14.12.13

Wanita

Ketika Tuhan menciptakan wanita, Dia lembur pada hari keenam.

Malaikat datang dan bertanya, “Mengapa begitu lama, Tuhan?”

Tuhan menjawab, “Sudahkah engkau lihat semua detail yang Saya buat untuk menciptakan mereka?”

“Dua tangan ini harus bisa dibersihkan, tetapi bahannya bukan dari plastik. Setidaknya terdiri dari 200 bagian yang bisa digerakkan dan berfungsi baik untuk segala jenis makanan. Mampu menjaga banyak anak saat yang bersamaan. Punya pelukan yang dapat menyembuhkan sakit hati dan keterpurukan, dan semua dilakukannya cukup dengan dua tangan ini.”

Malaikat itu takjub, “Hanya dengan dua tangan? Impossible!”
“Sudahlah Tuhan, cukup dulu untuk hari ini, besok kita lanjutkan lagi untuk menyempurnakannya.”

“Oh tidak, Saya akan menyelesaikan ciptaan ini, karena ini adalah ciptaan favorit Saya.”
“O yah, dia juga akan mampu menyembuhkan dirinya sendiri, dan bisa bekerja 18 jam sehari.”

Malaikat mendekat dan mengamati bentuk wanita ciptaan Tuhan itu.
“Tapi Engkau membuatnya begitu lembut Tuhan.”

“Ya.. Saya membuatnya lembut. Tapi engkau belum bisa bayangkan kekuatan yang Saya berikan agar mereka dapat mengatasi banyak hal yang luar biasa.”

“Dia bisa berpikir?”, tanya malaikat.

Tuhan menjawab, “Tidak hanya berpikir, dia mampu bernegosiasi.”

Malaikat itu menyentuh dagunya.
“Tuhan, Engkat buat ciptaan ini kelihatan lelah dan rapuh. Seolah terlalu banyak beban baginya.”

“Itu bukan lelah atau rapuh… itu air mata.” koreksi Tuhan

“Untuk apa?”, tanya malaikat.

Tuhan melanjutkan, “Air mata adalah salah satu cara dia mengekspresikan kegembiraan, kegalauan, cinta, kesepian, penderitaan, dan kebanggan.”

“Luar biasa, Engkau jenius Tuhan.”, kata malaikat.
“Engkau memikirkan segala sesuatunya, wanita ciptaanMu ini akan sungguh menakjubkan.”

Ya mesti!
Wanita ini akan mempunyai kekuatan mempesona laki-laki.
Dia dapat mengatasi beban bahkan melebihi laki-laki.
Dia mampu menyimpan kebahagiaan dan pendapatnya sendiri.
Dia mampu tersenyum bahkan saat hatinya menjerit.
Mampu menyanyi saat menangis, menangis saat terharu, bahkan tertawa saat ketakutan.
Dia berkorban demi orang yang dicintainya.
Mampu berdiri melawan ketidakadilan.
Dia tidak menolak kalau melihat yang lebih baik.
Dia menerjunkan dirinya untuk keluarganya.
Dia membawa temannya yang sakit untuk berobat.

Cintanya tanpa syarat.
Dia menangis saat melihat anaknya adalah pemenang.
Dia girang dan bersorak saat melihat kawannya tertawa.

Dia begitu bahagia mendengar kelahiran.
Hatinya begitu sedih mendengar berita sakit dan kematian.
Tetapi dia selalu punya kekuatan untuk mengatasi hidup.
Dia tau bahwa sebuah ciuman dan pelukan dapat menyembuhkan luka.

Hanya ada satu hal yang kurang dari wanita: DIA LUPA BETAPA BERHARGANYA DIA.


Dari berbagai sumber.

12.12.13

Setia

Aku dengan tenang menyeruput teh hangatku menantikan kepulanganmu, yang aku bahkan tak tahu kapan.

Aku,

merindukan rindu yang tak lagi merindukanku

mencintai cinta yang tak pernah mencintaiku

menyayangi sayang yang tak sanggup menyayangiku

mengharapkan harap yang tak mampu mengharapkanku

menantikan nanti yang tak mungkin menantiku

memperjuangkan pejuang yang sama sekali tak memperjuangkanku.

Aku, tetap bertahan dalam kesia-siaan.

Lalu suara hatiku berkata,

Tak usah dengarkan mereka, sayang. Jangan hiraukan. Ini hidupmu.

Kau yang telah memilih ini semua. Jadi jalani saja.

Jika kau mulai penat dengan pertanyaan yang datang, jawablah dengan senyuman simpulmu. Sederhana bukan?

Setia adalah foto lusuh kita berdua yang selalu menempati tempat istimewa di dompetku.

Setia itu playlist favorit kita, yang selalu mengalun menemani saat-saat aku jatuh.

Ya, aku bilang ini setiaku padamu.

8.12.13

Pelangi Malam

Konon, sepi itu membunuh, menghimpit paru-parumu terlalu kencang, sampai kau lupa bagaimana caranya bernafas.

Konon, harapan dan mimpi yang dipunyai setiap manusia itu kadang menyakiti dirinya sendiri.

Ada yang mengejar dan mewujudkannya.

Ada yang mundur dan membuangnya.

Ada pula yang diam dan hanya menyimpannya sepanjang sisa hidupnya.

Katanya, jangan pernah mengharapkan sesuatu yang tidak pernah bisa kamu berikan kepada orang lain.

Seperti berharap melihat pelangi di malam hari.

Meski hujan sore yang berganti senja.

Mengadu pada bintang.

Meski rintikannya tersirat rindu.

Ah, mulutku terlalu pahit untuk berkata yang manis-manis, mungkin sudah terlalu lama menyecap pahitnya rasa.

katakan ini kacau, karena aku memang sedang meracau

6.12.13

Sejauh Harapan dan Kepastian

Aku merasa ada yang hilang tanpa tahu apa yang sudah aku temukan. Aku merasa menemukan tanpa tahu apa yang aku cari. Dan aku seperti masih mencari tanpa tahu apa yang sudah hilang.

Aku mulai mencari sumber dari partikel partikel yang ditiupkan angin sore itu kepadaku. Ku langkahkan kaki mengikuti jejak yang membangkitkan sejuta kenangan menyakitkan. Lalu kalian pasti heran mengapa aku justru mencari sang ‘kenangan’ itu bukan?

Dia hanya sejauh harapan dan kepastian, harapanku untuk mendapat kepastiannya. Aku mulai bertanya, "Kita ini pasangan atau cuma berteman?" Bisik hatiku.

Tunggu dulu…

Ku pacu terus kakiku sambil berkonsentrasi agar tidak kehilangan jejak elemen-elemen itu, aku yakin, sangat yakin, si pemilik bau ini adalah sang ‘kenangan’ yang seharusnya tak kutemui sejak kami bertemu tiba-tiba pada sore hari di bulan Januari lalu.

Kala itu, cukuplah udara yang sama yang menjadi media kami bersama. Dalam satu hembusan nafas yang sama. Kami saling terhubung di sana.

Kini, partikel-partikel itu menyelesaikan tugasnya dengan sempurna, membawaku hingga berdiri berhadapan langsung dengan sang ‘kenangan’.

"Hey," sapaku, lalu aku mengucapkan apa yang sedari dulu ingin ku utarakan, "Selamat tinggal" yang seharusnya ku ucapkan untuknya Januari lalu.

Dan akupun bergegas pergi bersamaan dengan munculnya pelangi dari sudut cakrawala setelah hujan di bulan Desember sore ini berlalu.

Ketika yang dinanti hanya berdiam diri di kejauhan, saat itulah yang terbaik untuk mengikhlaskan kedekatan yang dulu pernah ada.

3.12.13

Tidak Mendoakanmu

Mungkin hari terlalu dini untuk merindukanmu. Bahkan mataku belum sedikit pun terpejam. Sengaja ataupun tak disengaja, kamu ada di dalam kepala.

Jika kamu bertanya, kenapa aku tidak sedikit pun berucap pamit. Karena aku yakin, ada masa yang akan menjawab perjumpaan berikutnya.

Aku tidak ingin menutupi lukaku dengan mendoakanmu, karena akan jauh lebih sakit jika doaku terkabulkan. Wajahku mungkin sanggup berpaling ketika melihatmu, namun hati kecilku yang tak pernah sanggup.

1.12.13

Rumah Hati

Tidak ada yang harus berubah. Aku sayang kamu. Dan biarlah tetap seperti itu.

Dalam kesunyian begini mutlak. Antara kita yang saling diam.

Entah karena segan atau sudah terlalu banyak yang kita ceritakan. Sesungguhnya Dia telah menciptakan sesuatu bukan tanpa tujuan.

Begitupun serangkaian pertemuan. Ada yang mengharapkan seseorang datang, kemudian seseorang itu mengharapkan seseorang yang lain.

Ada yang ingin sekali datang, namun hujan mengguyur habis semua kemungkinan.

Karena bagiku seorang engkau ialah rumah bagi hati kecilku.

Di balik mata, di luar kepala dan di dalam detak jantung, tak jarang aku merasakan rindu akan engkau.

Ada senyuman rindu terangkai dalam garis konstelasi. Di antara gugus bintang membujur semesta, engkaulah yang paling sempurna.

29.11.13

Aku Mencintaimu Karena...

Membaca pesan-pesan darimu yang menghantarkan malam yang indah.

Terima kasih wahai lelaki yang membuat senyumku merekah.

Karena tak ada yang tahu yang kita rasa di dalam hati ini.

Karena mencintaimu itu bukan urusan mereka.

Dan merindukanmu bukan penderitaan mereka.

Banyak tanya yang tak terjawab, karena hati yang menyimpan segala rahasia.

Berbagai alasan tetap tak mampu menjawab kenapa.

Karena cinta memporak-porandakan logika, dan hati adalah tuan.

Aku mencintaimu karena..., entah.

Pertanyaan itu pun masih terjawab dengan senyuman. Tak sedikitpun bisa menjelaskan.

Kamu adalah langit yang teramat luas untuk aku lukiskan.

Kamu adalah laut yang teramat sangat dalam untuk aku selami.

Tak pernah habis.

Semua yang kurasa padamu tak pernah habis.

Sejauh mana kita bisa bertahan dan saling mempertahankan. Bukan untuk saat ini saja tapi nanti dan selamanya.

Jika tak ada harapan dan impian, apa yang dicapai?

26.11.13

Lepaskan

Ada rindu yang sendu mengiringi hujan-hujan yang turun di November. Sisa gerimis, tanah basah dengan aroma lembab menebar. Aku menengadah pada langit, rasakan kau hadir dalam rongga dada. Ada sebuah nama yang kurapal berkali-kali bagai mantra. Adalah kamu yang mengusik pikiranku malam ini; yang pernah berikan senyum termanis, lalu membuat hatiku teriris oleh sepisau rindu. Kamu, pencetus utama reaksi kimia dalam semesta yang menghadirkan kata cinta. Apapun yang ingin kutulis saat ini, tiada yang lain melainkan kamu.

Aku lumpuh seketika kala kau tiada. Kamu hadir, mencipta cinta, lalu pergi meninggalkanku begitu saja. Aku tak pernah mengundangmu datang, Tuan. Aku tak pernah mereka-reka rasa, bertingkah pura-pura, agar kau jatuh cinta padaku. Dan aku tak pernah sedikit pun berharap untuk jatuh dalam cintamu.

Aku benar-benar mencintaimu, Tuan. Aku simpan keping demi keping rindu ini hanya untukmu. Kujaga engkau, dengan sebaik-baiknya. Dari seburuk-buruknya, aku. Dengan cara apa aku harus membuktikannya padamu? Sekali waktu, aku mencoba membunuh perasaan ini sebelum dia tumbuh semakin besar dan hebat. Tapi aku tak kuasa setiap kamu menyapaku kembali. Sekarang sudah sangat terlambat, tak ada lagi yang bisa dihentikan dari cintaku, bahkan dengan diammu.

Aku sadar, suatu hari aku akan kehilangan kamu, cepat atau lambat. Tapi aku tak pernah siap menghadapinya. Rasanya tetap begitu menyakitkan, Tuan. Ya, akhirnya terjadi juga, datang memberi salam dan harapan, lalu pergi diam-diam. Kepergian tetap kepergian. Tabahlah! Aku menggapai-gapai bintang di langit tinggi, tanpa pernah menyadari; matahari kebahagiaan kian tenggelam di dasar hatiku.

Lalu aku belajar arti memiliki, dari dedaunan, tak sekalipun dijeratnya embun itu: sebab ia percaya, akan ada masa untuk merelakan. Kelak, kita akan bertemu kembali. Sebagai orang asing yang melihat bulan, di langit yang dulu kita gambar bersama-sama. Akhirnya, dengan menyebut nama Tuhan yang maha pengasih, aku memohon untuk dijauhkan dari cinta yang pilih kasih.

