
Terkabul
Malam itu selarik cahaya melintas di langit. Bintang jatuhku yang pertama setelah sekian jauh langkah kakiku menapak usia. Mereka bilang, ucapkan harapanmu pada bintang jatuh. Biarkan dia membawanya ke langit dan meletakkannya di pangkuan Tuhan.
Malam itu aku memejamkan mata dan mengucap harap, agar satu hari aku menemukan rumahku dan bisa melepas penatku di sana.
Kemudian aku menoleh. Ada kamu di sisiku. Dan secepat itulah harapanku terkabul.
15.5.14
Senja Sore Itu
Kutatap wajah sendunya. Kali ini, hampir tanpa keinginan untuk mengucapkan apapun. Kularutkan heningku di dalam peluknya. Sebuah gradasi perasaan yang mungkin baru kali itu kurasakan. Aku tersadar. Tapi di dalam diam, aku masih tetap berusaha untuk memecah kebekuan di antara kami.
Kembali kutatap dia. Kali ini tepat di kedua bola matanya. Aku ingin sekali melihat ke dalam hati dan pikirannya. Menusuk dalam ke tatap matanya, aku berharap bisa mengetahui apa yang sedang mengganggu pikirannya dan apa yang seharusnya kulakukan. Tapi, kenyataan saat itu berkata lain. Sudah terlalu lelah aku berusaha untuk memahami. Cukupkah hanya dengan merasakan?
Kali ini, kuraih tangannya. Dingin. Atau mungkin itu memang reaksinya terhadapku. Dengan tetap berkeras aku menggamit telapak tangannya, mencoba memberikan sisa kehangatan yang kumiliki. Namun ternyata, dia membutuhkan lebih dari sekedar sisa. Dia membutuhkan sesuatu yang utuh.
Aku berdiri perlahan di hadapannya, berharap bahwa kali ini aku akan bisa menarik perhatiannya. Ya. Dia mulai menolehkan kepalanya ke arahku. Lalu berkata “Menyingkirlah, kau menghalangi sinar sang senja menyapaku.” Kemudian aku membalikkan badanku.
Satu per satu, aku mulai menyusun langkah untuk menjauh. Meninggalkan hanya bayanganku menimpa sebagian sisi wajahnya. Aku tahu, saat itu adalah terakhir kalinya aku bisa melihat tatapan dingin di matanya. Haruskah aku bersyukur karena aku tak perlu lagi gundah karena tatapan itu? Haruskah kumenderita karena menyadari bahwa aku tidak akan pernah lagi melihat tatapan itu?
Perlahan, aku mulai menjauh. Semakin jauh dari kenyataan yang seharusnya kuhadapi. Aku berusaha melangkah tegak. Dengan memaksakan sisa ketegaran dan keberanian yang kumiliki, akupun mulai menghilang.
Senja sore itu, senja pertama untuk selamanya.
14.5.14
Dunia, (dengan koma)
Tentang engkau yang ada di sana.Tentang engkau yang mengeluhkan ketiadaan tanda baca…
Kau seharusnya lebih bisa merasa. Bukan koma yang harusnya kau minta.
Karena koma sebenarnya telah ada. Diciptakan oleh-Nya tanpa sia-sia, untuk menuntunmu masuk ke dalam dunia itu lebih dalam tanpa cedera.
Bukankah koma itu selalu engkau temukan lima kali dalam sehari. Ketika engkau buang seluruh harga diri dan menempelkan dahi di titik terendah manusiawi.
Sangsi apa lagi yang kau miliki? Siapa lagi yang lebih kokoh sebagai sandaran hati? Siapa lagi yang mempunyai jaring pengaman lebih baik saat tubuh dan mentalmu dihempaskan kesana kemari?
Kau tak perlu transformasi berlebih. Hanya hati dan pikiran yang lebih mengerti. Lebih memahami, bahwa selalu ada tempat untukmu kembali.
Tempatmu kembali menegakkan komamu. Beristirahat sejenak dari duniamu. Mencurahkan isi hati dan kekesalanmu….
Akan dunia yang kau anggap tanpa koma. Tanpa tanda baca….
13.5.14
Pukul Dua Dini Hari
Radit
Aku menyesal. Pertengkaran tadi tak seharusnya terjadi. Aku telah melukai hati perempuan yang sangat aku cintai. Aku membuatnya menangis.
“Kamu akan lebih berbahagia dengan orang lain, Sayang. Bukan aku. Aku hanya bisa membuat kamu menangis. Aku gak bisa ngasih kamu harapan apa-apa.”
“Tahu apa kamu tentang bahagia? Bahagia itu, aku mencintaimu, dan aku selalu tahu bahwa kamu membalas dengan sama besarnya sepertiku. Dan kita tidak perlu berdebat tentang cinta siapa yang lebih besar. Bahagia itu, kita.”
“Sudahlah Sayang. Tidak ada lagi yang harus dilanjutkan, semuanya sudah cukup!” Berbanding terbalik dengan Dara, aku berbicara halus dan pelan. Bisa kurasakan sakitnya dia mendengar perkataanku.
Ah, Dara. Maafkan aku. Aku tahu, dia adalah orang yang sangat mencintaku. Aku selalu berharap dia menjadi pendamping hidupku. Kalau ada yang bertemu dengan dia, dia akan selalu bilang kalau dia beruntung mendapatkanku. Aku bilang, aku yang beruntung. Aku tahu itu. Tapi....
Malam ini, aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Aku sudah mencoba melihat televisi, membaca buku, atau mendengarkan lagu riang. Sama saja. Aku gagal. Aku tidak juga bisa melelapkan mata. Kepalaku terlalu berat. Mengingat dia, rasa bersalahku menjadi-jadi , membuatku sulit terlelap. Aku tak pernah ingin kehilangan dia.
Aku tak sabar menunggu hari esok. Kulirik jam di dinding kamar. Pukul dua dini hari. Aku harus menelponnya sekarang juga. Aku yakin dia pun belum tertidur memikirkan semua ini. Aku tak mau membuat air matanya jatuh terlalu lama.
Praaang!!!
Gelas di meja jatuh tersenggol tanganku ketika aku hendak mengambil handphone. Dan bersamaan dengan itu handphoneku berbunyi. Ada panggilan masuk.
“Halo.”
“Selamat malam, Dit,” sapa seorang perempuan di seberang.
“Erma? Ada apa malam-malam gini menelponku?”
“Radit....” Suaranya terdengar di seberang, terisak.
“Iya, kamu kenapa?”
“Emm..., Dara Dit....”
Deg! Jantungku berdebar lebih kencang.
“Ada apa dengan Dara? Dara gak kenapa-kenapa kan?” tanyaku tak sabar.
