30.6.15

Perbatasan Cinta


lelah kucari
sampai diri terdiam sepi
hanya mencari perbatasan hati
tuk meratapi semua kekeliruan ini

dimana ada cinta terpasung sunyi
berharap diri kembali bersari
bersama dikau pujaan hati
sampai rindu ini mekar kembali

29.6.15

Tidak Pakai Saos


Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku lebih suka segala sesuatu dibiarkan apa adanya. Pikiran ini melintas ketika orang di sebelahku menambahkan banyak kecap dan sambal di mangkok baksonya, sementara aku tidak menambahkan apa-apa di piring siomayku.

Mungkin begitulah caraku juga memandang dan menjalani kehidupan ini. Aku lebih suka menjalani sesuatu sebagaimana adanya.

Mungkin karena aku bukan orang yang terlalu ambisius, aku kurang suka mengambil risiko, atau mungkin juga karena aku mudah bersyukur? Nggak taulah, yang pasti aku menikmati setiap potongan siomay ini sampai habis walau tanpa tambahan apapun. Bukankah sebaiknya juga kita menjalani kehidupan secara demikian? Mereguk apa saja yang Sang Pemberi Hidup sodorkan kepada kita, menikmati pahit manisnya, tanpa repot menambahkan ini itu yang pada akhirnya malah membuat hidup kehilangan maknanya. Atau justru menambah warnanya?

28.6.15

Sebenarnya Apa Maumu?


Entah harus kumulai dari mana. Semakin ke sini aku semakin tidak mengerti denganmu. Sebenarnya kamu kenapa? Apakah aku telah berbuat salah? Kenapa tidak kau katakan saja? Lalu semuanya selesai. Sulitkah mengatakan keadaan yang sebenarnya?

Kenapa sekarang sering mengabaikan pesanku? Kamu mau pergi dari hidupku? Tolong katakan, sebenarnya apa maumu? Kamu bilang, kamu sayang aku. Terus sekarang mau pergi begitu saja dari hidupku? Ataukah ada perempuan lain yang kini kau cintai. Ah, aku hanya ingin kamu mengatakannya. Aku tidak akan marah. Tapi jangan membuatku berpikir seperti ini.

Kepada kamu yang membuat aku bingung,

Huu.., dasar Gemini. Pokoknya aku tidak mau lagi kamu cuekin. Aku kan tidak pernah cuekin kamu. Kamu sadar tidak sih, aku tidak mau kehilangan kamu. Setelah baca ini, kamu jangan lupa makan malam ya. Jangan telat. Pulangnya nanti jangan malam-malam. Jangan mampir kemana-mana.

Awas, kalau kamu bikin aku mikir lagi. Nanti aku bikinin kamu surat cinta lagi. Mau?

27.6.15

Untuk Sebuah Rasa


Entah, apa itu namanya. Aku jadi berkhayal kamu benar-benar datang ke kotaku. Dan aku menunggu kedatanganmu di stasiun. Apakah itu berlebihan? Aku tak pernah bermaksud membuatmu terbang berangan-angan. Aku hanya mengungkapkan apa yang aku rasakan. Itu saja.

Kamu mencari semua data tentang aku di Google? Sepenting itukah aku buatmu? Untuk sebuah panggilan, kamu boleh memanggilku apa saja. Nantinya kamu pasti akan menemukan sendiri, panggilan apa yang tepat untukku.

Untuk sebuah rasa, apa pun itu, tak perlu terlalu dipikirkan. Biarkan semua mengalir begitu saja. Cukup rasakan. Bila tak kuasa, kau bisa menuliskannya. Ssst! Sudah, tak perlu banyak kata, bisikkan saja rasamu dalam diam, jadikan aku pemiliknya, biar tak seorangpun tahu apa yang kita rasa.

Kapan kamu benar-benar datang ke sini? Jangan hanya muncul di mimpiku ya? Karena aku lebih sering menunggumu di depan pintu rumahku.

Tapi sudahlah, jangan biarkan aku menumpuk nyali, atau bahkan membiarkan rasa menjadi tumbuh dengan tak tahu diri. Kamu tahu? Hubungan dengan jarak sudah sangat meresahkan, tapi yang paling menyakitkan, adalah hubungan tanpa rasa dan nyali. Mengerikan! Aku memiliki ketiganya, dan kini dengan kamu berada di tengahnya.

26.6.15

Who Cares?


“Who cares when I’m hurt?”

Pertanyaan yang sering terlintas di hati ketika merasa kecewa atau dikecewakan oleh seseorang yang menjadi harapan hati.

“Allah cares about you, don’t be sad ya. Remember Allah always beside you when you feel sadness alone and keep your loyality to Allah.”

25.6.15

Aku Tunggu Kamu Pulang


Sayang, sudah malam, kenapa kamu belum pulang?

Ketuklah pintu rumah, aku menunggumu di dalam. Lampu masih kunyalakan, aku tak ingin ketiduran.

Sayang, pulanglah, kamu masih membawa kunci cadangan kan?

Sayang, ini sudah malam, pulanglah, roboh dalam pangkuanku, berpeluk dalam selimut hangat.

Sayang aku akan bukakan pintu, aku ingin menghambur dalam pelukmu.

Sayang, aku tak lagi marah…

Sayang, sudah larut, jangan menyetir dalam marah.

Sayang, sudah…jangan marah, aku tunggu kamu pulang.