17.11.13

Yogyakarta


November tiba lebih cepat dari inginku

Ruang nostalgia terisi penuh, membuncah

Kolaborasi tercipta di jalanan temaram lampu pijar

Tampak syahdu dengan warna kuning di bawah rinai hujan

Malam itu Yogya tampak begitu indah

Menghembuskan aroma tanah basah bercampur desiran angin dingin

Menarikku lembut untuk kemudian sejenak menepi

Membayangkanmu

Ya…

Kunikmati wajahmu di bawah temaram lampu berkapasitas lima watt

Remang-remang memang

Namun kutemui senyummu dalam bayang-bayang malam itu

Hangat memelukku dari belakang

Ada bahagia yang menjalari senti demi senti tubuhku

Seharusnya kamu

Bukan bayanganmu

Aku merindukanmu dengan terlalu

25.10.13

Dalam Gundah Senja


Senja:

Aku melihat perempuan itu lagi. Duduk memandangiku lekat-lekat. Dia menghirup napas panjang lalu membuangnya perlahan. Ada yang berkilat di ujung matanya, menggenang lalu turun membasahi pipinya. Perempuan itu menangis lagi. Aku tak kuasa melihatnya.
Aku ingin menangis bersamanya. Tapi aku tidak menangis. Bukan karena tidak bersedih. Aku ingin melihat jelas ketika dia pergi, agar bisa mengenangnya.
Ada kalanya melihatnya tak cukup menyembuhkan rindu. Aku ingin melebur sedihnya di langitku.


Perempuan:

Ia menyapa dan menitipkan senja di hatiku. Hingga aku mencandu.
Sepanjang igauan yang semakin retak dan degup darah yang tak lagi menggelegak.
Aku memang tak pernah mengira tentang harum yang turun dari tengkuknya, melambatkan masa.
Ia menoleh sebentar mengirimkan jarum-jarum yang halus di mataku.
Langit berubah jingga dan menumpahkan lembayung bercampur biru, menegaskan hangat kulit tubuh, sehangat maghrib menggema.
Ku pandangi cuaca di sekitarku, hanya pendar-pendar debu yang memantulkan kelelahan lalu lintas, dalam sejuta tujuan, dalam sejuta ketidakmengertian.
Air mataku bergulir di pucuk-pucuk cemara yang gugur sebelum usai rindu kurangkai di alis matanya dan aku memang kuyup oleh langkah kaki yang semakin sayup.
Kita hampir saja melewati tikungan yang sama, hingga malam menggelapkan, dan lampu-lampu yang kian kalut memancarkan bunga-bunga api yang ternyata menyesatkan, menumpaskan.
Aku tersadar, beranjak menuju gerbang kota.
Hanya remuk yang semakin menumpuk setelah senja yang ia titipkan di dada.
Aku tidak akan pernah meminta maaf. Karena mencintainya bukan kesalahan.
Aku hanya ingin bersamanya. Apakah itu terlalu? Aku tak pernah meminta lebih dari itu.


Laki-laki:

Senja temaram. Aku melihatnya dari tempat yang tidak diketahuinya. Dia masih di tempat sama seperti senja-senja lainnya. Apa yang ditunggunya? Aku ingin membawanya pulang. Tapi aku mulai tak yakin pada perasaanku sendiri. Dalam siluet senja dia begitu istimewa. Tapi apakah dalam terang dia akan semenarik itu? Mataku tertusuk bias warna senja. Aku merindukannya tapi apakah benar aku mencintainya?
Aku membisu karena terpaku. Bukan karena tak mau. Kukira keindahannya semu.
Apakah dia yang tersesat? Ataukah aku yang keliru mengambil arah? Bahkan di persimpangan pun, kami tidak juga betemu. Kelam membawanya menghilang, sekejap saat aku mengedipkan mata. 



Gambar milik Romi Zeko

16.10.13

Mewujudkan Mimpi

"Gimana kabar pacar kamu?" Tanyaku asal-asalan. Ah, seharusnya tak kutanyakan pertanyaan bodoh itu.

“Kecelakaan kecil. Tapi, sempet dirawat di rumah sakit, tapi bentar doang. Sekarang udah nggak kenapa-kenapa kok, udah pulang ke rumah juga.”

“Oh.” Cemburu membakar dadaku.

“Ingatkah kamu pertemuan pertama kita,? Di tempat ini, tiga minggu yang lalu. Aku sendirian, mendapati kamu menangis setelah putus dengan pacar kamu. Di pojok itu, dengan segelas kopi di meja. Lalu, aku duduk di hadapan kamu, menikmati es teler yang ada di tanganku. Sebelum akhirnya kamu berhenti menangis, dan kita berkenalan. Aku yakin, pertemuan kita ini adalah konspirasi alam semesta.”

“Maksud kamu?”

“Aku sudah nggak ada hubungan sama pacarku. Sudah sejak minggu kemarin.” Hening. Rian mengambil sendokan terakhir dari dasar gelasnya. “Aku yakin bahwa kamulah yang kucari dalam hidup ini." Aku merasakan itu. Detik ini juga. Aku ingin melompat karena terlalu bahagia.

“Tapi, aku kan, laki-laki?”

"Lalu kenapa? Kita pindah ke luar negeri. Belanda. Kita akan hidup bahagia disana. Kamu mau?"

Aku tak pernah buru-buru. Apalagi untuk urusan dengan perasaan dan masa depan. Namun, entah kenapa aku tak ingin menunda waktu lebih lama lagi untuk yang satu ini. Aku mengangguk setuju.

Tidak ada yang tidak mungkin. Semua akan terwujud. Sepasang senyum merekah di meja merah restoran tersebut.

15.10.13

Tidak Lagi

pernah ada waktu yang tak terbatas

pernah pula ada kata yang tak henti bergulir dalam doa

aku ingin bebas

katamu yang kuamini dengan percuma

lelaki yang tidak pernah tahu hendak kemana kaki berjalan

akankah menepi atau berhenti untuk kemudian melangkah lagi

yang ia pikirkan hanyalah dirinya sendiri

tidak ada maksud untuk menyakiti, ucapnya

demi menyelamatkan dirinya sendiri

hanya untuk senang-senang

kesenangan yang berbuah malang

dan terjadilah akhirnya mimpi-mimpi buruk yang selama ini menghampiri

dan kali ini

aku tidak peduli

13.10.13

Hampa


Kini segalanya nampak asing.

Cukup kusembunyikan penat di balik senyum ini, aku tak kuat juga.

Ku mencoba pergi, dan pintu di belakangku menutup.

Kucoba tinggalkan penat yang berkarat.

Kulanjutkan langkah, dan semua kembali sibuk dengan rasanya.

Kucoba memakna, dan diam yang kudapat.

Tak ada suara.

Tak ada bising.

Tak ada arti.

Tak ada dinamika.

Hampa.

11.10.13

Maukah Kamu?

maukah kamu menjadi lambaian tanganku? mengucap selamat tinggal pada mereka yang tidak tertulis pada takdirku.
maukah kamu menjadi suaraku? alam membungkamku bila bersamamu.
maukah kamu menjadi spasi dalam kumpulan sel-sel hurufku? biar bermakna aku dalam bait-bait puisi semesta.
maukah kamu menjadi tirai kamarku? menjaga apa yang rahasia dari diriku, menjadi tempat ternyaman untuk hatiku.
maukah kamu menjadi kameraku? mengabadikan semua yang jujur dari hariku. merekam suka duka, tangis tawa. dan kita akan mengenangnya pada sebuah album dengan senyum.

9.10.13

Hanya Rindu

Sungguh, jangan kau ukir rindu dalam lukisan malam
Terlalu pekat untuk ku pandang dari kasatku
Aku masih termangu ragu
Mendengarkan nada-nada bimbang yang sesak teralun
Aku hanya rindu

5.10.13

Hujan

Hujan datang, menyentuh ingatan, membaurkan jejak kenangan

Menciptakan puisi di bilik hatiku yang paling sepi

Mengaburkan bayang dan air mata

3.10.13

Mengejawantahkan Cinta

Seolah aku menemukan rumah, tempatku pulang. Tiap kali aku melihat lengkung senyum di bibirmu. Seolah aku tak pernah mengenal apa itu luka. Ketika dua tanganmu merentang menyambut pelukku.

Bersamamu, derita seperti stempel dan bantalannya yang saling mencari untuk mensahkan surat-surat pasti. Sebut saja ini cinta, maka segalanya akan selesai dengan lapang dada .

Bersamamu, aku hanya layang-layang yang terulur benang diterbangkan angin kesana-kemari. Tapi pada akhirnya aku kembali lagi padamu. Bukankah sebenarnya itu juga inginku?

Aku menyayangimu dan mempercayai kebaikan. Itu sebabnya kecewa enggan datang. Karena sebelum sampai, ia sudah kembali pulang.

”Selamat makan” lalu “Selamat malam”. Lupakan kepedihan, sebab antara lapar dan kenyang ada cinta yang mekar di dalamnya. Apakah kau ragu?

Aku menyayangimu hingga hanya kebaikan dan keselamatanmu yang aku pedulikan. Bukan lagi tentang jatuh cinta atau rasa sakit, aku menikmati kebersamaanku bersamamu. Seperti sengaja menyesatkan diri makin jauh dalam labirin. Atau mungkin jalan melingkar yang tak menemukan ujung pangkal.

Apakah kau tahu, embun, pagi dan dingin merupakan keajaiban yang tidak sempat Tuhan tulis?
Bila engkau pagi, aku tak ingin lekas beranjak. Menemanimu lalu menyayangimu sampai matahari mengusirmu untuk kembali. Ingin kuselipkan doa pada tiap butir air matamu, saat jatuh di taman, bunga-bunga mekar kembali di bibirmu. Semoga malam membawamu tersenyum untuk menyambut pagi.

Apakah kau tahu? Tak ada aamiin yang terlewat tanpa aku menyebutkan namamu sebelumnya. Tak ada pinta tanpa bahagiamu di dalamnya. Berharap kita bisa bersama dalam satu bingkai bahagia. Kamu di depanku dan aku sedepa di belakangmu. Menyeru menyebut namaNya. Maukah kamu tetap bersamaku sehari lebih lama dari selamanya?

Yang tersisa kini, hanyalah bayangan daun-daun yang letih di jendela, dan wangi sunyi tubuh malam.
Jika alam memberikan pendapat, cinta yang baik seperti batang kayu pohon cendana, ia kuat dan harum. Begitulah aku dan kamu seharusnya. (Andai saja).
Aku ingin menjadi alat yang saat ini kau pegang,atau boneka yang selalu menemani tidurmu. Agar saat kau terjaga aku orang yang pertama kali kau lihat saat matamu terbuka.


Ditulis bersama @acenk_kenari

1.10.13

Pembagian Peran

Di-tua-kan, di-anak-kan.
Pembagian peran menoreh kotak hati.
Di-elu-kan, di-tiada-kan.
Pembagian rasa dalam keseimbangan sinergi.

Jika selalu ada yang di bawah, kenapa tidak kita buat sama rata saja? Aku di tengah, kamu pun di tengah.
"Tidak bisa begitu. Kadar garamku lebih asin," ujarmu.
Maka selesai masalah pembagian.

Ringan sama dijinjing, berat silahkan kau pikul.

Semua ada porsi, semua ada kadarnya. Keseimbangan bukan bagaimana semuanya sama rata, tapi bagaimana semua kadar itu saling melengkapi dan saling menguatkan timbangan-timbangan kehidupan.

20.9.13

Bintang Jatuh


Pernah kau katakan, aku berbeda, aku bukan perempuan biasa. Aku, langit tanpa batas dan kepak sayapmu. Bintang jatuh, semburat warna keperakan, berkilau megah berpendar-pendar kemudian runtuh berhamburan di pucuk pepohonan. Mimpi tanpa warna dan segala yang dapat kau temukan di dalamnya. Bahu untuk jiwa yang lelah, tangis kekalahan, dan suaraku yang membasah. Kau matahariku. Udara dan airku. Gemintang di malam tergelapku.

Kau. Aku. Seperti dua bocah yang berbagi coklat dan keriangan dari kotak yang sama. Tapi memang cuma ini yang kita butuhkan, bukan? Bersamamu, bahkan satu pelukan, satu sentuhan paling sederhana adalah sebuah kemewahan.

Dunia kita adalah jutaan aksara, ribuan kata-kata melayang-layang di udara. Dan sekian tahun cahaya membatasi dua galaksi kita. Ah, jarak kadang memang menyakitkan. Tapi tahukah kamu? Kita selalu bisa saling memandang dari kejauhan. Karena aku bintang jatuhmu, dan kau matahariku.