“Dia kecelakaan. Tadi dia maksa mau pergi menemui kamu di Jakarta sendirian. Aku sudah melarangnya. Tapi kamu tau sendiri kan kalo dia keras kepala.”
Tubuhku lemas bagai tak bertulang. Bumi yang kupijak seakan berputar.
“Sekarang gimana keadaannya?”
“Dia masih di ruang operasi. Kondisinya kritis.”
12.5.14
00:01
Matanya tak kunjung terpenjam menanti pukul 00.01 , menjaga agar tidak ketinggalan.Menghabiskan lembaran-lembaran buku yang sudah dibolak-balik ratusan kali.
Masih 95 menit lagi , rasanya lama sekali. Mencoba memikirkan kata terbaik yang bisa dituliskan. Berjuang untuk menjadi yang pertama kali, pukul 00.01.Waktu bergulir lebih lambat , seolah bersekongkol ria hendak menggagalkan niatnya , seorang pemuda tanggung yang berusaha untuk tidak tidur demi pukul 00.01.
Remaja ini sepikiran dengan kebanyakan remaja lain , berharap dengan menjadi yang pertama kali mengucapkan , akan timbul perasaan seperti yang dia harapkan. Harapan yang terlalu semu.
Akhirnya mengalirlah untaikan kata pada pukul 00.01 , di halaman jejaring muncul jauh lebih panjang. Dia merasakan kemenangan.
tak jauh dari rumahnya , seseorang mengirimkan pesan serupa kepada kawannya , tapi berbeda isi :
Kawan : Wah selamat ulang tahun kawan , buruan putus ya sama pacarnya. Diputus pake nikah apa pake putus cinta terserah, yang penting buruan putus.
Seseorang : Wah jahat sekali doanya :(
Kawan : itu doa terbaik kawan , biar lo buruan lepas dari ikatan dosa , sesuatu yang gak halal , masak berbuat dosa disuruh langgeng .
Seseorang : JLEB!
11.5.14
Tujuh Keduapuluh
Pukul 15.00 WIB. "Apa kabar kamu? Hari ini tak ada kabar sama sekali. Kamu baik-baik saja kan?" Sebuah BBM terkirim.
"Kamu sabar ya, sebentar lagi aku pasti akan putusin dia. Tinggal nyari waktu yang tepat aja." Aku meyakinkan Dian sambil mencari cara untuk memutuskan Rena.
"Kamu janji ya?"
Aku mengangguk dan memeluknya, yang seharian ini telah bersamaku.
Apakah 'kamu' yang kamu maksud dalam kata-kata indahmu adalah saya? Jika bukan, maka ini salah saya yang berharap demikian.
10.5.14
Ancaman Buatmu
Hey kamu...!
Iya kamu..., yang sering bikin aku sebel, yang cuek, yang sering bikin aku nunggu, yang bales bbm lama banget, yang suka beralasan gak fokus, yang suka ninggalin tidur.
Aku gak tau kenapa, bagaimana mulanya dan bagaimana awalnya. Oke, langsung to the point saja, tolong aku minta satu hal dari kamu. Cukup satu. Dan itu cukup.
Tolong jangan bikin aku jatuh cinta sama kamu. Kamu tahu kan, hatiku baru saja hancur. Jadi jangan coba-coba bikin aku jatuh dan sakit lagi. Atau aku akan segera minta kamu melamar aku.
Camkan itu baik-baik.
9.5.14
Di Tepian
Kau pasti mengantongi tanya di hirup nafas dan saku celana
selain terka dan tapak berjinjit mengintip jendela
Tapi aku tak punya apa
selain cerita dan telinga
Jadi biar malam mengawal dan rahasia menyamar
Kita lalui, kita rasai
jernih
tenang
teduh
Di tepi, antara pagar dan lampu jalan
waktu menjadi serpihan kecil,
tatkala hidup terlepas bebas.
8.5.14
Selintas Kita
Teruntuk kamu, yang yang belum pernah ada dalam satu bingkai foto yang sama denganku.
Sore ini jalanan padat seperti biasa. Sama padatnya dengan lalu lintas pikiranku. Juga sama semrawutnya, barangkali. Kamu duduk di bangku depan, sibuk mengganti frekuensi radio beberapa kali. Lalu kamu ikut bersenandung pada beberapa bait yang kamu hafal sekilas liriknya. Aku duduk di bangku belakang, tanpa suara, menyandarkan kepala.
Langit mulai meremang diiringi gerimis yang semulanya tipis-tipis lalu menebal. Kita memperhatikan jalanan dari bingkai jendela yang berbeda. Seperti halnya, kita berdua yang belum pernah ada dalam satu bingkai foto yang sama.
Setiap mobil di jalanan tersebut memasang wiper-nya. Bergerak dari kiri ke kanan, menyapu bulir-bulir hujan yang menghalangi pandangan. Hanya menghapus sepersekian detik, kemudian terguyur lagi oleh hujan.
Begitu seterusnya.
Seperti tawa dan airmata, yang hadir selintas-selintas saja. Sementara. Dua hal tersebut silih berganti, hingga seringkali tumpang tindih. Baru saja kamu tertawa sampai pipi dan perutmu kram, lalu perlahan pipimu terasa hangat oleh lelehan airmata. Atau sebaliknya, airmata yang bisa saja terusap oleh cerita-cerita bahagia. Bahkan, tidak jarang keduanya muncul bersamaan. Dan kita tidak sempat membedakan rasa keduanya.
Seperti kisah kita. Ada kamu di sisi sana, dan aku di sisi sini. Dipisahkan oleh jarak ribuan kilometer. Kita berada dalam dunia paralel yang kita ciptakan sendiri, tidak dalam satu dunia yang sama. Tak berawal dan tak berakhir.
7.5.14
Lari
Seorang tetangga mengajak saya ikut lari seperti yang belakangan ini dilakukan banyak orang. Saya menampik tawarannya itu karena saya tak kuat lari dan sejujurnya lebih enak tidur, apalagi diperintahkan untuk bangun subuh-subuh.
Kemudian ia berkomentar lagi. ”Ini beda larinya. Kagak pake sepatu, kagak pake baju olahraga, larinya kagak di jalan raya.” Saya membalasnya. ”Mang lari apaan?” Ia menjawab, ”Lari dari kenyataan, bro.”
Belum merdeka
Di sore itu kami tergelak bersama. Kemudian malam datang dan kami berpisah. Ia pulang mengurus keluarganya, saya bingung mau pulang karena tak ada yang diurus. Mungkin ini waktunya ikut lari dari kenyataan.
Sudah beberapa minggu belakangan saya merasa sangat jenuh dengan kehidupan yang saya jalani, tanpa menampik bahwa kebahagiaan juga turut hadir di antaranya. Tetapi mungkin kebahagiaannya hanya dua puluh persen, sisa delapan puluh persennya adalah yang melelahkan batin.