Sayang, kabut turun perlahan, aku takut di rumah sendirian.

Jangan marah, aku tunggu kamu pulang, air hangat sudah ku siapkan, tungku perapian telah ku nyalakan, begitu juga kopi dan makanan kesukaanmu.

Sayang, jangan larut dalam amarah, aku tunggu kamu pulang.

24.6.15

Ajari Aku


Ajari aku untuk selalu bersyukur ya Rabb, ajari aku untuk selalu berdamai dengan setiap takdirMu. Ridhoi serta istiqomahkan hatiku untuk selalu berada dekat denganMu. Sabar akan berbuah manis, aku percaya itu.

23.6.15

Kita Mencintai Lelaki yang Sama, Ma


Apa kabar Ma? Sebenarnya sejak lama aku ingin ngobrol sama Mama. Tentang apa saja. Terutama tentang lelaki itu, yang sama-sama kita cintai.

Aku masih ingat pertama kali telepon Mama. Waktu itu dia sedang sakit demam berdarah, di rumah sakit. Aku panik. Berhari-hari dia mengeluh badannya demam. Aku di sini tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya menemaninya dan menyarankannya ini itu. Jujur, aku sama sekali tidak tenang. Ya, tapi aku bisa apa? Selain berdoa untuk kesembuhannya. Aku sayang dia, Ma. Aku merasakan sakit yang dia rasa.

Sampai akhirnya dia masuk rumah sakit. Dan aku sulit menghubunginya. Aku bingung. Aku tidak tahu lagi harus menanyakan kabarnya kepada siapa. Lalu aku memberanikan diri menelpon Mama. Telepon pertama, tidak diangkat. Lalu ada pesan singkat dari Mama. Mama nanya aku siapa. Aku telpon Mama lagi. Diangkat. Akhirnya untuk pertama kali kita ngobrol. Tentang dia. Kesehatannya.

Aku banyak mendengar tentang Mama dari dia. Aku kagum sama Mama. Aku juga kagum sama dia, lelaki yang mencintai ibunya dengan baik. Tidak banyak anak lelaki seperti itu, Ma. Mama tidak usah meragukan dia ya, Ma.

Kadang aku berkhayal, seperti apa rasanya jadi menantu Mama. Kata dia, pasti aku akan bahagia. Karena Mama sangat ingin punya anak perempuan. Dia juga bilang, aku pasti cocok sama Mama. Karena aku anak yang baik dan Mama juga bukan ibu yang rewel sama anak-anaknya.

Sampai akhirnya, apa yang harus terjadi akhirnya terjadi. Mama meminta aku menjauhinya. Aku tahu cinta Mama untuknya lebih besar daripada cintaku padanya. Aku mengalah untuk Mama. Meski dia pernah berkata "Seandainya tidak ada yang namanya durhaka, pasti aku ninggalin Mama buat kamu." Aku tahu diri, Ma. Aku jawab kata-katanya, "Jangan pernah ninggalin Mama. Karena selamanya surga berada di bawah telapak kaki ibu."

Lalu suatu hari dia bilang kalau Mama berandai aku ada di sana, Mama pasti memilihku untuk dia. Tapi sudahlah, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan kan? Aku masih mencintai dia, Ma. Meski cintaku tak sebesar cinta Mama.

Mama, seandainya suatu hari aku ke kota Mama. Aku masih boleh kan bertemu Mama. Boleh aku peluk Mama? Semoga Mama selalu diberi kesehatan dan kebahagiaan, bersama anak-anak Mama dan cucu-cucu Mama nantinya.

21.6.15

Rindu


‘Rindu' ku baca berulang-ulang hingga satu-persatu nyawa tentang kamu berputar-putar. Ku pikir aku lupa, nyatanya aku tengah menikmati luka.

Entah emosi yang bagaimana tengah menyeruak pelan tanpa pelampiasan, rasanya aku ingin berteriak kencang pada sosok yang menyiksaku dengan rindu. Pada sosok yang menjadi tudingan atas aksara-aksara yang ku buat.

Aku tidak tahu, masih belum tahu tepatnya, apa rindu ini akan berubah menjadi rasa bernama cinta, sayang, atau apapun itu, atau mungkin saja nantinya akan menjadi kebosanan tergerus waktu. Yang jelas, sekarang ini, aku rindu!

Tidak tahu juga kenapa, ku pikir tidak semua rindu pantas diutarakan, tidak seperti rasa bernama sayang dan cinta yang layak dan sudah seharusnya disampaikan. Atau aku hanya sekali lagi sedang menjadi pengecut, atau aku sedang dikuasai gengsi tak stabil? Ya! Aku menjadi labil! Aku ingin kamu yang secara sederhana, tidak usah basa-basi, menyatakan rindu.

Tapi, seperti rasa bernama cinta atau sayang, rindu juga tak harus berbalas, terlebih kamu yang seperti udara, ada di mana-mana, yang ku hirup, inginnya banyak-banyak agar memenuhi paru-paruku, tapi aku terlalu serakah, jadinya malah sesak.

Aku menyiksa diri.

Aku tahu kamu tahu, karena ada nada berbalas rayu dalam aksara yang entah iseng, bercanda atau sungguh-sungguh. Kan kamu tahu, aku tidak tahu kamu! Aku tidak mengenal kamu. Kamu juga tahu, kumpulan aksara itu abstrak dan ambigu, sedikit ditimpali rasa, seolah itu menjadi desiran yang berbisik, “itu kamu…, itu aku…”.