Mencintaimu seperti bintang jatuh. Indah dan terang. Kau dan aku takut membuat bintang itu redup dengan harapan. Maka dari itu kita membiarkannya terang, lalu jatuh dan lebur… Sekarang aku mengerti dengan itu semua. Suatu saat, satu bintang akan jatuh dan lebur. Tapi bintang-bintang lain akan menggantikan posisinya dan kembali bersinar. Langit tak akan pernah benar-benar menjadi gelap. Dan bintang-bintang tidak akan pernah menjadi redup.

Sekarang aku mengerti bahwa tidak ada yang benar-benar ingin pergi. Tidak ada yang benar-benar ingin tinggal. Yang ada hanya pergantian. Semua berganti. Semua berubah. Seperti musim. Seperti dunia yang terus berputar. Seperti cintaku dan cintamu. Semuanya hanya berganti. Layaknya bintang-bintang di angkasa. Indah dan terang…

Untuk sebuah masa kupersembahkan pendarku. Tapi suatu saat aku akan pergi dari semesta menyilaukan seperti supernova, kemudian meneror saja selayaknya lubang hitam menakutkan.

Habis sudah kandungan hidrogenku. Mengecil pula terasku, menjadi pucat wewarnaku. Ah, seandainya bintang terang tidak menarikku hingga ku terlarut bersama merahnya, birunya, kuningnya, jingganya.

Lihat aku pada langit yang muram. Lihatlah dengan mata telanjang. Maka kehidupan kuberikan. Gugus baru, dengan reaksi fusi luar biasa memberi energi tiada tara. Dan lahirlah aku meronakan jiwa-jiwa sebelum berlalu.

19.9.13

Go Block!


Aku klik tab search lalu kupilih namamu. Rindu. Mungkin seperti itu. Apa kabarmu? Avamu berhias langit jingga. Senjakah itu? Atau merah fajar yang merekah? Kuklik zoom in. Wajahmu tampak lebih jelas. Kamu masih sama. Mungkin sedikit berantakan rambutmu.

Kubuka semua media maya, mencari namamu di sana. Menanti putaran waktu dengan degupan kencang, memelototi tiap gambarmu tanpaku, meresapi tiap huruf yang kau lantunkan, dan aku terbakar dalam diam.

Salah!

Kubuka semua media maya, mencari namamu di sana. Menanti putaran waktu dengan degupan kencang, memelototi tiap gambarmu tanpaku, meresapi tiap huruf yang kau lantunkan, dan aku masuk ke dalam pintu di mana ada cara untuk ku tak perlu lagi mengenangmu. Block!

23.8.13

Kepulangan


Kujangkau ponsel yang telah membangunkanku. Hhm... Indri.

“Yeah....”

“Lagi tidur, Ga?”

“Nggak... maksudku nggak lagi!”

“Hehehe... sorry! Bagaimana... kapan kamu balik ke Indonesia?”

“Besok. Seandainya Ayah nggak sakit, aku enggan balik. Masih banyak kerjaan di sini.”

“Heh, kapan kamu mau berhenti?” Suara Indri terdengar tegas di telepon.

“Berhenti? Maksudmu?”

“Kapan kamu mau berhenti melarikan diri?”

“Belum ada yang bisa membuatku berhenti, Dri. Lagian aku belum pulih banget. Semuanya masih membayangiku.” Tiga tahun kuhabiskan menyibukkan diri dengan segudang kerjaan tanpa henti. Hhh... berhenti. Di satu detik aku berhenti, di detik itu pula otakku akan membuka file-file yang selama ini ingin kulupakan. Dengan waktu selama itu mestinya aku telah mampu melupakannya. Ah... andai semudah menekan tombol delete lalu semuanya terhapus....

“This woman... I met her, fallen in love, got the opportunity...”

“And you chose her...,” ucap Indri. “Eventhough now she’s someone else’s wife. Sejauh apa pun kamu lari, kamu tak akan bisa melupakannya, Ga. Kamu membawanya lari bersamamu. Pulanglah!”

***

Hujan telah reda sejak tadi, namun tetes-tetes bening masih tertinggal di sela-sela rumput. Dingin. Aku menyembunyikan kedua tanganku di balik sweater tebalku berharap sedikit kehangatan menyelimutinya.

Kupejamkan mata. Merunut kembali apa yang telah terjadi padaku di tahun-tahun sebelumnya dengan pikiran yang lebih jernih.

Kutatap nanar tablet di depanku. Sebenarnya ada rasa enggan kembali ke kota ini. Kota yang setengah mati berusaha kulupakan dan tak ingin kujejak lagi. Tempat-tempat yang menggoreskan banyak kenangan. Orang-orang yang pernah singgah.

Tiga tahun berlalu sudah sejak kepergianku. Tiga tahun yang begitu menyiksa. Mungkin banyak yang berubah. Entahlah...

Waktu seperti enggan berputar ketika aku duduk di taman ini. Taman yang menyimpan banyak kenangan kami, berdua dengannya. Senja ini begitu hening. Angin yang berembus perlahan dan mempermainkan ujung-ujung rambutku pun enggan mengganggu.

“Kamu menyesal?” suara Indri membawaku kembali dari masa lalu.

“Menyesal untuk apa?”

“Menyesal pulang.”

“Aku menyesal tapi bukan untuk hal itu. Aku menyesal untuk setiap detik yang terbuang hanya untuk mengasihani diriku dan untuk melupakan semua kenangan tentang dia. Menyesal karena selama ini aku membenci diriku sendiri.”

“Mungkin setiap orang akan melakukan hal yang sama, Ga. Reaksi yang cukup wajar.”

“Tapi sangat susah untuk melupakan semuanya dan memulai sesuatu yang baru.”

“Kita nggak bisa membuang sesuatu yang menjadi bagian hidup kita begitu saja. Jangan memaksakan diri. Mengenang untuk melupakan. Dengan mengenangnya, kamu akan terbiasa dengan rasa sakitnya dan semakin lama rasa itu nggak akan berpengaruh lagi.”

“Hhmm....”

“Ada ujaran, katanya, penderitaan adalah kebahagiaan. Tapi sorry, aku belum membuktikan teori ini,” ujar Indri penuh senyum.

“Andai semudah itu, Dri.”

“Pasti semudah itu, yang kamu perlukan hanya usaha dan sedikit waktu. Sudah ketemu Gendis?”

“Belum. Dan aku rasa tidak perlu.”

***

Aku duduk menatap lurus batas cakrawala, biru bercampur kemerahan dan mentari semakin turun. Jiwaku terasa hangat. Begitu hangat hingga aku menikmati setiap hela napasku.

Aku tersenyum pada laki-laki yang mendekat padaku. Masih lelaki sederhana, namun memberikan arti besar pada hidupku.

“Pa!”

Senyum Duta melebar melihat Lana, anak perempuan berumur dua tahun yang semula tergolek di pundakku, turun dari gendongan, dan berlari ke arahnya. Ia membungkuk sambil membentangkan kedua tangannya, membiarkan bocah itu masuk ke pelukannya. Dijunjungnya anak perempuan itu melewati kepalanya seraya menggelitik perutnya dengan hidung. Anak itu memekik senang. Rambutnya bergerak tertiup angin. Anak itu miniatur dirinya, tetapi memiliki sesuatu yang mirip aku.

Kehadiran Lana memang bukan sesuatu yang biasa. Aku tertawa ketika Lana tak sengaja membentur pipi Duta. Laki-laki itu mengaduh dan minta dicium oleh putrinya.

***

Arga tersenyum mengamati keluarga kecil itu bermain dari bangku taman yang berada tidak jauh dari situ.

Email To: Gendis Larasati

Subject: Pada Suatu Waktu

Pada suatu waktu, mungkin kita akan bertemu di taman ini.

Aku akan meminta kamu bercerita tentang hari-hari dulu dan sekarang.

Tentang cinta yang berakhir karena Tuhan yang tak sama, juga tentang restu orang tua yang tak kunjung tiba.

Aku tahu, kamu bahagia sekarang.

Pada suatu waktu, mungkin kita akan bertemu di taman ini.

Aku dengan istriku, dan kamu akan membawa anak dan suamimu.

Dari aku

Arga Baswara

(Draft saved at 5:22 pm)



Cerita sebelumnya Permintaan Terakhir


gambar dari sini

22.8.13

Permintaan Terakhir


Mengapa aku memikirkan takdir lain untuk kami? Bukankah aku dan Arga sudah memilih jalan kami sendiri dan tidak ada yang bisa berubah?

Apa yang kupikirkan? Tidak ada kemungkinan lain untuk diriku dan Arga. Mungkin benar kata Ibu, hari ini jodoh, besok belum tentu jodoh. Dan seperti kata Arga, ada kalanya manusia hanya bisa jadi penonton tanpa bisa mengubah apa pun.

Aku masuk ke kamar. Begitu membuka pintu, mataku langsung tertuju pada selembar foto di atas meja dekat tempat tidur. Fotoku dan Duta tersenyum lepas. Tanpa disangka, emosi yang tertahan muncul ke permukaan, membuat air mata menggenang di pelupuk mataku, dan mengalir turun membasahi bantal.

Sepanjang malam, aku tidak dapat memejamkan mataku. Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku? Kenapa aku tidak bisa berpikir bahwa Arga adalah masa laluku? Seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya. Kami pernah berbagi banyak hal. Aku tak memungkiri, aku selalu menyukai sentuhan Arga. Lembut. Menggetarkan.

Aku menghela napas panjang. Aku mendengar gumaman Arga waktu itu, seperti yang dikatakannya dulu, aku seperti cokelat; manis, lembut, menenangkan. Tubuhku berguling menghadap dinding. Kupeluk guling erat-erat. Sekarang, aku isteri Duta. Aku tidak mau kehilangan lagi. Tidak mau dikhianati lagi. Tapi, aku belum bisa melupakan Arga. Aku begitu mencintai lelaki itu dulu dan ketika kami berpisah, seperti merelakan separuh hidupku dibawa lelaki itu.

Seharusnya aku memang melupakan masa lalu, melupakan Arga, dan membangun hidupku dengan Duta. Tetapi kenyataannya Arga kembali dalam hidupku dengan pesona yang sama, dengan banyak kilasan indah antara mereka.

Hatiku semakin galau. Aku menggigit bibir. Apakah Arga juga merasakan keresahan ini? Apakah Arga berharap waktu kami kembali?

Aku tidak mampu untuk berpikir lagi. Aku menarik napas dalam dan memejamkan mataku.

***

Dalam beberapa malam, aku bermimpi bertemu Gendis. Berdekatan. Di antara mimpi dan nyata, satu hal yang tak dapat diubah: takdir. Kuasa Tuhan yang menentukan kami berada di jalan masing-masing. Melihat mata kecokelatan itu, aku ingat sinar bahagia di sana, aku ingin melihat sinar itu lagi karena hanya itu yang terpenting.

Teringat kata-kata Gendis, “Kadang-kadang, kita lupa mempersiapkan diri menerima kekalahan. Mungkin, karena kita terlalu banyak berharap yang baik-baik, jadi bingung berbuat apa saat menghadapi hal terburuk.”

Aku diam mendengar perkataannya. Mungkin, aku lupa memersiapkan diri menjadi seseorang yang kalah. Hatiku tertawa getir.

Bisakah takdir di antara kami berubah? Aku mengusap wajahku, menjernihkan pikiranku untuk lebih memahami kehendak dan keadaan.

***

“Ndis...” Indri dengan raut wajah sendu memanggilku.

“Kenapa, Indri?”

“Aku kemarin ketemu Arga, dia bilang mau pindah ke Singapura.”

Pindah ke Singapura? Aku tertegun. Entah dari mana, ada desakan di dadaku yang membuatku merasa sesak. Aku kehilangan Arga? Lagi?

***

Hari ini hari terakhir Arga berada di kota ini. Ya, semua harus berhenti. Aku menemukan Arga di sana, menungguku di luar kantor.

“Arga,” sapaku pelan.

Arga mencoba tersenyum. “Hai.”

“Kamu akan tinggal di Singapura?”

“Ya.” Arga berusaha mengalihkan matanya.

Aku mengangguk-anggukkan kepala.

“Aku punya permintaan terakhir,” kata Arga tiba-tiba.

“Apa itu?”

“Kamu harus bahagia bersama Duta, Ndis,” Arga menelan ludahnya susah payah, berusaha tersenyum getir. “Kamu pasti bahagia, aku tahu itu.”

Ucapan itu membuat lidahku kelu tidak bisa berkata sepatah pun.

“Kamu telah mendapatkan Duta yang lebih baik daripada aku. Jauh lebih baik.” Mata laki-laki itu memerah dan berair. Suaranya bergetar. “Duta akan menjaga kamu, mencintai kamu, selalu ada buat kamu, nggak pernah menyakiti kamu, dan nggak pernah meninggalkan kamu.”