Maka dua teman saya bersepakat mengajak saya ke luar kota, setelah melihat gelagat saya yang aneh. Awalnya saya menolak ajakan itu. Lelah batin itu ternyata mendatangkan kemalasan. Malas bergerak, malas menghadiri undangan, malas makan, malam mandi. Tetapi paksaan yang cukup bertubi-tubi dari kedua teman itu membuat saya mengalah dan berakhir bersama mereka di akhir pekan.
Dua hari menghilang tanpa berpikir apa-apa lumayan membuat baterai saya menyala lagi. Mungkin yang namanya habis di-recharge itu yaa… seperti perasaan setelah akhir pekan itu. Tetapi setelah semuanya berakhir, dan saya kembali lagi pada rutinitas, kembali melihat tempat tinggal yang sama, perasaan sebal mulai menyerang lagi.
Entah mengapa, belakangan ini juga, saya sering sakit kepala acap kali bangun pagi setelah sekian jam tanpa masalah tidur pada malam hari. Padahal, saat berakhir pekan bersama teman-teman, sakit kepala itu raib entah ke mana.
Dalam keadaan tertentu, saya bisa menggigil di tengah hawa yang panas dan sebaliknya bisa kegerahan di ruang berpendingin. ”Kayaknya elo menopause deh,” komentar seorang teman. Kalau sudah demikian, ingin rasanya berlibur lagi, ingin melarikan diri dari kenyataan yang menyebalkan lagi.
Mungkin hal ini yang menyebabkan ada orang suka mengonsumsi narkoba. Mendapat kebahagiaan sesaat, melarikan diri sesaat dari kenyataan yang mendatangkan rasa sukacita yang meski sejenak, tetapi memberi rasa yang berbeda.
Kemudian terlintaslah dalam benak saya, apakah lari dari kenyataan seyogianya dilakukan sesering mungkin? Mengapa lari dari kenyataan itu dilakukan? Kalaupun ingin lari darinya, apakah itu bisa dilakukan, la wong saya ada di dalam kenyataan itu sendiri? Bagaimana saya bisa lari darinya?
Merdeka
Kemudian saya memendamkan semua pertanyaan itu beberapa minggu lamanya. Sampai pada suatu sore di akhir pekan, saya seharian terpaksa harus berdiam di tempat tinggal karena Jakarta diguyur hujan.
Setelah bosan melihat tayangan televisi, mencoba belajar memasak dengan berakhir menyantap ayam goreng gosong, saya memutuskan untuk melakukan aktivitas jalan cepat dan lari di halaman apartemen seperti yang setiap hari saya lakukan.
Setelah aktivitas dilakukan, saya beristirahat di atas rumput. Memandang sore hari dengan langit yang tak terlalu biru sambil mendinginkan badan yang berkeringat. Nah, di saat itulah saya kembali mengingat pada sejuta pertanyaan mengenai lari dari kenyataan.
Saya cukup lama terdiam sebelum mulai mencoba dengan tenang mengapa saya ingin sekali lari dari kenyataan itu. Hal pertama dan mungkin satu-satunya penyebab adalah saya tak bisa menerima kenyataan hidup saya sendiri. Kalau kenyataan dunia, apa boleh buat. Suka tidak suka, saya harus menerimanya.
Jadi, sejujurnya melarikan diri sejenak di akhir pekan itu tak menyelesaikan masalah. Mungkin sama seperti mengonsumsi narkoba itu tak menyelesaikan masalah. Itu mengapa sepulang melarikan diri, saya mengomel lagi. Itu mengapa saya ingin berlibur lagi, ingin lari lagi. Saya hanya melupakan tetapi tidak menerima kenyataan.
Mengapa saya tak bisa menerima kenyataan hidup saya? Yaa… sederhana saja. Karena memang belum dapat menerima saja. Jadi, saya harus menerima kenyataan bahwa saya tidak bisa menerima dan bukan pura-pura bisa menerimanya.
Saya suka naik pitam kalau dikuliahi kalau saya ini dianggap kurang bersyukur saat saya tak bisa menerima kenyataan yang tak saya sukai. Saya merasa dipersalahkan kalau menjadi jujur dan selalu dianggap sungguh mulia ketika saya menjadi munafik. Terlintas dalam benak saya kalau munafik itu memberi banyak keuntungan ketimbang menjadi jujur.
Maka setelah mendinginkan diri, saya pikir saya akan mengomel untuk beberapa waktu lamanya sampai pada suatu hari nanti akan datang waktunya saya bisa menerima kenyataan hidup saya.
Kan katanya semua itu pasti berakhir. Kebahagiaan akan berakhir, penderitaan pun akan berakhir, maka ketidakmampuan saya untuk menerima kenyataan ini pun akan berakhir.
Jadi, di suatu hari nanti saya tak perlu lagi berlari-lari. Dan hari itu akan menjadi sebuah hari kemerdekaan buat saya. Lari dari kenyataan itu tidak memerdekakan!
6.5.14
Sedikit Cerita Tentang Bunda
Ingatan berputar dan berhenti pada saat panas tubuh Maya terlalu tinggi. Maya kecil berusia sembilan tahun digendong di pundak Bunda dan menanti Ayah di depan gang kecil tempat orang mencari jalan pintas di sebelah rumah neneknya hanya untuk menanti kehadiran Ayah. Satu jam…, dua jam…, tidak ada tanda-tanda ayahnya akan datang. Bukan Maya yang menangis, tapi Bunda. Ia merasa gagal menyenangkan putrinya ketika putrinya sakit. Ia merutuk Ayah namun masih berusaha menghibur dengan mengatakan bahwa Ayah sedang sibuk dan membujuk agar Maya mau pulang dan bangun dari trotoar kotor di jalan raya. Tapi Maya enggan dan menggeleng dengan lemah kemudian berkata “Maya mau ketemu Ayah.” Bunda kembali menangis terisak dan meminta maaf kepada Maya. Ia juga meyakinkan bahwa esok ayahnya akan datang menemui Maya. Itu janji seorang ibu.
Akhirnya Maya mau bangkit dari trotoar di samping got berbau menyengat itu. Namun karena terlalu lemah, Bunda kembali menggendongnya di punggung dan ikut merasakan panas yang menyerang anaknya. Ia membawa Maya melewati sebuah jembatan dimana banyak sekali mobil dan becak yang mondar mandir, dan ia berkata “Maya harus mau makan ya. Nanti Bunda sedih kalau Maya nggak sembuh-sembuh. Bunda punya uang kok, Maya boleh ambil apa saja yang ada di dalam tempat makan ini”.
Sambil berbicara Bunda mengarahkan tangannya ke beberapa lauk yang disajikan di dalam warteg di sebuah pasar kecil.