Bodohnya, aku menebak-nebak kamu. Menempatkan kamu dalam satu kotak tak berkunci, merayu genit minta dijamah. Terakhir kali ku buka, aku dikutuk merindumu. Kalau nekat ku buka lagi? Apa aku akan mati dipasung rindu?

Aku rindu kamu, tapi tidak berani menabung rasa. Aku tidak pernah kehilangan kamu, karena kamu memang tidak pernah ku miliki.

20.6.15

Alhamdulillah


Dikaruniai seseorang yang istimewa untuk berbagi. Diberkahi kasih yang tumbuh setiap hari. Alhamdulillah, wahai Engkau yang Maha Pemurah.

19.6.15

Bangunkan Aku


"Bangunkan aku pukul tujuh."

Kubaca lagi pesan singkat yang dikirimkan Radit semalam. Dia minta aku menelpon untuk membangunkannya. Aku tersenyum. Ah, dia tidak tahu, aku sekarang sudah ada di depan rumahnya. Pukul tujuh kurang lima belas menit. Kemarin aku pura-pura tidak jadi berangkat ke Jakarta menemuinya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kagetnya dia.

Aku menekan bel di samping pintu. Dadaku berdebar tak menentu. Lama aku tidak melihat Radit. Dua minggu. Bermalam-malam aku dibayangi wajah lelaki itu. Rindu. Dan rindu membuatku tak nyaman.

Berkali kutekan bel tapi belum juga ada respon. Pasti dia masih nyenyak tidur. Aku mengintip lewat jendela, tetapi sayangnya tertutup tirai. Aku kembali menunggu di depan pintu seraya menebak-nebak, apa yang sedang dilakukan Radit, lalu menarik napas dalam mendengar kunci pintu diputar.

Daun pintu dibuka, dan Radit muncul di sana. Lelaki itu nampak terkejut mendapati siapa tamunya. Ekspresinya kosong. Beku. Aku tidak kalah terkejut. Tubuhku seakan merekat kuat pada lantai yang kupijak, tidak bisa bergerak. Penampilan lelaki itu sangat berantakan.

"Surprise!!"

"Dara!" Radit masih tercengang.

"Bangun, Sayang. Sudah pukul tujuh."

"Aku nggak sedang bermimpi kan?"

"Mimpi nggak ya?" Aku mencubit lengannya.

"Aduuh..., sakit...," Wajahnya meringis.

"Sakit ya? Berarti bukan mimpi."

"Papa!" Luna berlari menghampiri lelaki itu. Mata mungilnya langsung melebar senang melihat kehadiranku di sana. "Bu bidan!"

"Halo, Luna!" Aku mengusap sekilas rambut anak itu.

"Masuk yuk." Radit melebarkan pintu agar aku masuk.

Aku langsung masuk ke dalam. "Mau aku buatin nasi goreng?"

Radit tersenyum senang. "Kalau kamu nggak keberatan."

"Oke!" Aku mengusap rambut Luna di sampingku. "Luna mau bantu Bu bidan buat nasi goreng?"

"Mau!" Luna tersenyum penuh semangat.

Tingtong!!

Suara bel rumah berbunyi. Radit bergegas menuju pintu. Siapa ya tamu sepagi ini? Penasaran, aku mengintip dari dapur.

"Radit! Katanya minta dibangunin pukul tujuh?" Seorang perempuan muncul dari balik pintu.

Siapa dia? Berapa perempuan yang dia minta untuk membangunkannya pukul tujuh?

18.6.15

Hasil atau Proses?


"Perjalanan ini terasa sangat melelahkan. Ingin sekali rasanya berada pada suatu titik dimana ku dapat menikmati hasil dari perjalanan panjang ini."

"Perjalanan ini proses dalam menikmati hasil yang kita inginkan, nikmati saja. Karena yang dinilai prosesnya bukan hasilnya."

"Which one is the most important process or result?"

"Proses. Hasil hanya reward dari proses yang kita jalani."

"Makasih ya. That's gonna be good guidance for me."

17.6.15

Cinta Itu Candu


Bagaimana harimu berjalan saat ini? Masihkah sesuai seperti yang kamu inginkan? Semoga seperti itu.

Cinta memang tak pernah ada habisnya untuk dibahas. Selalu menarik untuk siapa saja. Untuk yang sedang jatuh cinta, patah hati atau pun sedang tidak merasakan apa-apa.

Aku pernah jatuh cinta sebelumnya. Rasanya seperti narkotika. Mula-mula mendatangkan euforia penyerahan diri, lalu berikutnya kau menginginkan lebih banyak. Kau belum kecanduan, tapi kau menyukai sensasinya dan kau masih bisa mengendalikan semuanya. Kau memikirkan orang yang kau cintai selama dua menit dan melupakannya selama tiga jam.Tapi kemudian kau terbiasa dengan orang itu, dan mulai bergantung sepenuhnya pada mereka. Sekarang kamu memikirkannya tiga jam dan melupakannya selama dua menit. Kalau ia tak ada, kau merasa seperti pecandu yang selalu membutuhkan morfin. Dan seperti halnya pecandu yang akan mencuri dan mempermalukan diri sendiri demi memenuhi kebutuhan mereka. Kau pun bersedia melakukan apa saja demi cinta.