Senyap. Rasanya sunyi sekali. Tidak ada suara, tidak ada gerak. Aku menemukan kenyataan bahwa aku akan kehilangan laki-laki itu; lagi. Kehilangan yang benar-benar hilang. Lenyap.

“Maaf.” Suaraku terdengar sangat pelan.

“Aku yang harusnya minta maaf, Gendis. Benar-benar minta maaf untuk semuanya.” Arga tersenyum miris. “Maaf karena aku tiba-tiba datang ke hidup kamu, maaf karena aku meminta kamu kembali, maaf karena aku nggak bisa mengubah apa pun.” Ia berusaha menghela napas menahan desakan dadanya dan melanjutkan, “Ndis, aku nggak akan mencari pembenaran apa pun lagi. Satu hal yang benar adalah...,” suaranya berubah serak, “aku mencintai kamu. Aku sangat mencintai kamu. Sejak lima tahun lalu.”

Ada nyeri meremang di sudut benakku. Tatapan mata Arga begitu pedih. Laki-laki itu ada di depanku, tapi perlahan semakin jauh. Lalu, aku memalingkan wajah, menyembunyikan bening yang jatuh di ujung nataku.

Arga sungguh tidak ingin pergi. Ia ingin tinggal dan melihat perempuan itu. Meski tidak bisa memilikinya, asalkan ia bisa melihatnya bahagia, lebih dari cukup. Tapi, ia tidak ingin memaksakan kehendaknya sendiri. Ia harus memberikan Gendis dunia yang diinginkannya. Dunianya bersama Duta. “Aku pamit, Gendis,” ujar Arga. Ia berbalik, melangkah pergi tanpa berkata-kata lagi.

Aku tertegun gamang. Nanar kutatap Arga menjauh. Dia sudah pergi. Perlahan-lahan, dia menghilang meninggalkan debu yang tertiup angin. Aku memejamkan mata. Semua mengabur dalam genangan air mataku. Aku masih punya Duta. Selesai sudah.


Cerita sebelumnya Di Angka Dua Belas


gambar dari sini

21.8.13

Di Angka Dua Belas


“Aku nggak akan kemana-mana sampai kamu naik, Gendis.”

Akhirnya, aku menyerah dan naik ke mobilnya dengan susah payah memakai tongkatku, sedikit membanting pintu karena kesal.

“Nah, begitu dong, penurut. Coba dari tadi... aku nggak bakal dimarahin orang-orang di belakang.”

“Keras kepala banget, sih,” gerutuku. Dia tertawa kecil.

“Yang keras kepala sebenarnya siapa?” balasnya lembut.

Aku terdiam. Sudah lama tidak melihat wajahnya dari jarak sedekat ini. Tidak mendengar dia bicara dengan lembut. Aku kangen. Ah. Tidak seharusnya aku berpikir begitu.

“Aku harus ke toko buku sebentar. Turunin aku di mal aja.”

Arga menggeleng. “Aku anterin.”

“Sebenernya mau kamu apa, sih? Kamu tau nggak kamu lagi ngapain?”

“Kamu mau jawaban jujur atau bohong?” Gayanya masih sangat tenang, sama sekali tidak memedulikanku yang sudah berapi-api. Dia tidak menunggu jawabanku, tapi melanjutkan perkataannya, “Jawaban bohong. Aku sayang sama Tasha dan mau melewatkan hidup sampai tua dengan dia. Dia isteri yang baik buatku. Dan, aku baik-baik aja. Aku bisa hidup tanpa mikirin ibuku, pertentangan di keluargaku, perselingkuhan Tasha, pengkhianatan Edwin. Dan kamu, Gendis.” Suaranya agak bergetar saat menyebut namaku. “Dan kamu, kamu bukan siapa-siapa buat aku. Kamu nggak lebih dari masa laluku. Kamu puas dengan jawaban itu?”

Untuk sesaat, aku tersentak. Saat menemukan suaraku kembali, aku sudah gemetaran. “Kamu kekanak-kanakan, Arga. Berhenti menyalahkan kondisi dan orang lain untuk hal-hal yang udah terjadi.”

“Atau kamu mau jawaban jujur?” Dia melanjutkan dengan nada datar yang sama, tak menggubrisku. “Aku jatuh cinta sama kamu sejak pertama kita bertemu sampai sekarang. Aku berusaha untuk berhenti, tapi aku nggak bisa. Aku terpaksa menikahi Tasha, pilihan orang tuaku. Aku hanya nggak bisa membantah dan nyakitin orang tuaku. Aku nggak tahan hidup dengan topeng... aku nggak bisa jadi diri sendiri. Aku capek.”

Mobilnya meluncur dengan cepat, lalu menepi di jalan yang sepi dengan mendadak. Dia mencekal tanganku erat-erat, suaranya serak sarat emosi, berusaha menjelaskan sekali lagi. “Kamu ngerti gimana hidup penuh kepura-puraan, Gendis, kamu orang yang paling tahu tentang itu. Udah berapa tahun kamu mau bohongi semua orang di sekitar kamu bahwa kamu baik-baik aja? Aku sekarang hidup seperti kamu. Bohongin semua orang, bohongin diriku sendiri, bahwa aku masih mencintai orang yang seharusnya nggak lagi aku sayang!”

Cekalan tangannya semakin erat, kini terasa sakit. Matanya sarat dengan kesepian, kesedihan yang aku sendiri kenali dengan begitu dalam. Ya, kita sama. Kita berdua hidup dalam kepura-puraan karena takut melukai orang lain, terlebih dari diri sendiri.

“Aku hanya ingin jujur, Gendis.”

Air mata membanjiri pelupuk mataku. Aku tidak ingin menangis. Aku tidak ingin menangis. Aku tidak mau teringat akan segala kenangan buruk. Yang membenci dirinya sendiri, karena menjadi seperti ini.

Jujur.

Air mata pertama menetes di tangan Arga. Responsnya bagai terkena air panas, langsung melepaskan genggamannya yang kini meninggalkan bekas merah di pergelangan tanganku. Dia mendekapku dalam pelukannya, berkali-kali berbisik, “Maaf, Gendis. Jangan nangis. Maaf.”

Aku terisak dalam pelukannya, merasa ingin melepaskan semua. Ingin jujur, ingin melepaskan semua, menumpahkan galau yang selama ini tersimpan rapi dalam hati. Karena hanya dia yang tahu. Hanya dia yang memegang kunci untuk melepaskan semuanya, dan menemukan diriku yang sesungguhnya di sana.

Matahari tepat di atas kepala. Kulirik jam tanganku. Jam dua belas tepat. Aku melepaskan diri, mengusap mata yang sembap oleh air mata. Aku mendorongnya menjauh. Seharusnya, aku tidak naik mobil ini. Seharusnya, aku tidak menumpahkan isi hatiku.


Cerita sebelumnya Potret Ibunda


gambar dari sini

20.8.13

Potret Ibunda


Dari awal aku tahu, hubunganku dengan Gendis tidak akan disetujui oleh kedua orang tuaku, terutama Ibu. Tapi aku tetap saja menjalin hubungan dengan perempuan yang kucintai tersebut.

Dugaanku tidak meleset. Ketika akhirnya berhasil memberi tahu hubunganku dengan Gendis, Ayah diam dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun selama sepuluh menit penuh.

“Yah?” panggilku cemas. Ayah terbatuk-batuk kecil.

“Sebentar, Ayah mau ngomong sama Ibu dulu.” Kecemasanku tidak serta-merta menghilang. Aku justru semakin cemas membayangkan tanggapan Ibu. Aku takut ibuku akan menolak mentah-mentah dan aku tahu sekali ibuku akan mengeluarkan keputusan seperti itu. Tidak akan pernah ada jalan kompromi baginya.

Ibu seorang pensiunan karyawan BUMN. Ia juga menjadi pengajar paruh waktu di salah satu perguruan tinggi swasta di Malang. Semua orang yang mengenal Ibu pasti akan menyebutnya sebagai orang dengan kepribadian hangat dan menyenangkan. Namun, di balik kepribadiannya yang ramah dan supel, aku tahu kalau Ibu juga seorang yang keras kepala dan tidak terbantahkan kalau sudah memutuskan sesuatu. Berbeda dengan Ayah, yang akan selalu membelaku, bahkan ketika aku melakukan kesalahan sekalipun. Ibu tidak seperti itu. Aku tahu, Ibu tidak akan ragu mengusir anaknya keluar rumah seandainya ia melakukan sesuatu yang membuatnya marah.

Aku tidak pernah menganggap Ibu menakutkan, tetapi aku paham betul Ibu punya pendirian dan harga diri kuat yang nyaris tak mampu dirobohkan oleh seorang pun.

Ketika akhirnya Ibu muncul, aku terlonjak terkejut. Aku menunggu beberapa saat, mengatur napasku agar kembali tenang.

“Arga.” Kata Ibu.

Aku menggigit bibir bawah saking cemasnya.

“Kamu sedang menjalin hubungan sama siapa, Nak?” tanya Ibu. Nada suaranya masih biasa.

“Sama Gendis.” Aku menelan ludah.

“Hmm. Udah lama kalian pacaran?”

“Dua tahun, Bu.”

“Kamu ingin menikah dengan dia?”

“Aku punya itikad baik mau serius sama dia.”

Terdengar suara Ibu menghela napas berat. “Mau ketemu Ayah Ibu kapan?”

“Sabtu ini. Kalau Ayah Ibu bisa.” Diam lagi.

“Mau dikenalin sebagai calon isteri kamu?”

Aku terdiam sebentar, bingung sendiri ditanya seperti itu. “Iya, Ibu.” Aku akhirnya mengiyakan.

“Oke.”

“Hah?”

“Ibu bilang oke, Arga. Bilang sama... siapa tadi? Nama pacarmu?”

“Gendis, Bu.”

“Iya, Gendis. Bilang sama Gendis, kami akan terima dia baik-baik. Apalagi, kalau dia serius mau jadi calon buat anak kesayangan Ibu.”

***

Aku memberitahukan Gendis semua informasi yang harus diketahui perempuan itu sebelum bertemu dengan kedua orang tuaku. Mulai dari makanan yang disukai dan dihindari kedua orang tuaku, buku yang sedang dibaca ibuku yang seorang kutu buku sejati, sampai kebiasaan buruk yang tidak disukai kedua orang tuaku.

“Sebenarnya, Ayah dan Ibu melihat kesungguhan kalian berdua. Ibu bisa melihat sejauh mana keseriusan kalian berdua untuk membentuk keluarga bersama-sama pada masa yang akan datang.” Suara Ibu yang tiba-tiba terdengar membuat aku yang tertunduk cemas mendongakkan kepala.

Aku melirik ke arah Gendis yang duduk di sebelahku, berharap menemukan kecemasan dan ketakutan yang sama dengan yang aku rasakan. Namun, perempuan itu duduk bergeming, tidak terlihat sedikit pun kegelisahan dalam sorot mata lurus yang diarahkannya pada Ibu.

Ayah menatap Gendis lembut. “Ayah merasa senang karena ternyata Arga sudah menemukan seseorang yang mau menyayangi dan merawat dia hingga tua nanti.”

“Puji Tuhan,” Gendis tersenyum senang.

Ibu dan Ayah terhenyak. “Maaf, Nak Gendis, agama kamu apa?”

“Katolik, Bu.”

Ibu langsung berdiri, “Kenapa kamu tidak bilang sama Ibu dari awal, Le?” masuk ke dalam tanpa kembali lagi.

***

“Mau dengar pendapat Ibu, Le?” Ibu menatap lekat aku sebelum acara akad nikahku dengan Tasha waktu itu. “Jujur, Ibu sebenarnya suka sama Gendis. Tapi agama kalian berbeda.”

“Udahlah, Bu,” tukasku. “Ibu jangan membuat aku semakin bimbang di saat-saat seperti ini ya. Aku hanya menuruti mau Ibu sama Ayah. Itu aja.”

“Ibu cuma ndak mau kamu nyesel, Le.” Ibu mengusap lenganku. “Apa yang benar di mata kita, belum tentu benar di mata Tuhan.”

Sekarang aku hanya bisa memandangi potret Ibu sambil menabur bunga di pusaranya. Ibu telah pergi, Ndis. Dan sebenarnya dia juga ingin kamu menjadi menantunya.


Cerita sebelumnya Pengantar Pesan


gambar dari sini 

19.8.13

Pengantar Pesan


“Lembur lagi?” tanya Tasha.

“Iya. Masih banyak kerjaan,” ujarku santai. “Kamu mau kemana malam ini?”

“Nggak, ah. Capek banget hari ini. Aku kayaknya mau istirahat aja. Kamu nggak capek?” tanya Tasha lagi.

Tubuhku tidak dapat digerakkan mendengar pertanyaan itu. “Begitulah.” Terasa ada gumpalan di tenggorokanku. Aku terperangkap dalam kesalahan masa laluku. Kesalahan yang aku kira sudah menghilang dalam putaran waktu, ternyata tak pernah pergi.