”Ayam ya, Maya mau ayam ya? Nanti Bunda cari yang banyak kulitnya, mau ya…” Namun gadis kecilnya tetap menolak. Mata Bunda mulai kembali berkaca, dan tangannya mulai menghapus beberapa butir air yang tak terbendung di kelopak matanya. Melihat Bunda kembali menangis, Maya yang bersandar lemas di punggung sang bunda iba. Ia menunjuk sebuah makanan berwarna kecoklatan di sudut meja, dan mengatakan bahwa itu adalah makanan yang ia mau. Bunda mengangguk senang, tak perduli berapa banyak uang yang ia harus keluarkan, uang hasil mencuci baju tetangganya, dan berapa ton keringat yang keluar untuk itu. Bunda mengangguk kemudian ia meminta kepada penjaga warung nasi itu untuk mengambilkan makanan yang Maya mau. Entah karena Bunda terlalu sensitif, namun lagi-lagi ia berkaca-kaca. Ternyata yang ditunjuk Maya adalah sebuah tahu semur, hanya sepotong tahu semur. Bunda mengingatkan Maya bahwa bunda memiliki uang lebih dari itu untuk membeli sebuah tahu semur, namun Maya menggeleng lemah, ia mau tahu semur itu. Sambil menyeka matanya Bunda menerima kantong plastik hitam berisi tahu semur yang disodorkan mbak penjaga rumah makan sederhana. Ia mengira bahwa Maya berusaha untuk menjaga perasaannya dengan tidak memilih lauk yang tidak bisa dibayar ibunya.
Maya kembali rebahkan kepala di punggung ibunya yang dingin, dan tertidur. Bunda menggendong Maya kembali ke rumah nenek, menggantikan bajunya dan membangunkan untuk menyuapi Maya dengan tahu semur pilihannya sambil menangis.
“Maya harus sembuh ya sayang. Biar nanti bisa ketemu Ayah, biar bisa ketemu Kak Puspa, Kak Arief dan Kak Roma. Kalo Maya sakit Bunda nggak bisa ajak mereka kesini. Tadi Bunda sudah telepon mereka dan mereka akan Bunda ijinkan datang kalo Maya sudah membaik. Maya ngga mau kan kalo mereka ikut sakit? Maya sayang mereka kan? Makanya Maya harus makan yang banyak biar lekas pulih.” Ucapannya ditutup dengan kecupan di kening. Maya memejamkan mata dan tersenyum. Padahal saat itu ia tahu ibunya belum menelpon siapapun apalagi berbicara dengan kakak-kakaknya yang saat itu tinggal bersama dengan ayah. Sepanjang hari bunda bersamanya bagaimana ia bisa menelpon? Namun Maya tetap diam dan berusaha tidur. Ia tahu itu cara Bunda untuk membuatnya termotivasi untuk kembali sehat.
Kembali menatap Bunda saat ini. Menyentuh keningnya. Ia mengerang dengan panas tubuh yang terlalu tinggi. Maya mengerti kenapa dulu Bunda selalu sensitif ketika anaknya sakit.
“Bunda, aku hanya bisa berada di sampingmu saat ini. Hanya itu. Aku belum kuat untuk menggendongmu di punggung seperti ketika aku sakit, aku juga belum sanggup menjanjikan kehadiran Ayah untuk melihat keadaan Bunda karena aku tau Bunda merindukannya. Aku disini melihat Bunda tertidur lelap. Lekas sembuh Bunda, kami menyayangimu.” Ucapan Maya diakhiri dengan kecupan selamat tidur di kening dan Bunda pun tersenyum.
5.5.14
Senja Bersamamu
When you get what you want, but not what you need
When you feel so tired, but you can’t sleep
Stuck in reverse
Hujan di luar sana masih deras, sesekali aku pandangi jendela yang kacanya mengembun, menatap air yang terlihat jelas turun tidak beraturan, aku dapat melihatnya karena terkena bias cahaya lampu jalan.
Aku tergerak menulis di kaca berembun itu. “Rindu kamu, Karang.”. Lalu tanpa sadar air mataku pun meleleh membasahi pipiku.
***
Aku menguap lebar, menunggu layar netbookku padam. Udara sepoi-sepoi di taman membuatku mengantuk. Sekarang sudah pukul lima sore dan aku memutuskan istirahat saja setelah sebungkus kripik kentang dan segelas cappuccino ternyata tidak berhasil membantu memecahkan kebuntuan otakku menyelesaikan tulisan yang aku buat. Tidak ada gunanya memaksakan diri.
Ups! Dimana tadi kunci motorku kutaruh ya… kok di dalam tas tidak ada. Aku mengeluarkan isi tasku. Tidak ada. Kurogoh sakuku. Nihil. Tidak ada juga. Atau mungkin tadi terjatuh ya… Gawat nih!
“Cari ini ya…” Seorang laki-laki berkaos biru mengulurkan kunci motorku.
Dan saat itulah aku cuma bisa diam melihat… lelaki itu bicara. Sensasi ini… mengapa aku merasakannya? Sensasi debaran jantung kencang yang membuat darahku mengalir keras dan membuat perutku mulas begitu mendadak.
“Boleh aku duduk?” Tanyanya setelah melihat aku menguasai keadaan. “Maaf kalau tadi mengejutkan.”
“Silahkan… terima kasih kuncinya.” Jawabku mencoba tersenyum padanya.
“Menunggu seseorang?” tanyanya. Sepertinya dia mencoba menyelidik. Hmm… kalau diperhatikan lebih lama, orang ini ada miripnya dengan… mmm… siapa ya? Ah, lupa. Pokoknya manis. Ada garis wajah yang cukup kuat terpasang di sana.
“Menunggu senja.” Jawabku. “Karena itulah, aku sering kemari.”
“Pecinta senja?” tanyanya.
Aku tersenyum. “Kamu? Lagi nunggu juga?” aku balik bertanya.
Dia terdiam, alis matanya naik sebelah. “Hmm, nggak juga. Iseng aja main ke sini.”
Lama menilik garis-garis wajahnya, aku mencoba mengingat-ingat. Tunggu… aku sepertinya pernah akrab dengan suaranya. Tapi… tidak mungkin. Apakah dia…? Sepertinya bukan.
Tiba-tiba ada panggilan masuk di BBnya. Ringtone yang terdengar lagu Fix You dari Coldplay.
Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you
Lagu itu mengingatkanku pada… Ah, sudahlah… tidak mungkin…
“Hey, kenapa?” tanya dia tiba-tiba. Aku gelagapan, merasa bingung karena tadi terlalu terhanyut.
“Ga apa-apa” Jawabku.
“Suka lagu ini ya? Aku juga suka” Dia tersenyum. “Lagu ini mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang sangat berarti untukku.”
“Siapa? Pacar?”