Mungkin seperti itulah 'perjalanan penyakit' cinta terjadi. Terus berada pada proses mencari. Hingga menemukan seseorang yang disebut pasangan jiwa. Kita begitu mudah belajar jatuh cinta, kita belajar rindu, tapi sayangnya kita banyak membolos pelajaran terluka, lupa bagaimana cara menjahit luka. Bukankan terkadang, cinta dan kehilangan berjalan beriringan?

16.6.15

Bukan Balasan


Tak mampu aku bermusyawarah dengan ketulusan rasa yang memuai, menghinggapi cermin retakku.

Ada benteng yang teramat kuat di dalamnya terikat janji suci, yang tak mungkin aku mencakarnya hanya karena seikat gumamku yang mendemam dan menggigil sehebat cinta.

Ada tangis yang selalu bisa aku mengerti di perasaanmu, namun tak pernah bisa aku pahami tawamu yang menggelayut di akar hatiku yang tandus.

Aku cermin yang retak, yang tak mungkin kamu mengumpulkan puing-puing bayanganmu menjadi sebuah istana yang megah.

Jika aku adalah tanya, tak perlu menjawabnya dengan sebuah perahu, cukup satu, kenang aku di dalam sedihmu, sebab tawa akan lenyap ditelan waktu.

15.6.15

Menanti Lamaran


Jani

Suatu sudut kafe, pertengahan 2013

"Aku pasti datang," ucapmu saat itu, meyakinkanku. "Tunggu aku, di sini setahun yang akan datang."

Dua jam sudah aku menunggu, di sudut teras kafe, tempat terakhir kita bertemu. "Kita masih selalu melihat langit yang sama kan," katamu waktu itu. Aku menatap langit yang sendu.

"Ah, mungkin kau sudah lupa..." batinku. Hatiku mencelos.

"Jani?" Sebuah suara membuyarkan lamunan.

"Jamal, teman Ian," seraya mengulurkan tangannya. "Ia banyak cerita tentangmu."

"Dia..."

Mendadak rasa cemas menghinggapi hatiku.

"Aku... datang memenuhi pesan terakhirnya," ujarnya sambil mengulurkan surat dan sebuah kotak padaku. "Dia titipkan ini sebelum meninggal. Cincin itu ingin ia sematkan sebagai kejutan hari ini, seperti janjinya padamu."

Air mataku luruh.

"Maafkan, aku sempat meragukanmu. Ternyata kau tak pernah lupa," bisikku lirih.

14.6.15

Berjuang Itu Selamanya


"Banyak hal yang harus aku lakukan selain nelpon," katamu sebelum menutup telpon.

Aku hanya mampu terdiam. Tak ada lagi kata yang bisa aku ucapkan. Bunyi dari seberang masih 'tut tut tut'. Lama, sampai akhirnya aku tersadar dan menekan tombol merah di ponselku.

Apa ini? Aku tersenyum. Perih? Ya. Terlalu getir menusukku dalam-dalam sampai ke rongga jantung. Mungkin yang semua orang menamainya dengan panggilan "kenyataan" itu ini ya? Aku tak pernah tahu nama lengkapnya. Yang jelas dia selalu dikaitkan dengan pahit. Tapi kenyataannya sedikitpun tak ada yang berubah dari rasa yang telah tertanam di hatiku. Sejak ia ada disana, lalu tumbuh semakin besar dan semakin besar.

Aku pernah katakan padamu saat itu, "Kamu membuat hatiku sesak."

"Kenapa? Kok bisa gitu?" tanyamu.

"Karena sekarang di hatiku cuma ada kamu yang memenuhinya dan ga ada tempat buat orang lain untuk berada disana."

Kamu tersenyum. Entah kamu anggap itu kata-kata manis atau apa. Tapi seperti itulah yang sebenarnya terasa.

Mungkin kini kamu bosan mendengar pertanyaan-pertanyaanku yang timbul dari sikapmu. Maaf, aku hanya ingin menjadi hujan yang menyejukkan bumimu. Bukan tornado yang memporak-porandakan damaimu.

Satu hal yang aku ingin sadari, setiap orang punya cara masing-masing untuk mencintai pasangannya. Dan aku tahu, meski tak lagi sama, kamu mencintaiku dengan hal-hal yang ahh..., kadang membuatku jengah.

Kamu bilang kamu tak akan berhenti berjuang sampai mendapatkanku. Mungkin seharusnya berjuang itu selamanya. Bahkan setelah kamu mendapatkanku. Justru ini perjuangan yang lebih berat, mempertahankan 'kita'. Dulu, kamu bisa membuat aku yang hanya menganggapmu teman biasa menjadi seseorang yang jatuh pada cintamu meski tak mudah. Tak ingin lagikah kamu mengiringiku menuju sebuah pintu? Entah itu pintu yang sama dengan yang akan kau masuki atau pintu yang berbeda dengan pintumu.

Kini aku bertanya kepada Tuhan, apakah ini intro yang tak pernah usai atau sekedar jeda yang merengkuhmu tanpa rasa?

13.6.15

Apa Sih yang Nggak Boleh?


Yudhis

Hari ini adalah hari yang penting untukku, Dara akan datang. Ternyata seperti ini rasanya berbeda kota, aku merasa rindu yang teramat sangat padanya.

Ini pertemuan kami setelah sebulan tak bertemu. Dan hari ini pun hari ulang tahun Dara.