“Aku berangkat.” Aku langsung mengemudikan mobilku tanpa menoleh lagi padanya.

Sejak menikah dengan Tasha, aku lebih sering meninggalkannya. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku untuk pekerjaan kantor, lembur dan tugas ke luar kota. Aku tidak bisa membohongi perasaanku, aku masih mencintai Gendis.

Sering aku meminta bantuan Edwin, sahabatku, untuk sekedar melihat keadaan Tasha di rumah saat aku pergi ke luar kota. Edwin pun akan mengirimkan pesan-pesan padaku untuk mengabarkan keadaan Tasha.

“Tenang aja, Ga. Dia baik-baik aja kok selama kamu tinggal pergi. Sepertinya dia tidak terlalu memikirkan kepergianmu.” Pesan Edwin suatu hari.

Aku dan Edwin adalah tim yang kompak. Aku yang menepuk-nepuk pundaknya ketika ia kalah dalam pertandingan basket pertamanya. Dia yang mengantarkan aku saat sakit dan tak ada seorang pun yang bisa merawatku. Dia yang menyampaikan pesan bahwa aku tidak di rumah saat gadis-gadis mencariku di rumah, begitu pula aku yang tertawa geli saat perempuan yang suka kepadanya meninggalkan surat cinta di kolong mejanya. Air dan minyak. Tidak larut, tetapi saling menemani. Kami saling mengenal luar dalam, jadi terasa janggal saat dia menanyakan sesuatu yang tidak biasa, hari itu.

“Ga, hubungan kamu sama Tasha gimana, sih?”

Pertanyaan yang keluar dari mulut Edwin sore itu, selepas kami berdua bermain basket one on one di lapangan dekat rumahnya, jelas-jelas bikin kelabakan. Aku bukan tipe lelaki yang suka gembar-gembor masalah percintaan ke siapa pun, tak terkecuali kepada Edwin.

Satu lagi. Mengapa tiba-tiba dia bertanya begitu? Biasanya dia cukup cuek dengan urusan pribadi orang lain, apalagi dia tahu betul aku tidak suka membicarakannya.

“Arga, jangan berlagak nggak denger, deh.” Edwin menimpukku dengan bola bundar di tangannya, yang sedetik terlambat kutangkap sehingga menghantam dadaku dan jatuh ke lantai semen.

Aku menatapnya, bingung harus menjawab apa. “Kayak biasa aja.”

“Maksudnya?”

Aku menengadahkan kepala dan memejamkan mata. Capek sedari tadi kalah skor dari Edwin; sekarang pun adu mulut juga pasti kalah telak. “Yaaa..., seperti pasangan pada umumnya. Kamu kan tahu.”

Mataku tertumbuk di sebuah kantong plastik di kursi belakang. Aih, martabak punya Tasha ketinggalan! Buru-buru aku menginjak rem, menurunkan posisi perseneling dan memutar kendali 360 derajat. Mumpung belum jauh.

Mendekati rumah. Kulihat Tasha keluar dari pintu. Katanya mau istirahat, tapi kok malah keluyuran lagi?

Ada sebuah mobil yang menunggunya di depan rumah. Mau kemana dia? Aku segera mengikutinya. Mobil itu menuju sebuah kedai kopi yang ramai.

Aku buru-buru memarkir. Kedai kopi yang ramai memaksaku untuk terburu-buru. Aku lalu turun tanpa lupa mengambil jaket untuk berkamuflase. Jangan sampai aku ketahuan membuntuti mereka.

Edwin? Itu Edwin? Ngapain Edwin sama Tasha? Skenario apa lagi, nih? Aku segera duduk membelakangi meja mereka.

“Hahaha.” Tawa Tasha terdengar sesaat setelah aku duduk. “Jadi dia bilang begitu, Win? Arga bilang hubungan aku sama dia baik-baik aja? Gila, ya, tuh orang!”

“Si Arga tuh memang gak cinta kamu, Beb. Mending kamu tinggalin dia aja. Daripada kamu jalanin dua hubungan begini. Mending fokus sama aku. Minimal aku kan nggak ninggal-ninggalin kamu. Hihihi.”

Perutku bergolak. Semakin mendengarnya, semakin terasa desakan rasa amarah, kegagalan, dan kekecewaan. Rahangku mengeras. Napasku berkumpul di tenggorokan.

“Seandainya dia nggak tajir, udah lama aku tinggalin dia.”

Aku tidak tahan lagi. Kuambil gelas berisi susu soda dingin di depanku. Aku langsung menyiramnya di kepala Edwin.

Edwin terkaget dengan es dingin di sekujur kepala dan baju. Kumis dan jenggot tipis menggawangi mulutnya yang melongo lebar. Aku biarkan Edwin sejenak dan mengalihkan pandangan ke Tasha. “Jadi ya, Tas, selama ini kamu mau menikah denganku cuma karena harta! Jadi, kamu bilang mencintai aku selamanya itu cuma bullshit?”

“Ga, ini bukan seperti apa yang kamu dengar. Sabar dulu, Ga.”

“Dan kalian berdua. Apa yang sudah kalian lakukan di belakangku? Kalian selingkuh kan? Dasar kalian berdua tukang tipu.”

“Iya, aku memang tukang tipu. Tapi kamu, Ga, kamu juga tidak pernah mencintai aku. Rumah tangga macam apa ini. Kamu selalu pergi entah kemana.” Bela Tasha.

“Jadi, sekarang kamu maunya apa, Tas? Pernikahan kita gagal. Kamu juga, Win, kamu mau ambil Tasha dari aku?”

“Kamu benar, pernikahan kita gagal, Ga. Pernikahan kita nggak akan bisa berjalan kalau salah satunya merasa nggak bahagia. Dan kenyataannya, aku nggak bisa memaksa kamu mencintai aku.”

Aku terdiam.

“Maaf, Ga. Harus aku akui, aku mencintai Tasha.” Edwin berkata lirih.

“Bangsat!” Tangan aku kepal, sekuat-kuatnya. Lengan aku ayun, sekencang-kencangnya. Aku pukul Edwin tepat di pipi kirinya. Badan bidangnya jatuh dan terebah di lantai.


Cerita sebelumnya Menulis Takdir


gambar dari sini

18.8.13

Menulis Takdir


“Jadi, bener kamu masih berhubungan sama Arga to?”

Aku tidak segera menjawab. Aku menarik napas dalam-dalam. Debaran kencang tiba-tiba menyerbu dadaku. Namun, segera kualihkan dengan mengambil gelas di tempat tidur dan meneguknya. Ibu tahu dari mana?

Nduk...” Ibu menatap lembut. “Jodoh memang urusan Gusti Allah. Ibu cuma mau kamu ndak kesusu mengambil keputusan. Ibu mau kamu bahagia, mau yang terbaik buat kamu.” Ibu mengusap lenganku.

Aku menggigit bibir. Rona merah di wajahku pias. Bibirku bergetar menahan gejolak dadaku. Hatiku bimbang. Dan begitu pintu kamar ditutup oleh Ibu, ruangan jadi terasa mengecil. Aku masih mencintai Arga, Bu. Sangat mencintainya.

Aku kembali membaringkan tubuhku menatap jendela. Hujan kembali turun diiringi angin menderu-deru. Butir-butir air tampak di kaca jendela. Aku masih tidak mengerti. Tidak dapat berpikir. Tidak dapat menghentikan perasaan yang hadir. Dan kini, ada perasaan bimbang meremang. Aku menghela napas panjang, berharap malam bisa menghentikan semua ini.

Satu per satu rekam cerita bermain dalam kepala. Cerita yang terpaksa harus kubuka kembali malam ini. Lembar demi lembar halaman memenuhi pandangan, malam ini ingatan tentangnya mengembara.

“Selamat sore, Gendis. Sudah dari tadi, ya? Maaf aku terlambat.”

Perkenalan yang dimulai tanpa sengaja, diawali dari sebuah jaringan sosial media. Sarana yang menurut banyak orang mampu mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Nyatanya, kami berdua dipertemukan oleh kemajuan teknologi yang dicaci sekaligus dipuja.

“Aku sudah makan,” katanya sambil sesekali menepis helai-helai rambut yang menjuntai di balik topi usang yang ia kenakan.

“Aku suka cappuccino, dan aku sudah memesankan kamu kopi hitam. Tuh sudah datang.”

“Ah, terima kasih, kamu masih ingat betul kesukaanku.”

Arga dan aku membiarkan dunia di kepala kami melebur menjadi satu dalam pertukaran cerita.

Sampai suatu hari, Arga memberikan sebuah kejutan. Kali ini sebuah kecupan yang membuat seluruh saraf di sekujur tubuh seakan lumpuh seketika. Kecupan tanpa permisi yang sanggup membungkam bibirku yang ramai bercerita.

“Kamu jangan membuat aku jatuh cinta.”

“Kita tidak perlu jatuh cinta, Gendis. Aku di sini tidak ke mana-mana.”

Kata “tidak” dan “jangan” hanya tercekat di kerongkongan saat hujan kecupan Arga alamatkan kepadaku. Detak di dada berlomba dengan detik yang kuhabiskan bersamanya. Hati seperti kehilangan kemudi, dan berharap waktu berhenti.

Kini, aku mencoba mengerti dengan segala keterbatasan yang ia miliki, menyibukkan diri menjadi satu-satunya jalan untuk bertahan melawan keinginan bertemu. Sering kali logika menyuruhku untuk berhenti, tetapi ternyata hati tidak mengenal kata kompromi.

***

Hari ini, aku mencoba menulis takdir.

Aku menghentikan motorku di depan sebuah kedai kopi berhalaman luas. Mendadak aku ragu dengan langkah yang kuambil. Ragu apakah ini jalan yang tepat untuk mengobati kegelisahanku. Tapi, sekarang aku sudah berada di sana, menghitung-hitung kemungkinan berbalik, dan membatalkan niatku.

Dadaku berdebar tak menentu. Bermalam-malam aku dibayangi wajah Arga, tidak tahu kenapa, yang membuatku gelisah. Dan kegelisahan membuatku tak nyaman.

Arga sudah di dalam. Tersenyum melihatku.

“Hai,” sapaku dengan suara setenang mungkin.

“Hai,” balas Arga.

Sebuah perasaan hangat menjalari dadaku, nyaman. Tetapi aku juga merasakan sesak mengingat sebulan lagi lelaki itu akan meninggalkanku untuk menikah dengan perempuan lain. Kutarik napas dalam-dalam, berharap menormalkan nadiku yang berdenyut cepat. Dengan gelisah, aku mengusap wajahku. Aroma segar Arga ikut membaur, membuat segalanya jadi lain.

Bulir-bulir embun jatuh menjadi hujan, membasahi sekat-sekat hati yang perlahan terpaksa kututup. Mimpi yang sebelumnya bebas berkelana, kupenjarakan di balik jeruji besi.

Sudah-sudahi saja, untuk apa bertahan dalam kebohongan? Aku tidak ingin bahagia di atas cerita yang direkayasa. Aku tidak punya hati untuk tertawa di atas kepingan mimpi yang akan dia bangun bersamanya, seruku dalam hati.

Mungkin aku hanyalah orang yang tepat yang berada dalam kondisi yang salah. Bukan salahnya. Bukan salah siapa-siapa. Bukankah cinta tidak pernah salah?

“Gendis.”

“Mmmm.”

“Aku sayang kamu.”

“Iya.” Aku tahu, Arga..., aku tahu banget.

“Gendis.” Dia memanggilku lagi.

“Mmmm.”

"Jangan pergi."

Kali ini, aku menoleh, tidak langsung menjawab. Kedua mataku terpejam, tangannya menggenggam erat tanganku, benar-benar enggan untuk melepaskan tautanku.

Jangan pergi, dia meminta. Jangan pergi.

“Aku...” Aku menelan ludah, lalu menatap lelaki itu dengan tatapan membingungkan. Tiba-tiba saja, Arga meletakkan kedua tangannya di mulutku, mencegahku untuk mengucapkan apa pun yang hendak aku katakan. Mungkin, ia merasa apa pun yang akan kukatakan bukanlah sesuatu yang ingin ia dengar.

Arga benar. Namun, ia terlambat.

“Aku rasa, hubungan kita harus benar-benar berakhir.”

Arga terhenyak ke belakang.

“Mungkin lebih baik kalau kita tidak usah bertemu lagi. Kita mengisi sepi dengan sunyi yang ramai. Kamu tidak untuk dimiliki, begitu pun halnya aku. Berjalanlah seperti udara, berkilaulah laksana cahaya. Teruslah berbagi kebaikan, sebanyak mimpi yang kita punya selama ini. Semoga bahagia selalu bersamamu. Dalam ruang yang kunamakan kenangan, kau akan selalu hidup tak bertuan.”