Dia kembali tersenyum. “Dia senjaku. Dia bidadariku. Penyemangat hidupku.”
Deg! Benarkah dia…?
“Dia suka warna biru dan jingga. Seperti warna senja. Suka menulis puisi.”
Hah!!! Karang… kaukah itu??!!!
***
Lima tahun yang lalu…
Kantor sudah mulai sepi, hanya aku dan beberapa orang yang masih terlihat berkutat menggeluti pekerjaan. Aku memutuskan keluar dari ruangan, meluruskan kakiku yang kaku sambil menyegarkan mataku yang sudah nyaris tak bisa diajak kompromi.
Aku melongok ke luar jendela kantor dan melihat langit berwarna merah keemasan, senja mulai menjelang. Aku teringat Karang.
Pecinta senja. Ya, itulah kami berdua. Tiba-tiba aku kangen sekali pada Karang. Kata-katanya yang selalu penuh humor, bisa membuatku terpingkal-pingkal. Berbagi khayalan tentang masa depan yang tak mungkin menjadi nyata. Menikmati menit-menit saat waktu begitu bersahabat dengan kami.
Aku jatuh cinta hanya dalam tempo sebulan sejak mengenalnya! Semakin hari, aku semakin merindukannya, jika dia tidak hadir aku sering bertanya sedang kemanakah dia?
Padahal biasanya aku tidak pernah perduli, apakah seseorang akan jatuh cinta padaku atau tidak. Karena aku begitu transparan dan apa adanya. Tapi tidak untuk Karang.
Teringat kata-kata Lila, sahabatku, tempo hari ” Bagaimana engkau bisa mencintainya? Sementara engkau tidak tahu siapa dia? Seminggu lagi kamu menikah Nad.”
Huuff… entahlah. Aku kembali menyibukkan diri dengan pekerjaanku. Buntu. Aku mengambil HP dan memencet nomor yang sangat aku hafal.
“Karang…”
“Hey Nad…”
Hening.
“Apa kabar Karang?”
“Baik Sayang. Kamu gimana?”
Hmm… Tahukah kamu, panggilan Sayang itu selalu mampu membuat hatiku bergetar, meleleh dan meneteskan air mata. Mengapa aku tak pernah mampu melupakanmu?
“Aku baik juga…”
“Syukurlah…”
Aku bingung. Aku selalu kehilangan kata-kata ketika bicara denganmu.
“Halo Sayang. Kenapa?”
“Ga pa-pa Karang.”
“Kamu kangen ya?”
Ya, itulah yang selalu aku rasakan untukmu. Itulah yang ingin aku katakan untukmu. Dan aku tercekat. Tapi kau pasti sudah merasakannya.
“Hmm… Itu udah pasti… Gak usah ditanya lagi.”
Kamu tersenyum lirih.
“Aku juga kangen kamu Sayang.”
“Kau tahu aku bukanlah bidadari. Dan aku tahu kau bukanlah malaikat. Tapi mengapa saat kita berdua bersama, aku selalu merasa kita bagaikan sedang berada di surga. Tenang, nyaman indah dan damai ketika bersamamu.”
“Siapa bilang kau bukan bidadari? Buatku kau lebih baik dari bidadari-bidadari itu…”
Kau selalu bisa membuat aku tersanjung.
“Mengapa cinta tak pernah mudah untuk bersatu. Aku mencintaimu. Kau pun mencintaiku. Tak cukupkah itu membuat aku bisa selalu bersamamu. Aku sayang kamu Karang. Aku ingin memeluk ragamu. Bukan hanya bayangmu. Aku ingin membahagiakanmu. Aku ingin membuatmu bahagia dengan diriku. Bukan hanya melihatmu bahagia. Tapi apa kuasaku atas semua ini? Aku ingin marah. Tapi pada siapa? Untuk apa? Karena bila ada yang salah dari cerita cinta kita, akulah yang salah. Mengapa harus ada rasa sayang ini bila aku tak bisa bersamamu. Apa arti semua ini? Kadang aku iri pada mereka yang bisa mengekspresikan rasa sayang mereka di mana saja, kapan saja. Sedangkan kita? Huuufff… Menatap matamu saja, aku tak bisa.”
“Nggak Sayang.. Kamu sama sekali gak salah. Gak ada yang salah. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Jangan pernah bertanya mengapa bisa ada rasa sayang ini… Kita tidak pernah tahu… Nad, aku sayang kamu!” ucapnya.
“Aku sayang kamu juga. Karang, aku bisa nekat melakukan apa pun. Kamu tahu itu kan?”
“Jangan ngaco! Janji sama aku kalau kamu nggak akan ngelakuin sesuatu yang bodoh!” ucapnya tegas.
“Jangan berakhir, Ka!” isakku.
“Nggak bisa, Sayang… nggak bisa. Arrgghh… aku sayang kamu, Nad… tapi nggak bisa,” ratapnya.
“I love you! I love you Karang! Semoga kamu mendapatkan wanita yang lebih baik dari aku, Ka! Maukah kau berjanji, suatu waktu menemaniku menikmati senja sekali saja bersamaku”
“Iya Sayang. Suatu hari nanti…”
Aku bingung bagaimana aku harus mengatakannya? Aku mencintai Karang. Tapi beberapa hari lagi aku akan menikah dengan Rangga, lelaki yang sebelumnya juga aku cintai.
Aku kembali sendiri dengan duniaku dan kekecewaanku.
***
Karang.
Aku merasakan itu. Detik ini juga.
Tanpa benar-benar berpikir, aku meraih tangan lelaki itu dan mengecupnya pelan. Dia terkejut tapi kemudian tersenyum.
“Ke mana aja, Ka?”
“Nada, kamu bahagia kan?” tanya Karang sambil memegang bahuku lembut. Aku mengangkat kepala dan menatap mata Karang, mata yang selama ini kurindu. Aku tidak bisa menahannya lagi. Seperti bendungan yang akhirnya pecah karena dindingnya yang sudah dipenuhi retak menahun, air mataku pun mengalir kencang dan tak bisa dihentikan. Karang yang panik melihatku tiba-tiba menangis, dengan lembut mengusap air mataku.
Kutolehkan wajahku menatapnya. Ada riak kecil di wajahnya.
“Jangan nangis ya… Tuh, matahari udah mau tenggelam!”
Aku segera menatap langit yang semburat jingga di barat.
Dengan antusias dia berdiri dan menikmati sepuas-puasnya. Tangannya ia lebarkan. Matanya ia pejamkan. Ia menarik napas sangat dalam, dan mengembuskannya tanpa beban, kemudian ia berbalik ke arahku.
“Terima kasih Nad atas semuanya. Tuhan mengabulkan doamu. Dia mengirim bidadari lain untukku. Seminggu lagi aku akan menikah.”
