Aku melihat lagi kotak biru berisi scarf yang akan kuberikan untuknya. Aku tersenyum, membayangkan scarf itu melilit di lehernya. Itu akan terlihat bagus sekaligus menghangatkannya.
“Tadi aku makan sendiri di tempat biasa,” katanya waktu itu.
“Di angkringan biasanya?” tanyaku.
“Iya. Tiba-tiba yang punya angkringan ngasih sesuatu.”
“Apaan?”
“Scarfku.” Dia tertawa. “Pantesan aku cari di kamar gak ada, ternyata ketinggalan di sana.”
“Huu..., dasar teledor.”
Dia kembali tertawa.
Malam ini, aku ingin memberikan dia kejutan dengan datang ke kafe, tempat dia dan bandnya tampil tiap minggu. Tak lagi kurasakan lelah karena perjalanan jauh dari Malang ke Yogya.
Dia pasti senang dan terkejut melihatku di sini sekarang. Aku memang sengaja tak memberitahunya terlebih dahulu.
“Maaf, Mbak, meja ini sudah dipesan orang.” Pelayan berbaju hitam putih itu memberi tahuku.
Ah, sial! Batinku. Padahal ini tempat paling strategis untuk melihat penampilannya di panggung. “Memangnya nggak bisa diatur supaya aku bisa duduk di meja itu?”
Pelayan itu menggeleng. Seorang perempuan sexy datang dan duduk di meja itu ketika aku melihat-lihat buku menu yang diberikan si pelayan restoran, “Mau pesan apa, Mbak?” tanyanya.
Seorang laki-laki menghampiri perempuan sexy itu. Seorang laki-laki yang aku kenal setahun belakangan ini. Firman, dia masih tetap saja tampan seperti pertemuan pertama kita waktu itu di restoran ini.
“Halo, sudah lama nunggunya?”
“Oh, nggak kok. Aku baru saja datang.” Perempuan itu membetulkan rok mininya. Mau apa dia dengan perempuan itu?
Kafe makin ramai dengan suara musik. Aku tidak bisa mendengar lagi apa yang mereka berdua perbincangkan. Aku bergerak mendekati mereka berdua. Firman, lelaki yang mengisi hari-hariku belakangan ini, kini telah berpindah tempat ke pelukan perempuan sexy itu. Dan mereka mulai berciuman.
Praang!! Tak sengaja aku menyenggol gelas di meja di dekat mereka. Dan kotak biru yang kupegang pun terjatuh.
“Dian?!” Firman menoleh ke arahku. Aku bagai mematung kaku masih berdiri tegak di tempat sambil menatap mereka berdua.
“Kapan kamu datang?” Aku diam saja dan mulai mundur dan berjalan cepat meninggalkan tempat itu.
“Dian tunggu...” Firman berhasil menarik tanganku dan membuatku berhenti berjalan.
Oke Dian, jangan berbuat tolol, bentak sebuah suara di kepalaku. Jangan terlihat lemah! Jangan menangis!
“Apa lagi?”
“Aku mau bilang, tapi terlalu membingungkan.” Dia masih menggenggam tanganku.
“Maksudnya? Aku gak ngerti.” Air mata mulai menggenangi mataku. Ah, dia mengkhianati otakku.
“Iya, emang gak bisa dimengerti.”
“Jelasin...” Pintaku.
“Maaf. Speechless. Maaf, aku yang salah.”
“Trus?”
“Aku ga mau menyesal karena pilihanku. Sebaliknya dan sebaiknya kamu pun begitu. Tapi dari awal hati sebenarnya sudah memilih apa yang tepat buat diri. Tidak memilihmu adalah kesalahan. Aku tau itu.” Firman menunduk. “Dian, intinya adalah aku tau aku salah. Aku minta maaf. Kita emang jarang ketemu. Tapi aku yakin, kamu dan aku ‘dekat’. Tapi jarak, Dian. Jarak. Logika emang bikin orang justru malah melakukan kesalahan.”
“Lagi-lagi aku dikalahkan oleh jarak. Ditampar dan dijatuhkan begitu hebat.” Air mataku mulai jatuh membasahi pipiku. “Aku hanya terlanjur sayang sama kamu. Bahkan walau kita jarang ketemu. Aku juga ga tau kenapa begitu. Dan salahku sendiri memupuk harapan dan mimpi itu.”
“Maaf. Aku udah buat keputusan yang salah. Aku ga mau memberi harapan sama kamu.”
“Ijinkan aku ngomong ini untuk yang pertama dan terakhir. Aku sayang kamu, Firman. Maaf.”
“Aku ga mau mengakui perasaanku sama kamu. Karena aku ga mau memberi harapan, ga mau berjanji. Harapan, janji, biar jadi punyaku sendiri. Hanya aku dan Tuhan yang tahu.”
“Aku ga nyuruh kamu mengakui apapun. Aku hanya ingin ngungkapin apa yang aku rasain. Itu aja. Aku ga mau nyesel.”
"Aku udah buat kesalahan. Aku tau itu dan tetap aku lakukan.”
“Kamu ga salah apa-apa kok. Mulai saat ini aku juga udah berhenti berharap. Kenal kamu aja udah bikin aku bahagia. Makasih kamu yang selalu membuat aku tersenyum. Boleh minta pelukan terakhir?” Dia memelukku erat.
“Maaf. Selalu ada jalan buat yang berusaha. Bahkan aku ga berusaha memenangkanmu. Maaf.”
Hujan mulai menetes rintik demi rintik, tetes-tetes bening mulai membasahi rumput dan tubuh kami berdua. Dan kurasakan nyeri di hatiku.