Aku siapkan semua, rambutku sudah dipotong, rumahku aku beri pengharum, tak mau sang kekasih mencium aroma yang tak nyaman. Disapu dan dipel lantainya sampai berkali-kali. Aku pun sudah siap-siap memasak nasi goreng kesukaan kami berdua dan ada donat bertuliskan "Happy B'day" kesukaan Dara.

“Aku di jalan, sekitar lima jam lagi kakiku menapak kotamu.”

Itu pesan dari Dara, kekasihku yang muncul di telepon selulerku. Dan aku pun membalas.

“Bisa kamu suruh masinisnya lebih cepat memacu keretanya?”

Dara membalas, “Sebentar, ada Ibu mengirim pesan. Aku hubungi Ibu dulu, nanti aku kabari.”

Aku tak sabar menunggu waktu lima jam. Bagiku, lima jam yang aku rasakan sekarang lebih lama dari sebulan yang telah aku lalui.

Ada pesan lagi, dari Dara.

“Aku harus kembali ke rumah, Ibu bilang ada hal penting di rumah dan aku harus ada di sana. Aku turun di stasiun berikutnya dan naik kereta kembali ke Jember. Nggak apa-apa kan?”

Aku lemas. Hilanglah sudah semua anganku menghabiskan waktu berdua dengannya. Dengan segan aku membalas pesan singkatnya.

"Nggak apa-apa, Cantik. Untuk kamu, apa sih yang nggak boleh?"

12.6.15

Keinginan Sederhana


Malam ini aku rindu sekali sama kamu. Mungkin kamu bosan mendengarnya. Tapi aku mengatakan apa yang aku rasakan dan apa yang tidak bisa lagi aku pendam sendiri. Kadang aku hanya bisa menuliskannya. Kadang aku meluapkannya pada sujudku. Menguraikan apa yang aku rasa padaNya.

Kata orang, awal kita jatuh cinta kepada seseorang itu sangat indah, tidak ada sedikitpun luka, maka dari itu aku ingin selalu jatuh cinta kepada kamu setiap hari, agar aku tidak merasakan luka, agar aku selalu bisa merasakan puncak dimana aku merasa mencintai seseorang dengan sungguh.

Kamu dikirim untuk sekedar berbagi tawa dan cerita sederhana tentang cinta yang kandas, dan cinta yang sedang berjalan di tempat. Lalu kamu mendalami lebih dalam tentang omongan bersifat pribadi, kadang nakal, kadang kekanakan dan penuh mimpi. Mimpi yang sama sekali kita sendiri tidak berani mengharapkan mimpi itu sempat terjadi atau akan benar terjadi.

Darimu aku belajar lebih lagi tentang kesabaran. Belajar sabar menghadapimu. Belajar sabar menunggu kabarmu. Belajar sabar menahan rindu. Belajar sabar menerima kamu sebagai kamu. Itu pelajaran paling penting yang aku dapat dari kamu. Yang mungkin kamu sendiri pun tidak menyadarinya.

Sekarang setelah waktu berjalan, aku ingin kamu tetap seperti dulu. Bukankah hidup memang tak pernah datar? Aku ada. Paling tidak untuk mendengar semua keluhmu. Jangan pernah menyerah pada keadaan yang membuat lututmu tertekuk. Justru itulah saat terbaikmu menyampaikan doa. Mereka bilang seperti itu. Eh, kenapa jadi nasehatin kamu ya? Haha.

Ingin sekali jadi seseorang yang diam tidak apa-apa saat terbelah jadi berapa. Lalu kembali mampu menyusun runtuhan, bekas dentuman kesakitan. Benar-benar ingin menjadi orang yang sabar dan percaya, jantungku tidak akan berhenti berdebar, sebelum Tuhan memberi kabar.

Kita itu memang punya banyak perbedaan ya. Termasuk bagaimana cara kita menghadapi suatu masalah. Tapi itu bukan masalah kan buat kita? Cukuplah kita punya cinta yang sama untuk menyatukannya. Dan aku akan sabar menunggu waktu ketika kita menikmati kopi panas kita berdua sambil menatap tetes-tetes hujan yang jatuh ke bumi.

Aku ingin rindumu nanti membawamu pulang, ke tempat kisah cinta selalu kubacakan, roman-roman picisan. Dan malam ini aku hanya punya satu keinginan sederhana. Kamu menjawab "I miss you, too," saat aku mengatakan "I miss you." Hanya itu. Lalu aku akan bisa tidur dengan nyenyak.

11.6.15

Jangan Lagi Bicara Perpisahan


Aku heran, kenapa kamu suka berbicara tentang perpisahan. Buat aku perpisahan itu menyakitkan. Selamanya tetap begitu. Meskipun disetting dengan sebaik mungkin. Tetap saja sakit. Bukankah itu identik dengan kehilangan? Ketika kita sudah terbiasa dengan adanya sesuatu atau seseorang, lalu tiba-tiba dia pergi. Itu seperti keping-keping puzzle yang sudah mengutuh, lalu dipaksa terberai. Tak hanya itu, ketika kita menyusunnya lagi satu persatu, ada keping yang tak lagi kita temukan.

Aku rasa, kamu tak pernah benar-benar merasakan bagaimana sakitnya perpisahan. Karena kamu tak pernah benar-benar mengenal cinta dengan baik. Maaf, ini hanya perkiraanku saja. Kalau salah jangan marah ya. Kamu sudah pernah ditinggalkan dalam keadaan masih cinta dan mati-matian menanggung rasa sendiri? Sudah pernah disuruh pergi padahal kamu sayang sekali sama dia dan sebenarnya dia juga sayang sama kamu? Kalau belum, pantaslah kalau kamu tidak terlalu bermasalah dengan perpisahan.