Mataku berkaca-kaca. Tapi aku tahu, aku bahagia. Karena aku merasakan kebahagiaan itu pada Karang. Aku menarik nafas panjang dan memejamkan mata sejenak, memeluk seorang lelaki yang sangat aku cintai, erat, sangat erat sambil terisak. Lelaki itu tetap terdiam, membalas pelukanku namun tak mengeluarkan sepatah kata.
“Terima kasih Karang. Mau menemani aku menikmati senja. Semoga kamu bahagia.”
Suara adzan dari sebuah masjid berkumandang. Senja telah berlalu. Kami akhirnya menikmatinya berdua.
“Semoga kamu dan keluargamu selalu bahagia. Aku akan selalu berdoa untuk itu.”
Karang pergi. Mataku masih tak henti mengantar sosoknya hingga lenyap. Terima kasih Karang.
Tears stream down your face
When you lose something you cannot replace
Tears stream down on your face
And I..
4.5.14
Pulang
Dan kini ku harap ku dimengerti walau sekali saja pelukku
Lagu Peluk dari Dewi Lestari dan Aqi Alexa mengalun lamat-lamat di cafe yang aku datangi itu. Salah satu lagu kesukaanku. Di luar hujan masih turun dengan deras. Entahlah, semacam sebuah konspirasi sempurna terhadap apa yang sedang aku alami, aku rasakan.
Berkali-kali kulihat jam di pergelangan tanganku. 21.00, lewat dua jam dari waktu yang ditentukan. Cappuccino float di gelasku sudah habis. Akankah dia datang atau mengingkarinya? Aku makin gelisah. Menunggu memang hal yang membosankan. Terlebih saat ini.
"Bisa temui aku besok?" pintaku padanya kemarin.
"Kenapa Sayang?" tanyanya. "Kamu kangen?"
Aku tertawa. "Ada yang ingin aku bicarakan."
"Kamu kok ketawa sih? Ga kangen ya? Mau ngomongin apa? Ngomong aja sekarang."
"Aku pengen ketemu langsung."
"Baiklah aku usahakan. Kamu tau sendiri kan, aku sudah tidak bisa lagi sebebas dulu."
"Iya aku tau."
Mereka bilang sebaiknya aku pulang, mereka bilang sebaiknya aku menyelamatkan hatiku, mereka bilang sebaiknya semua ini dihentikan.
Tiada yang tersembunyi, tak perlu mengingkari
Rasa sakitmu, rasa sakitku
Sebuah pesan masuk di handphoneku. Aku membaca nama pengirimnya. Ranu.
"Disini hujan deras. Aku lagi minum cokelat hangat sambil ngeliatin hujan dari balik jendela. Kamu dimana sekarang?"
Seorang lelaki memasuki cafe dengan tergesa-gesa, kemeja birunya sedikit basah. Seorang lelaki yang mengisi hariku tiga tahun belakangan ini.
“Maaf, aku terlambat,” katanya dengan wajah menyesal. Aku tersenyum. Entah, dengannya, aku tak pernah bisa marah.
“It’s okay.”
“Kenapa kamu gak pulang saja? Kenapa kamu masih nungguin aku? Ini udah lewat dua jam loh. Selamatkan hatimu. Kita hentikan semua ini,”
“Pulang? Kemana? Kamu rumahku, bagaimana bisa pulang jika kamu menghilang? Menyelamatkan hati? Hati yang mana? Kamu membawa pergi hatiku, hati yang dengan sepenuhnya telah aku titipkan padamu dengan segala rasa percaya. Bagaimana bisa, jika hatiku ada di kamu? Dihentikan? Iya, bahkan sebelum kamu memintaku berhenti, cerita ini telah terhenti. Sayangnya, rasa ini tidak ikut berhenti. Seharusnya cerita dan apa yang aku rasakan berhenti secara bersamaan. Seharusnya. Itukan maksudmu?”
“Cukup Sayang. Cukup. Aku hanya tidak ingin lagi menyakitimu dengan terus seperti ini.” Dia memelukku. Dan air mataku tumpah di dadanya.
Tiada lagi alasan, inilah kejujuran
Pedih adanya namun ini jawabnya
3.5.14
Gunung
Ini tentang gunung. Tentang dunia kamu sebenarnya. Seorang teman mengajakku ke Rinjani setelah tahun lalu dia sukses berangkat kesana. Jawabanku: pengeeenn. Ya, cuma itu. Bulan kemarin juga temanku yang lain mengajakku ke Semeru. Huff.., dengan jawaban yang sama, pengen. Tanpa mengiyakan.
Kondisi yang tidak memungkinkan membuat aku cukup berangan saja. Kalau tidak ingin sering-sering bertemu dokter langganan. Padahal waktu masih kuliah, aku bagian pecinta alam di kemahasiswaan. Ya boleh percaya boleh tidak. Beruntunglah aku masih pernah menginjakkan kaki di Bromo dan Ijen. Dulu juga waktu SMA, ingin sekali masuk jadi anggota pecinta alam dan langsung dilarang sama ayah. Dan akhirnya ikut ekskul pramuka.
Waktu temanku ke Rinjani, dia rajin live report gitu. Sambil pamer-pamerin foto-foto disana. Yang ke Semeru juga gitu. Yang di rumah ngiler.
Jadi, kapan kamu mau mengajakku seperti mereka? Mengajakku ke puncak... pelaminan, maksudnya. Ups!
2.5.14
Harap
1.5.14
Tak Mungkin Kembali
Cika terdiam, beberapa saat. Kepalanya berat. Perutnya bergejolak dan mual. Ia tidak tahu apa yang diinginkannya sekarang. Kecuali, merasa tenang dan berharap bangun dengan kesadaran bahwa semua hanyalah mimpi buruk.
“Aku lupa dulu mau memberikan CD Coldplay ini.” kata Vino.
Cika menjatuhkan tubuh di kursinya. Diletakkannya CD itu di atas meja dengan sedikit kasar. Lelaki itu benar-benar membuat emosinya berada di ambang batas meledak. Untuk apa Vino melakukan semua ini? Apa yang sebenarnya Vino inginkan darinya? Merayunya? Mengajaknya bernostalgia? Atau sedang membuat lelucon?
Vino cukup bingung melihat wajah Cika sama sekali tidak menunjukkan keramahan. “Maaf kalau CD itu membuat kamu terkejut. Aku hanya ingin meminta maaf. Aku masih menyayangimu.”
“Mulai sekarang, kamu tidak perlu memberikan aku apa pun…,” ujar Cika seraya menahan napas. Seluruh emosinya seakan naik dan berkumpul di ujung lidah. Menatap mata Vino yang terguncang memberikannya sedikit kelegaan. Terkadang seseorang seperti Vino perlu tahu bagaimana rasanya sebuah hantaman keras.