Dirinya kutinggalkan. Malam itu, aku menghukumnya dengan air mata yang tumpah ruah seperti hujan pada Januari. Menghukumnya dengan pertanyaan bertubi-tubi dan penyudutan hingga ia tak mampu untuk berdiri.

Takdir sudah tertulis. Dan takdirku bukan bersama Arga.


Cerita sebelumnya Tiga Senjata


gambar dari sini

17.8.13

Tiga Senjata

“Arga, kalung ini bagus sekali. Aku tak pernah menyangka kau akan memberikannya.”

Seorang perempuan sedang bersandar di dada Arga penuh dengan gaya manja.

“Sayangku, kamu sedang tak mau berkata apa pun?”

Arga mencubit hidung sang pemilik kalung berliontin kupu-kupu dengan sayap biru muda.

Kemudian, tiba-tiba...

“Aha!!! Dapat!”

Permpuan itu dengan cepat meraih ponsel Arga dari sakunya. Ia begitu segera membongkar isi ponsel Arga, seperti ayam kelaparan yang menggali tanah dengan cekernya mencari makan siangnya.

“Aku... minta... kamu... jelasin ini semua!”

Alis perempuan itu berkerut waspada, mencari-cari apa yang ada di layar Blackberry milik Arga di meja, kemudian menemukannya. Aplikasi BBM terbuka, menampilkan pesan-pesan singkat percakapan ringan, tetapi sangat janggal dari sebuah kontak bernama ‘Gendis’. Tangan Tasha, perempuan itu, tampak sudah siap menggunakan super energi yang siap kapan saja dilepaskannya untuk membanting ponsel itu.

Malam ini, enam bulan setelah Arga resmi menjalin hubungan dengan Tasha, perempuan pilihan orang tuanya yang mengusik kehidupan cintanya bersama Gendis. Saat ini, Arga sedang mengacaukan rencana pernikahannya dengan Tasha, karena tetap berhubungan dengan Gendis yang disayanginya.

***


“Gendis, banyak pesan darimu yang tak sengaja dia baca, juga omongan dari teman-temannya yang ternyata pernah melihat kita jalan berdua. Tasha mulai tahu tentang kita.”

Setiap hari aku mencintai Arga. Namun, juga pada waktu yang sama merasa membuang-buang waktunya jika terus bersamaku. Terkadang, aku berusaha mengosongkan perasaan-perasaan dalam hatiku untuk Arga, kemudian mengisinya kembali dengan memposisikan diriku, mulai menuliskan satu pertanyaan, “Bagaimana jika aku menjadi Tasha?” Salah satu jawaban yang muncul, membuatku tidak kuat membayangkannya.

Jawaban bahwa, orang yang kucintai berbagi kebahagiaan dengan yang lainnya. Waktu yang seharusnya dihabiskan bersamaku, malah dihabiskan bersama yang lain. Aku tidak sanggup, bahkan mungkin aku akan membenci Arga, jika ia melakukan hal yang sama terhadapku.

Bagaimana jika Tasha adalah aku, akankah Arga masih melakukan hal yang sama saat ini seperti pada kami sekarang? Pertanyaan-pertanyaan menyesakkan dada lainnya terus bermunculan.

Ah, tapi bukankah Tasha yang telah merebut Arga dariku? Bukankah seharusnya aku yang akan menjadi pengantin perempuannya nanti? Peduli apa aku dengan Tasha? Apa dia juga peduli sama aku? Aku yang lebih dulu mencintai dan dicintai Arga.

“Terus aku harus bagaimana?” Nada bicaraku kubuat sedatar mungkin, sekokoh dan serata acian tembok kastil yang menyembunyikan kerapuhan hati ratu penguasanya.

“Tidak. Kita yang harus bagaimana.” Arga selalu pintar mengatur kata-katanya.

“Mungkin aku harus pergi, Ga,” ucapku lirih.

“Aku gak mau ada yang berubah di antara kita, aku nyaman sama kamu. Sungguh. Kamu mau kan nungguin aku buat meyakinkan orang tuaku? Mencari cara untuk meninggalkan Tasha.” Shit! Semua kata-katanya saat menenangkanku, saat aku meminta kejelasan kelanjutan hubungan kami ke dia, selalu bisa jadi senjatanya buat menaklukkanku.

Aku pun tersenyum, mengangguk seraya menyetujui permintaannya, menunggunya. Entah, setan mana yang merasukiku hingga aku mau saja diperlakukannya seperti ini.

“Kamu mau kan nunggu aku?” tanyanya kembali kepadaku.

“Iya, aku akan nungguin kamu. Nunggu urusan kamu beres.” Dia mengecup tanganku dengan lembut, mengecup keningku. Hatiku sakit, perih dan menangis. Tapi kecupannya adalah senjata kedua yang ampuh membuat hatiku luluh.

Kuberanikan melihat wajah Arga sekali lagi. Ia terlihat berpikir sangat keras, dan tangannya kulihat meremas setir.

Kami berdua hening lama, pikiranku pun seolah ikut berjalan di belakangnya. Arga tersenyum, menyalakan mesin dan mulai memutar setir. Ia tersenyum melemparkan wajahnya ke arahku. Senyum yang selalu bisa mendamaikan segala badai yang menyerang hidupku. Senjata ketiganya yang membuat aku tak pernah ingin melepasnya. Wajah itu terlihat tangguh, seolah mengatakan, “Sudahlah kau tenang saja, Gendis Sayang, semua akan baik-baik saja dan biar kekacauan ini aku yang tangani.”

Aku ikut mengangguk setuju dan tersenyum tanda mengerti bahwa akan beginilah cinta yang tertanam dalam hatiku untuk Arga. Selalu mau menunggu, selalu rela mengalah.


Cerita sebelumnya Lima Menit Kemudian


gambar dari sini

Lima Menit Kemudian


Aku menghabiskan banyak sekali waktu untuk berlatih kata-kata yang harus diucapkan di hadapan Arga, alasan demi alasan yang aku susun dengan tujuan membuat Arga mengerti sekaligus meringankan rasa sakit hati yang mungkin akan dirasakan Arga karenaku. Namun, semua latihan yang kulakukan di depan kaca itu selalu berakhir di tengah-tengah karena pada akhirnya, aku sendiri yang tidak kuat menahan tangis.

Untuk kali pertama, aku duduk sendiri menunggu Arga di taman tempat kami pertama bertemu, tempat kami biasa berbincang-bincang sampai lupa waktu, tempat Arga memainkan gitarnya untukku, tempat kami pertama berciuman, tempat aku merasakan cinta yang sedemikian dalam untuk Arga. Aku melihat ke sekeliling taman dan memandangi semua hal di sana. Tempat ini memiliki ribuan kenangan bagiku, tetapi seiring ucapan perpisahan yang akan aku ucapkan untuk Arga, aku pun akan mengucapkan perpisahan pada tempat ini pula. Aku mungkin tidak akan pernah menginjakkan kaki di tempat ini lagi. Setidaknya, tidak dalam waktu dekat.

Suara langkah kaki yang terdengar mendekat menyadarkanku dari lamunanku. Aku mendongakkan kepala dan melihat Arga berjalan ke arahku. Tidak ada satu hal pun yang berubah dari diri lelaki itu selama ini. Kulitnya yang bersih terawat, postur tubuhnya yang tegap, kesan seksi yang ditampilkannya secara keseluruhan. Yang membuat pertemuan ini terasa semakin berat adalah fakta bahwa perasaanku ketika melihat Arga pun belum berubah. Aku bisa saja memaki Arga ribuan kali karena telah meninggalkanku untuk menikah dengan perempuan lain pilihan orang tuanya. Namun kenyataannya, ketika Arga berada di hadapanku, semua kesalahan itu seolah-olah termaafkan. Aneh memang, tetapi begitulah adanya.

“Gendis Sayang,” Ya, dia masih memanggilku dengan kata ‘Sayang’.

“Hei,” sapaku, berusaha terlihat ceria.

“Kaki kamu, kaki kamu kenapa?” Matanya terbelalak menyadari aku duduk di kursi roda tanpa kaki.

“Aku kecelakaan dan sekarang beginilah keadaanku.”

“Kenapa kamu tidak pernah menceritakan ini sama aku?”

“Buat apa? Untuk mengganggu kehidupan rumah tangga kamu? Bukannya kita sudah tidak ada hubungan apa-apa?”

“Kenapa kamu ngomong seperti itu, Sayang? Harus berapa kali aku jelasin itu semua sama kamu. Aku cuma nurutin keinginan orang tuaku. Sampai detik ini, aku masih sayang sama kamu.”

“Cukup Ga. Jangan lagi bilang sayang sama aku. Ingat sama istri kamu.”

“Lalu aku harus bilang apa? Kenyataannya memang seperti itu.”

Aku merasa lidahku kelu. “Lalu apa lagi yang ingin kamu katakan?”

“Aku sudah berpisah dengan dia.” Kali ini aku terperanjat kaget. “Aku ingin menikah denganmu, Sayang.”

“Gak mungkin Ga. Gak bisa,” ujarku terbata-bata.

“Kenapa? Karena kamu cacat. Aku terima kamu apa adanya, Sayang. Tiga tahun kita berpacaran dan sampai detik ini aku masih sayang sama kamu.”

“Bukan itu.” Aku merasakan air mataku berkumpul di pelupuk mata, menunggu untuk menetes. Aku ingin cepat-cepat pergi dari sini.

“Lalu apa?”

“Dua hari lagi aku akan menikah.”

“Apa?” Kulihat Arga terduduk lemas di sebelahku.

“Maaf Ga...,” Aku merasakan suaraku yang tercekat, “... dan makasih kamu masih menyayangiku.” Aku memutar kursi rodaku, bermaksud meninggalkan Arga seorang diri ketika tiiba-tiba lelaki itu menahan kursi rodaku.

Arga memegangi tanganku dalam diam selama beberapa saat, sama sekali tidak mengeluarkan suara.

“Maaf,” gumam Arga tiba-tiba. Aku menoleh, tidak benar-benar memercayai apa yang baru saja aku dengar. “Maaf karena aku udah menyakiti kamu selama ini,” lanjut Arga yang semakin membuat diriku terperangah. “Maaf karena udah bikin kamu nangis. Maaf karena udah ninggalin kamu menikah dengan perempuan lain. Maaf seenaknya datang dan pergi dalam kehidupan kamu. Maaf tidak bisa menjagamu. Maaf terlambat datang kembali. Maaf, maaf, maaf.”

Aku mengangkat kepalaku dan menatap lelaki itu lurus. Air mataku berjatuhan tanpa bisa terbendung lagi.

Arga berdiri, menghapus air mata yang mengalir di wajahku dengan tangannya.

“Cengeng.”

“Biarin.”

“Jangan nangis lagi.”

Aku mengangguk pelan mengusap pipiku yang basah.

“Mau aku anter pulang?” tanya Arga sopan setelah beberapa saat. Aku menggeleng.

“Nggak usah, bentar lagi dijemput.” Sekilas, aku bisa melihat ekspresi muram di wajah Arga ketika mendengarnya, tetapi dalam sekejap, ia menutupinya dengan senyum.

“Calon suami kamu?”

Aku mengangguk.

Lima menit kemudian.

Arga menatapku dengan ragu, lalu tanpa bisa dicegah sama sekali, ia mengecup pipiku ringan.

“Aku sayang kamu.” Arga langsung pergi sebelum aku bisa memberikan reaksi apa pun. Aku terduduk lemas sambil memegangi bagian pipiku yang baru saja dicium lelaki itu.


Cerita sebelumnya Tombol Pengingat


gambar dari sini

15.8.13

Tombol Pengingat

“Kenapa kamu ingin menikah denganku, Duta? Bukannya banyak perempuan yang lebih daripada aku? Aku cacat.”

“Aku ingin menikah denganmu bukan karena kecantikan fisik.”

“Lalu apa?”

“Karena hidupku akan menyenangkan hanya jika bersamamu, melihat senyummu, Cantik.” Duta mengecup keningku. “Kamu yang paling mengerti aku, Gendis. Kamu yang paling tahu apa yang aku inginkan.”

Aku menengadahkan wajahku, melihat tatapan lelaki itu. Masih serupa labirin. Tapi aku bersedia tersesat di sana, karena aku sadar ketidakmampuanku untuk mengingkari keinginan tetap berada dalam likunya. “Aku mencintaimu, Duta,” ujarku parau.

“Aku lebih mencintaimu, Gendis,” jawabnya. Aku tersenyum berbinar menggapai tangannya. Aku dapat melihat cinta lelaki itu di matanya. Cinta yang selama ini kucari. Duta menunduk, memelukku dengan erat di kursi rodaku. “Menikahlah denganku. Jadilah ibu dari anak-anakku.”