Maaf, aku belum mengenalmu dengan baik. Tapi kamu pandai memainkan kata-kata. Jadi wajar perempuan-perempuan itu meleleh mendengar dan membaca rayuanmu. Tolong, jangan pernah memberikan harapan palsu. Kasihan mereka.

Tadi kamu bilang hatimu telah hilang separuh, mencair disentuh deras kata-kataku? Hmm..., lalu apa yang harus aku lakukan untuk membuat hatimu kembali utuh? Jangan biarkan rasa bersalahku membesar. Kata orang, aku begitu mudah mengiba, tak ingin orang lain tersakiti. Rasa ibaku membuat mereka memanfaatkanku. Tolong jangan lakukan itu padaku.

Semoga senjamu indah. Meski hujan masih deras mengguyur bumi. Meski tak ada pelangi setelahnya.

10.6.15

Khawatir



Aku khawatir, jika ia tahu aku merindukannya, ia tidak akan mau tahu lagi tentang aku. Tetapi aku juga takut. Saat ia tidak tahu bahwa aku merindukannya, ia pikir aku sedang menipunya.

9.6.15

H.A.T.I



Dear the unbreakable part of my body, the heart!

Apa kabar malam ini? Merasa lebih baik? Ah, aku salah bertanya, kamu baru saja berduka. Iya aku tahu, kehilangan bukanlah suatu hal yang mudah untuk diikhlaskan, tapi aku tahu kamu bisa bertahan. Kamu pasti bisa melewati ini semua. Iya aku tahu, kamu selalu bisa kuandalkan. Yah sudahlah lepaskan. Kamu pasti tidak ingin terus disakiti kan. Iya, aku tahu kamu sangat butuh dicintai, tapi mungkin bukan dia orangnya. Sudah ikhlaskan.

Jangan jatuh lagi. Alhamdulillah, dia pernah hadir di hidupmu. Aku tahu kamu selalu melonjak kegirangan setiap melihat dia menyebut namamu. Aku tahu itu. Tapi aku mohon, berhenti berharap ya! Kasihanilah dirimu sendiri, kasihanilah aku. Sabarlah, jangan jatuh sampai kedua kalinya.

Aku tahu, kamu kesepian. Aku sungguh tahu itu. Tapi kamu hebat sudah mampu berjalan sejauh ini sendirian. Hey, kamu punya Tuhan. Kamu masih punya teman-teman yang bisa diandalkan. Kamu masih punya aku. Aku akan menjagamu supaya tetap aman. Percaya padaku.

Aku rasa sekarang ini kamu lebih baik kosong dahulu. Entahlah, otakku terasa ringan jika kamu juga tidak sibuk mengurus perasaan. Sudahlah, ketika tiba saatnya, otakku ini akan memberikan sinyal kapan kamu bisa mulai bekerja. Otakku akan lebih berhati-hati menentukan mana yang terbaik untukmu. Tapi aku mohon, kamu jangan mati dulu. Kamu harus selalu kuat.

Aku kunci dulu kau sementara waktu ini. Air mata sungguh merasa lelah, begitulah kira-kira dia berkata padaku. Rasakan saja kehadiran Tuhan. Dia sudah cukup mengisi lubang hampa hatimu. Dia yang mengobati setiap goresan, merekatkan setiap retakan. Dia yang akan menyembuhkan luka-lukamu, dan akhirnya menjadikanmu semakin tangguh tapi tetap rendah hati.

Kaulah andalanku. Kumohon bertahanlah! Karena memiliki hati sepertimu sesungguhnya adalah keajaiban terbesar dalam hidupku. Aku sayang padamu.

Terima kasih ‘hati’-ku. Terima kasih atas kesetianmu. Terima kasih kau tak pernah mati untuk meninggalkanku sendiri.

8.6.15

Kubisikkan Sesuatu di Telingamu



Tahukah kamu apakah kebahagiaan itu? Ketika aku melihat senyummu yang berkembang karenaku.

Tahukah kamu apakah kebahagiaan itu? Ketika kau berkata, "Aku akan di sini bersamamu, apa pun yang terjadi di antara kita."

Sekarang ceritakan padaku, apa yang membuatmu bahagia.

“Seperti ini. Seperti sekarang ini. Meluangkan waktu bersama kamu. Bisa melihat mata kamu yang menyipit ketika kamu tertawa, atau ketika kamu merapikan rambut panjangku yang terkena angin.”

Hey, lagi-lagi kebahagiaanmu membuatku berbahagia. Semudah itu kamu membuat mataku membesar berbinar, membuat senyumku mengembang lebar.

Tahukah kamu, aku merasa pulang saat kamu membuka lenganmu dan memelukku. Aku merasa kamulah pengisi rongga di sela rusukku.

Kemarilah, akan kubisikkan sesuatu. "Sayang, maukah engkau menjadi pendamping hidupku? Maukah engkau menjadi ibu dari anak-anakku? Maukah engkau bersamaku sehari lebih lama dari selamanya?"

7.6.15

Apa Kabar Hujan?