Sesekali Vino sering memikirkan Cika. Sebenarnya, ia yang selalu menghindari memikirkan perempuan itu. Satu atau dua kali, ia pernah ingin menelepon, tapi berubah pikiran. Ia ingin tahu bagaimana keadaan Cika setelah mereka berpisah.
"…Dan kita tidak mungkin kembali lagi seperti dulu." lanjut Cika. Vino memegang kuat-kuat air mineral gelasnya. Ia hampir meremukkan benda itu. Tentu saja ia bukan orang yang benar-benar bodoh. Ia sadar, sangat mustahil bisa kembali seperti dulu, menghindari keinginannya melihat perempuan itu. Matanya berkhianat. Brengsek!
Vino terdiam, matanya kali ini tidak berpaling. Cika gelisah terus berada di sampingnya. Ada yang berdenyut di tubuhnya mengingat masa lalu mereka. Kehadiran Cika beserta kenangannya dalam situasi yang berbeda ini, memberikan efek emosi naik-turun. Sama seperti perasaan yang tumpang-tindih dengan rasa sakit, kecewa, dan sisa amarahnya.
Ketika Cika mengalihkan pandangan, Vino melirik mengawasinya. Rambut panjangnya menyentuh lembut bahunya dan terlihat mengilat terkena cahaya. Kedua tungkainya di bawah rok selututnya bertumpuan, memperlihatkan sikap duduk tenang. Vino ingat, setiap marah, Cika selalu seperti itu. Diam. Tenang. Tidak ingin menunjukkan gejolak amarahnya. Cika selalu membuat Vino hampir gila jika berhadapan dengan dirinya yang seperti itu.
Vino menelan ludah. Ia semula memang merasa bahagia dan berharap baik-baik saja. Baik untuknya, baik untuk Cika. Namun, nasihat selalu ada benarnya, kehilangan merupakan pelajaran terbaik. Semuanya hanya fatamorgana. Dan, sekarang dirinya tak ada beda dengan musafir mencari mata air di gurun pasir yang panas. Butuh waktu panjang menemukannya atau ikut hilang bersama bayangan semu air di kejauhan.
17.4.14
Masih Mengingat Kita?
Aku masih mencintai, meski tidak lagi berusaha membuatmu peduli. Masih memperhatikan meski tidak lagi terlalu terus terang. Masih merindukan perbincangan-perbincangan kita di waktu luang meski setiap hari rindu itu terus berusaha aku kurangkan. Masih otomatis tersenyum begitu saja kapan pun ingatan tentangmu tiba-tiba mengunjugi kepala.
Kamu adalah yang pertama kali teringat dan selalu kuucapkan 'Selamat pagi'. Dan pasti akan kamu balas, "Jangan lupa sarapan ya. Hati-hati di jalan." dan "Yang semangat kerjanya, ya." Kapan pun kamu melakukannya, ada perasaan hangat di dada. Mungkin memang benar apa kata orang, sangat menyenangkan ketika kita diperhatikan.
Atau perbincangan malam. "Aku tidur dulu ya sayang. Ngantuk banget."
"Iya sayangku. I love you. Mimpi indah ya sayang."
"I love you too."
Sesederhana kalimat-kalimat itu yang kita ucapkan setiap malam. Bagai mantra, kini tak mau hilang dari ingatku.
Kemarin, aku mendengar lagu "Thank You for Loving Me" dari Bon Jovi, lalu teringat kamu yang sering menyanyikan lagu itu. Semalam, aku minum kopi hitam hanya karena rindu kamu memarahiku saat aku tak begadang semalaman.
Seperti saat ada seekor kupu-kupu merah yang tiba-tiba datang, entah dari mana ke meja kita. Ia terbang di ujung meja di atas kepalamu. Lalu berputar-putar sebentar.
Momen yang begitu sebentar saat itu. Tidak ada yang memperhatikannya. Hanya aku sendiri. Ia membawa pesan kepadaku, pesan yang akhirnya aku mengerti. Kupu-kupu itu seolah bilang kamu tak selamanya jadi milikku.
Aku ingin kamu tinggal, tentu saja. Tidak ingin kita berpisah, tentu saja. Tapi aku bisa apa?
Banyak yang bertanya tentangmu. Tentang bagaimana kabarmu sekarang, tentang kenapa kamu tidak pernah lagi aku ceritakan. Dia pasti sekarang bahagia bersamamu. Aku tahu ini karena aku mengenalmu.
Kamu, apakah masih mengingat semua ini sebaik aku mengingatnya?
8.4.14
Melebur Ragu
Aku dan semesta pernah mendiskusikan ini, segalanya ramah dan bijaksana memelukku. Meski bola mataku tak lagi dihiasi rupamu, jalanku adalah hal menemukanmu. Doaku adalah rindu yang memanggilmu kembali.
Aku menyimpul jawaban dari diammu. Hanya senyummu yang terukir yang tak mampu kubaca maknanya. benarkah yang kuraba serupa dengan getar hatimu?
Kekasih, aku pernah menitipkan mawar di sela telinga indahmu. Apakah aku pernah memintanya lagi dan menawarkan pada hati yang lain? Tidak. Kala mencintaimu, aku sudah tidak memerlukan lagi sempurna yang terlahir di luar sana. Suara mereka terlalu berisik, aku memilih diam. Semoga kita bertemu pada lamunan masing-masing.
Salahkah bila aku merasa kamu tak peduli? Kadang rasa itu mengayunkan bimbang, mengombang-ambingkan sayang yang begitu besar untukmu. Namun pencarian telah lama usai. Berhenti di titik tawamu. Jatuh tepat di binar matamu. Karena tak ada lagi yang mampu mengubah hati. Seperti apapun kamu tak peduli, aku masih disini. 'Begitu lelah sudah ku harus menepi.'
Tak ada yang salah, hanya aku yang terlalu bermain dengan hatiku sendiri tanpa memberimu kabar tentang cintaku padamu. Aku menyimpannya agar kekal di suatu masa, dimana Tuhan menakdirkan selama untuk kita. Percayalah, aku hanya tegar yang mengabdikan perih. Aku adalah bahagia yang menyembah duka.
Apa senja menyapu wajahmu tanpa telapak tanganku, sedang aku matahari yang mengantarmu terbenam dalam kelambu? Aku terlupa semua teori tentang cinta. Tapi tetap saja cinta adalah perbuatan dan bukan hanya kata-kata. Akan kubiarkan kedua tangan ini tanpa genggam siapapun, hingga 'selama' yang ditakdirkan Tuhan untuk kita menjadi nyata.