Kuembuskan napasku di sekitar telinga lelaki itu dan berkata seperti berbisik, “Ya.”

Aku mengangguk dalam pelukannya. Meneteskan satu persatu airmata bahagia. “Akhirnya, aku tahu kenapa aku jatuh cinta sama kamu setiap hari.”

Duta kembali memelukku erat.

***


Semua sudah siap. Tiga hari lagi aku dan Duta akan menikah. Rumah sudah ramai dengan saudara-saudara jauh yang mulai berdatangan. Sekian banyak orang sibuk hilir mudik kesana kemari membawa barang dan peralatan. Beberapa pria separuh baya terlihat mengobrol sambil duduk di kursi plastik yang diletakkan di bawah pohon mangga depan rumah, mengobrol sambil menikmati secangkir kopi atau teh panas yang dihidangkan. Beberapa pria lain yang berusia jauh lebih muda sibuk mendirikan tenda.

Aku merasa begitu penat. Ibu menyuruhku istirahat saja di kamar. Besok, kamarku akan didekorasi menjadi kamar pengantin. Entah seperti apa jadinya. Yang aku tahu, akan berhias dengan warna merah, warna kesukaanku.

Aku membuka ponselku. Teringat tadi Indri mengirim voice note dan aku hanya menyimpan, belum mendengarkannya. Kubuka voice note-voice note yang tersimpan. Banyak sekali voice note yang tersimpan. Ah, aku jadi ingin mendengarkannya satu persatu dan membuang yang tidak lagi penting.

Aku klik tombol voice note. Suara Jaka, Nia, Pujo, Anis, Kamal, Firman dan ...

“Ketika cinta adalah apa adanya, mencintai yang ada tanpa melupakan yang berada.

Menyayangi yang terasa tapi tidak yang terluka.

Bila aku memilihmu untuk menemaniku itu karena engkau adalah apa adanya hatiku, yang terbaik, yang aku kenal.

Merindukan sesuatu yang hilang karena kepercayaan yang terbuang.

Jatuh cinta karena pesona yang kau hadirkan lewat hatimu yang kau titipkan untukku.

Jika itu hanya sesaat bukan karena kamu tak mampu.

Hanya karena hati kita tak bisa bersatu.

Kuyakin kalau cinta yang tulus, aku tetap bisa mencintaimu, meski pun dari jauh.

Ini aku dan hatiku hanya untuk kamu.

I love you baby. Happy anniversary kita yang setahun ya. Makasih Sayang.”

... suara Arga.

"Jangan telat makan ya Sayang, obatnya jangan lupa diminum juga, mau sembuh atau ga kamu? Aku sayang kamu." Suara Arga yang lain.

"Jangan lupa makan ya Sayang, obatnya juga. Jangan lupa sholat juga ya. Mmuuah." Dan suara Arga yang lain lagi.

Tiba-tiba rindu menyergapku dari segala arah. Arga, apa kabar kamu?

Ada telepon masuk, dari Arga. Apa? Ini kok bisa?

"Halo."

"Hei Sayang..."

"Arga, aku..."

"Kita harus ngomong serius."

Aku hanya bisa membuka mulut tak bersuara.


Cerita sebelumnya Sepasang Sepatu Tua


gambar dari sini

14.8.13

Sepasang Sepatu Tua


Aku mengambil sebuah kotak yang sedikit berdebu. Kubersihkan dengan lap lalu membukanya. Sepasang sepatu yang cantik. Merah dan putih dengan pita yang manis. Sepatu kesukaanku. Ada sesuatu yang menyentakku. Aku seakan-akan menemukan sebuah ruang gelap yang hanya ada gambar-gambar Duta dan sepatu itu di dalamnya. Berputar dengan semua yang pernah kami lalui. Aku termenung sesaat, lalu mengusap wajahku.

“Semoga kamu suka apa yang aku beri,” kata Duta waktu itu di telpon ketika aku mengabarkan padanya bahwa barang yang dia kirimkan sudah aku terima.

“Tapi aku sedang tidak berulang tahun,” kilahku.

“Apakah harus menunggu kamu berulang tahun dulu baru aku boleh memberimu sesuatu, Ndis?”

“Tidak juga,” jawabku.

“Bukalah.”

Aku mulai merobek kertas pembungkusnya dan di dalamnya kutemukan sepatu itu. Flat shoes. Dia tahu, aku benci memakai high heels.

“Sepatu yang cantik. Aku tidak tega memakainya.” Mataku berbinar senang.

“Itu memang untuk kamu pakai bukan dipajang apalagi cuma disimpan. Sepatu itu akan cantik ketika kamu yang memakainya, Ndis.”

“Makasih. Aku suka sekali sepatu ini.” Aku mencobanya, berputar-putar di depan kaca sambil tersenyum.

“Aku ingin melihat kamu memakai sepatu itu saat kita bertemu dua minggu lagi.”

“Baiklah aku akan memakainya untukmu.”

Akhirnya kami berdua akan bertemu. Setelah setahun hanya berhubungan lewat udara. Benar-benar saat yang mendebarkan untukku. Aku akan melihatnya secara langsung. Begitu juga dia.

Berkali-kali aku mematut diri, mencoba memadu padankan sepatu pemberiannya dengan baju-baju yang kumiliki. Sampai aku membeli baju baru agar terlihat tidak mengecewakan di depannya. Aku ingin terlihat semenarik mungkin ketika dia melihatku untuk pertama kali.

Jam empat sore, waktu yang dijanjikan. Lebih setengah jam dan aku masih belum sampai di cafe tempat kami akan bertemu. Jalanan sore ini terasa lebih ramai dari biasanya. Jantungku terasa berdetak lebih cepat dari biasanya.

“Semoga dia sabar menunggu.” Aku bergumam sendiri di atas motorku. Rasanya tidak sabar ingin segera memeluk orang yang selama ini kurindukan.

Rintik hujan menyapu jalanan. Keriuhannya mengisi kalut yang menghantuiku. Ah, aku takut sepatu ini menjadi basah. Suara ringtone mengganggu konsentrasiku. Duta, nama yang tertera di kolom pemanggil. Kuraih cepat-cepat demi mengusir berisik.

“Ya?”

“Gendis, kamu dimana?”

“Aku masih di jalan.”

“Oh ya udah. Hati-hati ya.”

“Iya, sebentar lagi sampai kok.”

“Kamu pakai sepatu itu kan?”

“Tentu saja aku pakai.”

“Baiklah, aku menunggumu, Cantik.”

Aku tidak salah dengar kan? Baru saja dia memanggilku Cantik. Belum sampai setengah sudut bibirku terangkat karena bahagia, sebuah bunyi yang amat tajam tiba-tiba mengganggu telinga. Ketika aku menoleh, beberapa meter di depan, sebuah truk bergerak liar tanpa kendali, mendekat dengan cepat.

Lalu gelap.

Suara-suara. Hiruk pikuk. Sirene yang mendekat. Orang-orang yang panik. Pandanganku, kabur.

Duta, aku harus bertemu dia.

Aku berusaha menggapai-gapai dengan sisa tenagaku. Namun kurasakan tubuhku diseret lengan-lengan yang kuat, aku tak mampu melawan. Kurasakan tubuhku dibaringkan dan belum sempat aku berkata apa-apa, sesuatu menutupi mulutku. Aliran udara mengalir deras.

Aku terbuai, dijejali kegelapan.

***

Aku mencium aroma parfum yang sangat kukenal di sampingku, aku terkesiap. Kulihat Duta berdiri di sampingku, memperhatikanku.

“Kapan kamu datang? Maaf aku tidak tahu.”

“Tidak apa-apa, Cantik. Maaf aku mengagetkanmu. Kamu lagi apa?”

“Membersihkan sepatu ini,” jawabku tersenyum. Dia mencium keningku lembut.

“Sudah ya bersih-bersihnya. Kamu jangan terlalu capek dong,” katanya sambil menaruh sepatu yang kupegang kembali ke tempatnya.

“Maaf, kamu tak pernah bisa melihatku memakai sepatu itu.”

“Buat aku, yang penting bukan melihat kamu memakai sepatu itu, tapi bisa melihat kamu tersenyum setiap hari, istriku.” Dia tersenyum dan mendorong kursi rodaku ke taman belakang. Kami akan menikmati senja hari ini sambil bercerita tentang apa saja.

gambar dari sini

25.5.13

Moment

Seperti hidup, seperti saat ini. Dan aku selalu menyukai moment saat kita berbicang satu sama lain.

23.5.13

Logika vs Rasa

TERUNTUKMU, KETIKA AKU BERFIKIR DENGAN LOGIKA MAKA AKU AKAN BERKATA BODOH, TAPI KETIKA PERASAAN YANG BERBICARA MAKA AKAN BERKATA ITU CINTA, YA CINTA…

17.5.13

Jalan Melingkar

AKU KIRA JALAN YANG AKU AMBIL KALI INI MEMBAWAKU MENJAUH DARIMU. TERNYATA AKU SALAH. JALAN INI MELINGKAR, MEMBAWAKU KEMBALI PADAMU.

15.5.13

Semula Hatiku Mengira

semula hatiku mengira rupamu adalah kabut. menyapu pagi dan menguap saat terik hingga tak berbekas pada gelap malam, pun dalam mimpi.
tapi, ternyata aku salah. aku tak ingat kapan hati ini mulai menyalin garis-garis sebuah rupa yang tertulis pada benak.
mungkin ketika aku lengah, hati ini mengubah garis wajah menjadi degup. yang kemudian tercerna serabutan menjadi kelebat lalu-lalang bayang.
dan ketika itu pula, suaramu seakan menjadi riuh desir angin yang bergesekan. dalam satu dua kelebat, sibuk menyambar lamunan kosong.
lalu, pada lengan-lengan waktu yang terus bekerja aku bergantung. menunggu ketetapan atas bait-bait rupamu.

14.5.13

Sempurna

“BAGI KITA, SENJA SELALU SEMPURNA, BUKANKAH SIA-SIA JIKA MENGGENAPKAN WARNANYA? SEPERTI KISAHMU, KAU DAN DIA, JUGA KISAHKU, AKU DAN LELAKIKU. TAK ADA BAGIAN YANG PERLU KITA UBAH. TAK ADA SELA YANG HARUS KITA ISI. BUKANKAH TAKDIR KITA SUDAH JELAS?”
—Winna Efendi - Remember When

13.5.13

Kali Ini Aku...

kali ini aku termangu, dalam kotak kelabu
tanpa dinding jelas mana hitam dan putih
ingin bercerita, tapi tak punya kata untuk dimuntahkan

kali ini aku termangu, antara nyata dan mimpi
tanpa batas kesadaran mana benak dan hati
ingin terjaga, tapi tak punya lelap yang perlu diakhiri

lalu dalam kotak itu, aku mempertanyakan warna-warni pelangi
yang nyata terlihat, tapi bisakah aku menjangkaunya?

setelah itu kupertanyakan batas merah dan jingga
yang ingin kupinjam untuk membatasi aku..

..denganmu

10.5.13

Dapur

Pengen punya dapur seperti ini. Tapi warnanya orange.

Keseimbangan

“HIDUP JUGA KAYAK CUACA. HARI INI BISA HUJAN, BESOK BISA CERAH. TAPI, LO NGGAK AKAN PUNYA HUJAN SELAMANYA, ATAU KEMARAU SELAMANYA. KITA BUTUH PAHIT DAN MANIS SECARA BERSAMAAN, SEBUAH BENTUK KESEIMBANGAN.”
— Remember When - Winna Efendi

9.5.13

Kehilangan

Kehilangan merupakan pelajaran terbaik. Semua hanya fatamorgana. Dan, sekarang diriku tak ada beda dengan musafir mencari mata air di gurun pasir yang panas. Butuh waktu panjang menemukannya atau ikut hilang bersama bayangan semu air di kejauhan.

Jika hilang itu adalah ada, jangan pernah membasuh debu di lautan.

Nikmati Luka

IJINKAN AKU BERHENTI BERLARI, BUKAN UNTUK MENGHINDARI LUKA, TAPI MENCOBA UNTUK MENIKMATINYA…

5.5.13

Apa Salahku Tuhan?

Maafkan aku bila aku bertanya seperti itu. Sekuat itukah diriku, hingga Kau memberiku cobaan yang istimewa ini. Aku berusaha ikhlas menerima semuanya. Mungkin aku memang makhlukMu yang istimewa. Menikmati duniaMu dalam hitungan hari. Apakah sampai pada waktunya. Atau justru tersungkur sebelumnya.