Apa kabar kamu di sana? Semoga sehat sepertiku. Masihkah hujan turun setiap hari di kotamu? Ya, namanya saja lagi musim hujan. Nikmati saja. Tapi semoga saja gak sampai banjir. Saat aku menulis ini pun, hujan sedang turun. Masih deras sejak siang tadi. Oh ya, pernah tahu gak kenapa hujan itu romantis? Karena saat itulah Allah menurunkan kasih sayangNya (rahmatNya), dengan atau tanpa diminta oleh hambaNya. Itulah cinta.

Lalu, bolehkah aku bertanya, kapan terakhir kamu jatuh cinta? Kalau aku sebenarnya sering. Saat ini pun aku sedang jatuh cinta. Ya, aku jatuh cinta pada langit yang sedang meneteskan rinai hujan itu. Aku jatuh cinta pada petrichor, wangi pertama yang tercium saat hujan menyetubuhi tanah. Dan aku suka menangis di bawah hujan, dia menyamarkan lukaku. Tak ada yang tahu. Membaur menjadi satu. Lepas air mata, menyatu. Selain itu, aku juga suka dipeluk saat hujan. Apalagi dipeluk dari belakang. Itu benar-benar kusukai.

Nikmati hujanmu senja ini. Dia begitu pandai mengukir kenangan. Dan suatu hari dia akan memuntahkan kembali semua kenangan yang telah kau ukir.

6.6.15

Tak Beranjak



Aku tak pernah tahu kapan tepatnya. Tiba-tiba ada harapan yang seharusnya tak pernah ada. Aku selalu merasa ketakutan ketika dihadapkan pada harapan. Aku takut harapan itu hancur lalu berubah menjadi rasa sakit yang tak mampu kutahan.

Aku tak pernah tahu sejak kapan. Ada rasa khawatir yang menyusup pelan. Menyiksaku ketika tak jua kuketahui kabarmu. Apa yang terjadi padamu? Memaksaku bertanya pada teman-temanmu. Mungkin ini berlebihan. Tapi, aku tak bisa tinggal diam.

Tapi setelah malam itu, kali ini aku hanya mencoba merelakan untuk apa yang telah terjadi dan apa yang kini akan terjadi. Aku ingin menjauh pergi. Tapi mengapa hatiku makin terikat padamu. Aku ingin mundur lalu membelakangi. Tapi masih tetap kulihat kamu dimana pun aku melangkahkan kaki.

Pergilah, pergi! Tapi siapa yang benar-benar ingin terlepas?

Karena berusaha untuk mencintai orang lain, selalu lebih mudah daripada membuat orang lain mencintai kita. Baik-baik kamu di sana. Karena kebaikanmu, kesehatanmu, kebahagiaanmu, hanya itu yang kini aku harapkan. Cinta itu adanya di hati. Hati yang merasakannya. Dan aku hanya bisa mengendalikan dan mengkondisikan hatiku, bukan hatimu. Seberapa besarpun usahaku untuk membuatmu tetap tinggal dan mencintaiku, pada akhirnya yang memutuskan apakah kamu mencintaiku atau bukan ya kamu, bukan aku.

Aku ingin menjadi kuat seperti katamu. Kuat menghadapi kenyataan hidup. Kuat untuk anak-anakku nanti. Suatu hari kita akan bercerita kembali kan? Sebagai sahabat, katamu. Tertawa menceritakan kebodohan kita, tertawa menceritakan masa lalu.

Ya, ini masih tentangmu, masih di halaman yang sama.

5.6.15

Ingatan


Maafkan aku. Kemarin listrik mati seharian dan hujan deras mengguyur kotaku. Banyak pekerjaanku terbengkalai karenanya. Entahlah, mungkin ini konspirasi semesta.

Aku sehat kalau kau menanyakan keadaan tubuhku. Hatiku? Jiwaku? Aku sendiri tak tahu. Sudahlah, tidak perlu dibahas juga. Bagaimana kamu?

Kamu menanyakan berapa lama kita kenal. Tiga bulan katamu. Aku tertawa. Ya, ternyata memang benar, laki-laki terlalu mudah melupakan dan terlalu sulit mengingat detail serta hal-hal sepele. Atau justru karena ingatanku yang terlalu kuat hingga hal-hal sepele pun aku ingat. Kita sama-sama suka menulis. Nah, sekarang kamu ingat?

Tentang hal-hal sepele yang aku ingat, aku bahkan bisa mengingat tanggal ulang tahun mantan pacar teman SMP-ku. Itu parah kan? Lebih parahnya lagi, aku ingat tanggal jadian mantanku sama pacarnya. Huff... Ingatan yang terlalu kuat ini sering menyiksa loh. Sampai detik ini, aku masih mengingat segala hal tentang mantanku. Dan kamu tahu, itu membuat aku sedih. Ah, aku jadi curhat kan. Cukup. Aku tidak mau menangis lagi.

Untuk puisi, maaf kalau aku belum bisa memenuhinya. Aku pernah bilang sama kamu kan, aku moody. Tidak bisa menulis puisi sesuai permintaan orang lain. Biar semua mengalir saja. Seperti hidup, ikuti saja alurnya. Aku tak lagi mau berontak pada takdir. Kuikuti skenario Sang Maha Sutradara.

Terima kasih untuk doa-doa baik. Aku selalu menghargainya.

Maaf kalau yang aku tulis tidak beraturan ya. Selamat menikmati hidup.