Tidak, senja datang hanya menitipkan rindu, tak ubahnya hujan. Pergi dan hilang tanpa mengerti ini akan menyiksaku sangat. Cinta memang perbuatan tapi dia datang menari meliuk di antara huruf per huruf lafadz doa yang kau ucap. Segalanya akan nyata, Kekasih. Meski surga penawar yang nyata sekalipun, tetap 'kita' adalah hal yang aku nanti sebelum kita memasukinya.
Kemarilah, bersamaku menari di bawah deras hujan. Bagaimana bisa aku tidak mencintaimu, Kekasihku? Kamu selalu mampu meredam resahku, melupakan perih yang menyesakkan. Beri aku satu pelukan, larut saja di basahnya, di dadamu.
Aku mencintaimu. Kamu, adalah jalan setelah surga. Sebegitu indahnya.
Ditulis bersama Muhammad Irsyad Al-djaelani
10.2.14
Kepada Laki-laki
Aku menjadi yakin padamu karena kau ragu pada dirimu sendiri
Laki-laki yang layak dipilih adalah yang selalu khawatir tidak layak jadi pilihan
Perempuan yang baik adalah perempuan yang sulit dimengerti
Karena penjagaan dirinya begitu rapih
Aku ceritakan sedikit.
Kau harus mencari tahu lebih banyak.
Kau bingung? Jangan sedih.
Bahkan perempuan seringkali gagal memahami dirinya sendiri
Dari sekian banyak laki-laki, kenapa aku harus memilihmu?
Karena … (aku tak pernah terlalu yakin dengan jawabanku sendiri)
Perempuan menjadi mudah meragu
Karena senang memperhatikan hal-hal kecil
Mengapa laki-lak bisa tampak begitu yakin?
Karena laki-laki lebih sedikit berpikir tentang kemungkinan
**
Perempuan dipilih karena pertimbangan masa lalunya
Laki-laki dipilih karena pertimbangan masa depannya
Hal ini tidak sepenuhnya benar
Karakter seseorang dibentuk dari masa lalunya
Membangun peradaban berdimensi masa depan
Laki-laki mesti berkarakter
Perempuan faktor kunci masa depan
Bagaimana mungkin keduanya dipisahkan?
Perempuan menyenangi lelaki yang mirip ayahnya
Laki-laki menyenangi perempuan yang mirip ibunya
Pastikan keduanya potensial menjadi ayah dan ibu yang baik
Don’t marry a man unless you would be proud to have a son exactly like him.
Marry a woman if you’re sure enough she would make your child says, “I have a great mom.”
**
Hanya perempuan yang boleh menjadi penyebab dari krisis
Laki-laki harus selalu stabil
Perempuan mudah memaafkan
Laki-laki mudah berbuat salah
Karena bagi perempuan, segala sesuatu bisa jadi masalah
Untuk keluar dari krisis
Laki-laki harus lebih berinisiatif
Perempuan menolak lupa pada luka
Laki-laki harus selalu bertanya pada perempuannya, “maumu apa?”
Walaupun pada akhirnya perempuan akan menjawab, “terserah padamu saja.”
Perempuan senang digombali
Meski tahu banyak bohongnya
Fakta bahwa pada dasarnya perempuan bersifat manja adalah kesenangan lelaki
Meski tahu banyak menyusahkannya pasti
Seandainya seorang lelaki harus memilih satu dari dua pilihan :
ketenangan tanpa perempuan atau kesusahan bersama perempuan,
niscaya dia akan rela menerima kesusahan asal bersama perempuan.
(Sabda Rasulullah)
**
Kemampuan laki-laki mendengar lama-kelamaan akan berkurang
Karena terbiasa menghadapi perempuan yang sulit dihentikan saat bicara
Secara sadar perempuan akan menumpulkan kepekaannya
Terbiasa berhadapan dengan laki-laki yang selalu menganggap semuanya baik-baik saja
Meski lelakinya selalu mengagumi setiap hari
Perempuan selalu merasa dirinya tidak cantik
Setidaknya insecure dengan kehadiran perempuan yang lebih cantik
Meski perempuannya selalu menyusahkan setiap hari
Laki-laki selalu merasa dirinya mengecewakan
Setidaknya berpikir perempuannya bisa saja mendapat lelaki yang lebih baik
Diantara semua relasi dunia yang seringkali membuat frustrasi
Orang bilang relasi emotional yang melawan mainstream ini adalah home based
Menuliskan relasi antara keduanya seperti tidak pernah selesai
Relasi paling jauh dan paling luas yang terjadi diantara dua anak manusia
The definition of beautiful woman is a man who loves her.
4.1.14
®asa
segalanya seperti berubah sekarang
penuh harapan tapi banyak kebimbangan
menanti bukanlah masalah waktu
satu hati malah seperti hantu
tidak ada yang menyenangkan selain berharap
mendekati sebegitu nyatanya
kehilangan seolah bukan beban
impian malah tidak terhalang
3.1.14
Tangan
Ada sunyi yang menyenangkan ketika kita duduk berdua, tanganku dalam genggamanmu.
Aku tidak bisa ingat sejak kapan, tapi selalu ada nyaman terselip tiap telapakmu menyentuh telapakku, lalu kita tersenyum.
2.1.14
Refleksi
Pada akhirnya manusia memang benar-benar harus tunduk dan menerima bahwa sekecil apapun segala yang dianggap kebetulan adalah bagian dari rencana Tuhan.
Dan rencana Tuhan selalu merupakan rencana yang terbaik.
Semua hal.
Bahkan hal sekecil pesan bbm yang seringkali tidak sampai. Sekecil listrik yang padam dan tidak bisa mengisi baterai hp. Sekecil segala kealpaan.
Maka ketika pengertian tentang segala skenario Tuhan ini telah sampai kepadamu, mungkin hatimu akan lebih lapang ketika kecewa.
Karena hidup memang tergantung pada pilihan kita untuk memandangnya menggunakan kacamata apa.
Apakah memang memilih untuk menghitung kerugian, atau tidak berhenti mengucap syukur atas segala keberkahan.
1.1.14
Benarkah Itu Cinta?
Lucu bagaimana kamu membiarkan dirimu jatuh ke dalam cinta yang menjadikan kamu bagian dari rencana dari orang yang dicintai untuk balas dendam sama mantannya.
Kamu bukan tertipu, melainkan tidak bisa menempatkan logika di urutan terdepan pada setiap aksimu.
Seseorang yang masih mempunyai keinginan untuk membalas dendam dengan mantannya menunjukan betapa besar rasa sayang yang dia punya. Dan dia tidak mencintai orang yang dia pilih menjadi rencana itu sebesar yang kamu harapkan.
Sekali lagi, dua roda karma berputar pada porosnya. Satu untuk memindahkan posisi kamu, satu lagi untuk mengangkat dia pada keadaan yang dia harapkan.



.jpg)
.jpg)
.jpg)