23.4.13

Candid

Ini bukan tentang kekasih.
Ini tentang hatiku yang telah hilang kau curi.
Dalam kerdip delikan matamu kau mengikat tiap hembusan nafasku untuk mengikutimu.
Walau kau jelas tak pernah menoleh.
Klik!
Foto kesekian dari lelaki di depanku yang aku ambil sembunyi-sembunyi. Aku tersenyum memandangi hasil jepretanku. Lelaki itu begitu sempurna. Aku tak bicara banyak, aku hanya mampu tersenyum dan menatap, tanpa berani menyentuh juga mengeluh.
***
Dalam bisumu, kau mengikat tiap nada dalam debaran jantungku untuk memenuhi ruangmu.
Walau jelas kau tak mendengar.
Dalam diammu, kau menemalikan tali di kakiku untuk berlari mengelilingimu.
Walau jelas kau tak melangkah.
Aku menatap lelaki itu. Tatapannya lembut menyentuh, walaupun aku juga ingin lebih dari sekedar saling menatap. Menyentuh mungkin, atau saling mengeluarkan suara, mengucapkan sepatah kata. Apapun! Asal tak hanya saling menggeliatkan bola mata. Aku mencoba melempar pandang ke arah jendela, menatap lalu lalang sepeda motor dan mobil yang berlari-larian hampir beringas. Menerobos lampu merah seenaknya, menyalip sesukanya, membunyikan klakson seinginnya. Aku merasa tak nyaman.
“Gimana Bima? Kemarin jadi ketemu kan? Ganteng kan? Bima asik anaknya, seumuran sama kita, tapi dia udah lulus dan kerja, pinter anaknya” Mayang langsung menyerbu dengan pertanyaan mengenai Bima, lelaki yang selama ini aku perhatikan. Aku gelagapan karena terlalu asik memperhatikan Bima, lelaki itu.
***
“Hai! Lagi ngapain?” Bima duduk di sampingku yang lagi nyepi di perpustakaan. Aku kaget. Kok dia bisa nemuin aku di sini! Padahal aku jarang banget ke perpustakaan. Ini tempat persembunyian paling ampuh!
“Aku? Ng… kamu nanya apa tadi, Bim?”
“Ha ha ha, kamu lucu ,deh,” tawa Bima sambil mengacak-acak rambutku. Reaksiku tersenyum. Sentuhan jemarinya selalu membuat aku suka. Kelihatannya senyumku pun bikin Bima suka.
“Gimana? Proposal aku diterima, enggak?” tanya Bima.
Tuh kan, dia nanya jawabanku. “Proposal? Proposal yang mana? Aku enggak terima apa-apa, kok,” kilahku sok bego.
“Ha ha ha! Kamu memang lucu. Aku punya sesuatu buat kamu.” Bima menyodorkan sebuah bungkusan. Aku membukanya dengan dada berdebar. Sebuah album foto. Dan di dalamnya berisi foto-fotoku dengan berbagai keadaan. Candid.
“Aah Bimaaa… Ini aku. Sejak kapan kamu mengambilnya?”
“Sejak aku jatuh cinta sama kamu.”
“Kamu tau ngga, aku juga punya foto-foto kamu. Candid juga.”
Bima tersenyum. “Aku tahu.”
“Aah… Bima jangan jahat dong sama akuuu… Kamu tahu tapi kamu diam saja.” Aku nggak tau lagi harus ngomong apa.
“Aku sayang kamu.” Sekali lagi Bima mengacak-acak rambutku.
“Aku juga sayang kamu Bima.”
Ini tentang hatiku yang telah hilang kau curi.


























8.4.13

Hujan Kata

Hujan menderas, pada siang yang teramat panas.
Bunga-bunga bakal buah rambutan terhempas, pun dengan melati.
Secangkir teh temaniku, nikmati desing peluru rindu di degup jantungku.
Pena-pena yang dijelma oleh jemari terus saja bergerak ke sana ke mari.
Menikam aksara-aksara yang terpampang di layar telepon genggam, merangkai kata.

Sesungguhnya otakku ingin mereka menulis tentang kerinduan, masa penantian.
Tentang banyak senyum yang dipaksakan, atau air mata yang selalu disembunyikan.
Tapi entahlah, hujan ini begitu menyita perhatian.
Butir-butir cairan bening ajaib, yang jatuh dari langit.
Ah! Seksi sekali mereka.
Terkesima aku oleh pesta semesta menyambut kedatangan mereka, dengarlah, bagaimana gaduhnya terompet petir memecah sunyi langit.
Lalu kecerahan awan biru diubah jadi hitam, warna kesukaan sang hujan.
Musik, ya, banyak nada tercipta saat hujan tiba, pertikaiannya dengan genteng, dengan tanah, seng, atau benda apa pun, cipta lantunan yang syahdu. Ah! Terkesima aku.
Hingga desibel nada yang ada perlahan melemah, terompet langit tak lagi terdengar. Aku masih terduduk menikmatinya.
Sampai senyum manis sang pelangi sadarkan aku dari lamunku.
Kutatap tulisan di layar telepon genggamku, telah ada beberapa kata di sana.
Kucari ide utama dari otakku saat berencana tuliskan sesuatu; rindu.
Mataku nyalang, buat kantuk yang sempat singgah hilang, telusuri tiap baris kata, mencari rindu. Tak ada!
Ternyata hujan barusan benar-benar buai aku, bekukan pikirku, hingga terlupa aku untuk tuliskan rindu.

Dan saat teguk terakhir dari teh hangat buatanku merangsek masuk dalam tenggorokan, seperti saat ini. Sudah saatnya kusudahi ketidakjelasanku dalam tulisan siang ini. Dan pergi.

1.3.13

Aku dan Ibu Peri. Pangeran dan Kupu-kupu.

Melihat garis langit
Entah itu biru atau kelabu

Gadis kecil duduk menopang dagu
Terbalut kain merah jambu
Tiga hari sudah tak berganti baju

Titik air jatuh. menyentuh kulit
Basah telapak tangannya

Jangan menangis, jeritnya dalam hati
Tersenyumlah meski tak mampu
Jangan menangis, ucapnya lagi
Berbahagialah, meski bimbang dan ragu


Ibu Peri berjalan dari utara
Meski tak lagi muda, langkahnya bagai tentara

Bunga Jelita, mari ikut bunda…
Kita terbang lagi mengangkasa
Kita putar lagi dunia, sebentar saja
Jangan menangis, Bunga Jelita
Aku ada. Selalu ada.

Gadis kecil ikuti langkah kaki ibu peri
Jangan pergi lagi, Ibu
Tiada lagi yang kumiliki selain kamu,
Karena pangeran itu pergi bersama kupu-kupu

20.2.13

Hari Ke-24: Di Selasar Senja

Dingin datang menguliti senyuman

senja pulang lebih awal.

Di selasarnya seorang lelaki duduk menyesap kenangan mencium langit mengusap dahinya bagai bayi yang menangis karena pingin menyusu

membisikan sesuatu;

“Jangan sedih, jangan sampai hujan turun hari ini.”

Matanya mendung hujan

ada sesuatu yang ia kunci di dada

tentang seseorang

tentang gadis kecil yang ia tunggu yang membuka matanya.

Dia terus menyesap kesepian menunggu hal yang ia pun tak tahu.

Seorang pria menggantung harap di bawah langit yang terbakar

seorang pria jatuh cinta tangannya mengadah meminta Tuhan supaya hujan tak pernah turun.

Dan diam-diam dia masih menunggu di bawah petang yang telanjang.

17.2.13

Hari Ke-23: Surat Cinta

sebuah surat cinta
ditulis kala senja menjemput
oleh sekumpulan jemari yang tengah kerasukan
di dalamnya ada nafas dari seorang kekasih yang gelisah

sebuah surat cinta
disuguhkan hangat tiap pagi
oleh pendusta yang tengah bercerita
di akhirnya ada doa yang hendak diaminkan

sebuah surat cinta
diantarkan pada jeda yang sebentar
oleh pelancong yang tak tau arah
di akhirnya ada rumah yang hendak dituju

sebuah surat cinta
dibaca lirih pada perpisahan
oleh perindu yang hampir mati
di dalamnya ada noda bekas air mata

sebuah surat cinta
semoga tidak salah alamat

Berlubang

adakah
sebongkah rindu
terlalu sarat untuk kau kerat?

13.2.13

Hari Ke-21: Cemburu

tubuh gontai mengeja langkah
seonggok hati terbalut amarah
meracau gagap pada cemburu buta
cintaku tak lagi terbaca

kumpulan nada minor
bernyanyi tanpa intonasi
bagai dengus gurun pasir
berbisik penuh desah

tersengal
rinduku dahaga
dikuras emosi
tanpa ampun

tatapmu melepasku kelana
tersisip hati yang ikut merana
lembayung senja memayungi
ada bayang yang kau amati

semburat jingga yang menggelora
pendarkan cemburu yang membara
maka kususun kata
meski kuucap dengan terbata

Hari Ke-20: Letih

ingin merubah segalanya, namun penantian tak kunjung padam.
letih sudah rasa yang selalu menggema, terdengar semakin parau.
inginku lelap, namun tak kunjung bertempat.

10.2.13

Hari Ke-19: Mengejar(mu) Pelan-pelan

Berpuluh kota sudah aku jelajahi sendirian. Ya, aku ini pejalan tangguh, begitu mencintai perjalanan. Tidak pernah mengeluh soal jauhnya jarak yang harus ditempuh. Hanya saja, agak cerewet soal kecepatan. Aku lebih memilih untuk berjalan pelanpelan. Menikmati udara yang memang tidak sepenuhnya menyegarkan. Sesekali rehat, mampir di warung kopi, memesan satu lalu menyesapnya dalamdalam. Ketika itu, senja seolah ikut menyamakan ritmenya dengn milikku. Ambil bagian dalam adegan slowmotion, senja juga berjalan pelanpelan.

“Kamu terlalu asik hidup di masa lalu,” katamu suatu waktu. “Semua orang sudah berlari, sementara kamu malah terus di situ. Tidakkah kamu ingin mengejar sesuatu?”

Tenang saja, aku tahu titik akhirku. Aku pernah berlari bahkan melesat hingga kaki ini seperti tidak menyentuh bumi. Nyatanya nafasku cepat habis, melelahkan. Dan pemandangan tidak lagi indah. Sesuatu yang kabur itu tidak enak dilihat, sayang. Aku cukup senang begini.

Dan kemarin kamu terlihat begitu terkejut. Aku tibatiba hadir di depanmu. “Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanyamu.

“Aku tahu mana yang harus kukejar.” bisikku.

19.1.13

Hari Ke-18: Aku Cantik

"Kamu memakai t-shirt itu lagi!"

"Kamu suka?"

"Kamu tau aku paling suka kalo kamu pakai t-shirt itu."

"Kok kamu suka banget, sih?"

"Kamu seksi pake t-shirt itu."

"Iya sih, tapi yang laen pada mendelik tuh."

"Kalo cewek lain pasti karena iri. Kalo cowok sih, kamu tau sendiri matanya mengarah kemana."

"Tapi aku suka pakai t-shirt ini."

"Nggak apa-apa, cuma kamu tau kan, setiap kamu pake t-shirt itu, pasti aku jadi pengen cepet-cepet ngelepasnya."

Aku mendekat, melepaskan t-shirt pink itu dari badanmu.

"Yes, you're beautiful. But you're more beautiful without anything on your body."

17.1.13

Hari Ke-17: Life Is A Puzzle

Aku mengambil puzzle yang baru aku beli beberapa hari yang lalu. Kemudian membuka plastiknya dan mulai aku acak random, lalu mulai menyusunnya.

Saat menyusun, aku jadi berpikir, ”Hmm iya yaa sebenernya hidup itu kayak nyusun puzzle ini..”

Perjalanan hidup itu kayak menyusun sebuah puzzle.

Kalo kamu sadar, apa yang terjadi di hidup itu selalu berkesinambungan, ya layaknya puzzle.

Pecahan-pecahan puzzle itu seperti bagian-bagian hidup kita. Semua diawali dari kamu memulai, kemudian kamu harus menyusun dan menata hidup hingga jadi sempurna.

Walaupun memang ga ada yang sempurna sih, tapi paling engga menjadi lebih baik lah ya.

Banyak yang bisa dipilih, banyak pecahan yang bisa disusun agar bisa jadi pas dan menyatu.

Mudahkah? Hmm, ya gampang-gampang susah.

Kadang bisa aja kamu pilih pecahan yang salah untuk nyusun puzzle, dan setelah itu kamu akan pilih lagi dan mencari pasangan gambar yang cocok.

Seperti hidup. Sering kamu ga yakin dan salah memilih, tapi dari situ lo bisa belajar dan membantu untuk dapat menemukan kepingan yang pas.

Kamu pasti bisa nemuin kepingan hidup yang pas asal kamu ga berhenti berusaha.

Emm, yaa kayak menyusun puzzle..

Kita saat ini sedang dalam proses menemukan kepingan-kepingan yang cocok untuk hidup kita.