4.6.15

Bicara Kepada Rindu


Apakah aku yang terlalu tergesa-gesa, atau dia yang terjebak berlama-lama? Kamu tak jauh-jauh. Hanya sejarak peluk melingkar tangan pada tubuhnya yang hangat. Kamu tahu apa yang paling menyenangkan darimu? Berharap temu.

Lalu akan ada saat dimana aku akan diam dan membiarkan udara yang menyampaikan sesaknya kamu padanya.Tapi kadang aku takut bertemu. Takut setelah pertemuan selesai lalu aku akan kembali pada rutinitas yang sama. Menunggu ujung siklus dimana kita bisa melakukan temu.

Kamu tahu apa yang menarik darimu? Ialah fakta bahwa kamu terletak pada lobus yang berdampingan dengan cinta. Jadi kalau aku menginginkan temu. Aku sedang mencintanya saat itu.

Jarak itu memperbaiki apa yang disebut kamu, pertemuan itu memperbaiki apa yang dinamai ragu. Ya, mungkin seperti itu.

Kadang, merasakanmu kepada seseorang hanya perlu memastikan orang itu berada dalam kebaikan. Itu lebih berarti dibanding dia selalu ada di sisiku.. dalam keburukan.

Kepada rindu, terima kasih telah mewarnai cintaku.

2.6.15

Senandung Rindu



Ada yang mengingatkan rindu, detak arloji yang menayangkan angka tiga, dini hari yang menginginkanmu. Aku diserbu sepi di gigilnya. Adakah yang lebih tabah dari kita? Dentum berdetak pada kamu yang berjarak.

Masih terlalu dini. Haruskah rindu kupendam sendiri? Ajari aku cara mendidik rindu yang kurang ajar ini menjadi dewasa dan mau mengerti artinya menunggu. Aku semestinya tidur, tapi rindu menggedor-gedor pintu mata tak tahu malu. Yang menyebut cinta itu buta, mungkin belum pernah merasakan rindu yang tidak tahu waktu seperti ini.

“Bangun, katanya rindu.” Hatiku berkata pada mataku.

Setengah terbuka, mataku bekerja sama dengan tangan; menjelajah ranjang demi sebuah blackberry. Apalah, demi menemukannya aku gengsi menghidupkan lampu. Toh, aku menemukannya pula.

Kuketik bbm padamu. “Hey”

Semenit kemudian blackberryku berkedip merah. Balasan darimu. “Hey… Thought you are sleeping already. Kebangun lagi?”

"Ya. Dan kenapa selalu gangguin kamu ya?"

"Nope!"

Aku tersenyum. Siapakah yang mengetuk mataku tadi? Rindu? Ah, kita namakan saja dia rindu, bagaimana? Sepakatlah.

Beberapa pesan yang berbalasan hingga kemudian kuketik, “Boleh telpon sebentar? Lima menit?”

"Boleh." Balasmu.

Segera kutekan nomer telponmu. Memenuhi permintaan telinga yang mengaku nabi utusan hati. Terdengar suara operator telpon. Great! Pulsaku habis.

Kukirimkan pesan padamu. “Ga jadi.”

"Something’s happening?"

"Ternyata pulsaku habis."

"Aku telpon ya." Ah, senangnya. Segera kubalas.

"Ya."

Beberapa percakapan dini hari pun segera terjadi. Kamu bercerita kejadian yang kamu alami seharian. Dan cerita masa lalu. Aku mendengarkan dengan baik. Lebih dari lima menit. Kamu pamit. Aku mengerti kamu lelah.

Ada sesuatu yang sebenarnya ingin kukatakan. Tapi kamu tak memberiku kesempatan. Biarlah. Mungkin sebaiknya kusimpan saja. Atau mungkin sebenarnya kamu sudah merasakannya. Ya, aku rindu kamu.

Rindu ini membuatku jadi bodoh. Mungkin rindu sejatinya menciptakan ruang untuk saling menemukan. Semoga segala rindu, tak selalu membuat candu.

Terima kasih telah memenuhi rinduku. Selamat tidur, kamu.

1.6.15

Sampai Rindu Jadi Daun



Malam menyalin sejumlah adegan yang telah ribuan kali diputar, dari debar yang bahagia, gurauan-gurauan kecil, dan senyum yang saling bertaut.

Rindu dan sunyi saling mendesak, bertumbuk: hanya untuk menagih peluk.

Aku adalah lelehan senja yang lumer bersama kopi yang tak pernah alpa kau reguk.

Suaramu denting pening melengking ditinggalkan sunyi. Ia meninggalkan apa saja termasuk percakapan kita.

Aku masih terus mengenangmu. Kau masih suara yang menyusuri igau dan racauku.

Meski aku adalah igauan dari tidurmu kemarin yang kini coba kau ingat kembali.

Malam menyaksikan kita yang tak tertuntaskan, aku yang cemas dikepung suaramu dari berbagai penjuru, kau yang gemas merengkuh peluk tubuhku; masih keras kepala menunjukkan siapa paling sia-sia dalam cinta.

Dengan apa aku membayar seluruh kesakitanku selain dengan mengikhlaskan seluruhmu?

Malam ini doa-doa lenyap disergap prasangka, dari pelarian ke pelarian yang menyesakkan, yang di tiap sudutnya masih ada kelebat wajahmu.

Sedangkan kau kuharap akan membaca tulisan ini entah kapan, entah di mana, aku hanya berharap kau membaca ini sampai kita menjelma rintik pertama hujan akhir Nopember, sampai rindu jadi daun yang terinjak di jalan setapak.